Lukman Khairan, 30 tahun. Badannya tinggi, tegap, berisi tapi tidak gemuk. Sebagai seorang kapten, pembawaannya cukup tenang, tapi tegas dan disiplin. Jika berada di antara istri dan anak-anaknya, mendadak sikapnya berubah. Ia menjadi kepala keluarga yang penuh kasih sayang dan lembut. Seorang ayah yang perhatian dan suami yang romantis.
Sebagai seorang pemimpin, Kapten Lukman sangat teliti dan memperhatikan banyak hal yang terjadi di sekitarnya. Seperti cara kerja Zeroun yang tidak disukai rekan-rekannya. Juga julukan-julukan yang disematkan padanya.
Begitu pun hari ini. Ketika Al muncul dari balik kolong meja atau Zeroun yang diam-diam ke luar ruangan.
Orang lain yang berada dalam ruangan yang sama, tidak memerhatikan kepergian Zeroun, tapi Kapten Lukman jelas melihat pria itu berjalan melewati pintu. Kapten bahkan sudah bisa menebak kemana Zeroun pergi dan apa yang sedang dipikirkannya.
Dibanding banyak orang yang merasa mengenal Zeroun, Lukman Khairan-lah yang paling memahami kepribadiannya, sekaligus paling banyak bisa mengerti jalan pikiran petugas aneh itu.
Zeroun sedang melintasi koridor menuju pantri yang berada di bagian belakang. Terpisah dari ruang utama. Al ada di sana dan memang Al-lah yang menjadi tujuannya.
Al sedang sibuk mencari-cari. Ia telah memeriksa ke segala sudut tapi apa yang ia cari belum juga ketemu. Tidak ada pisau roti ke mana pun matanya melihat, di mana pun ia telah mencari. Ia mencoba sekali lagi. Lebih teliti. Barang kali ada tempat yang terlewat. Barangkali sebelumnya ia kurang fokus.
Sedang sibuk-sibuknya mencari, ruangan mendadak gelap. Lampu mati. Refleks, Al berjongkok. Ia meraba-raba dan merapat di kolong meja kompor. Ia duduk memeluk kakinya di pojokkan. Ketakutan.
Tidak berselang lama, lampu kembali menyala. Masih butuh waktu sebelum Al menguasai dirinya. Untuk matanya menyesuaikan dengan cahaya yang kembali benderang. Sebelum ia menyadari keberadaan Zeroun.
"Kamu sedang apa? Ketakutan?" Zeroun berbicara dengan tatapan mata menyelidiki. "Apa yang kamu takutkan?" tambahnya tanpa memberi jeda.
Melihat Zeroun yang tiba-tiba sudah berada di dalam pantri membuat Al terkejut. Ia keluar dari tempat persembunyiannya dengan tersenyum kaku, seolah telah tertangkap basah melakukan kesalahan.
Al menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "Dari terang tiba-tiba gelap, tentu saja horor," jawabnya.
"Takut pada sesuatu yang tidak pernah dilihat itu tidak masuk akal. Percaya pada hal-hal yang beredar hanya karena paradigma dan doktrin itu lebih tidak masuk akal lagi," sengit Zeroun.
Kening Al berkerut. Tidak langsung menjawab, ia sedang berusaha mengartikan sesuatu.
"Waktu kecil kalau saya nakal, orang tua saya sering menakut-nakuti. Kakak saya juga pernah menakut-nakuti sampai saya jatuh pingsan. Jadi wajar dong kalau saya trau..."
"Trauma?" Zeroun tidak mengizinkan Al menyelesaikan kalimatnya. "Di lapangan kita akan sering berhadapan dengan korban-korban yang memiliki trauma. Kita harus tahu bagaimana cara menghadapinya." Zeroun masih terus mencecar. "Ketakutanmu sama sekali tidak masuk akal. Seharusnya… kamu tidak lulus tes masuk kepolisian."
Mata Al terbelalak. Tidak menyangka Zeroun akan melemparkan kalimat seperti itu padanya. Ia tidak akan mendebat Zeroun lagi. Tidak berminat lagi. Bahkan untuk membela diri, seharusnya tidak dilakukan sejak awal.
Al mengacuhkan Zeroun dan kembali fokus mencari pisau.
"Ketakutan tidak masuk akal? Memangnya ada ketakutan yang masuk akal," Al mengomel pada dirinya sendiri.
"Takut tertembak dan takut tertabrak adalah contoh ketakutan yang masuk akal." Zeroun yang mendengar omelan Al menanggapi. "Ketika peluru merobek permukaan kulit, kita akan merasakan sensasi terbakar yang menyakitkan. Jika yang terkena adalah organ vital, bisa dipastikan akan mengalami kematian."
Rahang bawah Al jatuh. Ia ternganga. Merasa takjub sekaligus aneh. Selama 26 tahun ia hidup, baru ini kali pertamanya bertemu dengan makhluk sejenis Zeroun.
Tertembak dan tertabrak, siapa yang tidak takut. Tapi kedua hal itu ketakutan yang sama sekali berbeda dengan ketakutan yang Al maksud.
"Begitu juga saat tertabrak. Bila titik bentur lebih rendah dari titik gravitasi tubuh, kita akan terlempar ke atas kemudian jatuh ke bawah. Jika sangat tidak beruntung, bisa masuk ke kolong mobil dan terseret. Menyebabkan pengelupasan kulit dan otot yang parah..."
"Cukup, cukup! Saya mengerti," Al memotong ngeri. Ia menghela nafas, menatap pria yang setahun lebih tua darinya tanpa berkedip.
Kini Al mengerti kenapa orang-orang menjulukinya 'aneh'. Semuanya masuk akal sekarang.
"Ayo kembali, pisaunya sudah ketemu," kata Zeroun tak acuh. Ia beranjak lebih dulu.
"Oh." Al segera ke luar. Menutup pintu dan menyusul Zeroun.
Mendadak Al merasa lampu yang sebelumnya tiba-tiba mati dan kembali menyala ada sangkut pautnya dengan Zeroun. Iya, pasti Zeroun. Kenapa ia baru memikirkannya sekarang.
Al mengerutkan keningnya, mengerucutkan bibirnya. Ia ingat bagaimana tatapan pria itu ketika di ruang rapat.
=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'
Keesokan harinya, tidak berselang lama setelah sketsa korban dimuat di berbagai media Nasional, seorang yang mengaku pernah bertemu korban mendatangi markas dan melapor.
Pelapor adalah Bu Evi. Seorang ibu rumah tangga berusia 42 tahun. Bu Evi berjualan di warung makan kecil miliknya yang terletak di pinggir jalan Sultan Hasanuddin.
Pertama kali melihat korban, korban sedang mengais tempat sampah dekat warungnya. Sebuah roti yang tinggal setengah dan masih dalam plastik, diambil. Ketika akan digigit, Bu Evi melarang. Ia memberikan sepiring nasi, ayam goreng, dan sayur sebagai gantinya.
Anak yang Bu Evi tidak sempat tanyakan namanya, makan dengan lahap meskipun penampilannya berantakan.
Pertemuan kedua terjadi seminggu lalu. Anak itu sedang mondar-mandir di depan warungnya di suatu siang. Pakaiannya berantakan seperti sebelumnya dan jelas terlihat sedang kelaparan.
"Namanya Aldi. Waktu saya tanya dimana orang tuanya, anak itu menunjuk arah timur, arah yang sama dia datang, dan bilang 'kerja, cari uang.' Setelah itu saya tidak pernah lagi melihat anak itu sampai hari ini, sketsa wajahnya muncul di televisi," jelas Bu Evi menyelesaikan pernyataannya.
Bu Evi bahkan menyebutkan ciri-cirinya dengan jelas. Cara bicaranya yang tergagap, penampilannya, rambutnya, tingginya, juga cara berpikirnya yang terlalu lambat untuk anak-anak seusianya. Rambut Aldi hitam, dan tebal. Tinggi 137 senti. Ciri khasnya adalah bekas luka yang ada di keningnya.
Berdasarkan keterangan dari Bu Evi, Kapten Lukman mengutus anggotanya untuk mulai melakukan pencarian. Karena Aldi mendatangi warung Bu Evi dua kali dan dari arah yang sama, diperkirakan tempat orang tua Aldi bekerja atau tinggal, tidak jauh dari daerah itu. Sebelah timur dari warung Bu Evi berdiri.
Mereka melakukan pencarian mulai jarak 50 meter dari warung. Kemudian meluas menjadi 100m, 200m, 500m, sampai 1000m.
Di jarak 1000m sebenarnya sudah terlalu jauh untuk anak berusia 10 tahun berkeliaran dengan berjalan kaki. Tapi mereka tidak ingin kecolongan. Tidak boleh ada kesalahan. Jika tetap tidak ada petunjuk, Kapten Lukman akan menambah ruang lingkup pencarian 500m lagi.
Dengan berbekal sketsa wajah Aldi dan ciri-ciri seperti yang Bu Evi katakan, para petugas yang mencari menanyai orang lewat juga yang tinggal di daerah itu. Kapten Lukman juga meminta tambahan bantuan dari tim patroli.
Pencarian dilakukan di tempat-tempat umum, rumah warga, dan area rusun. Para petugas yang melakukan pencarian berpencar.
"Jangan-jangan Anak itu hanya asal tunjuk waktu ditanya. Arah kedatangannya juga kebetulan sama," Dio mulai mengeluh ketika ia, Al, dan Adam bertemu. "Atau saksi yang salah mengingat."
Matahari begitu terik dan waktu telah berjam-jam mereka habiskan untuk mencari. Belum ada informasi yang didapatkan. Belum ada juga tanda-tanda apa yang mereka cari akan segera ditemukan. Petugas lain juga tampak muram dan kelelahan.
Adam, Dio, dan Al saling bertukar pandangan, kemudian menghela nafas bersamaan.
"Hei!" Irawan berseru dari kejauhan. Setengah berlari ia menghampiri Al dan yang lainnya.
Seperti yang lainnya, Irawan juga terlihat kelelahan. Peluh memenuhi kening dan lehernya. Irawan menepuk-nepuk kemeja abu-abunya gerah. Ia tidak segera berbicara karena sibuk mengatur nafasnya.
Al menyodorkan air mineral yang tinggal setengah. Tidak perlu waktu lama bagi Irawan untuk meneguknya sampai tetes terakhir.
"Seorang kenalan ibu korban ditemukan," kata Irawan akhirnya.
"Akhirnya!" Adam berseru. Ia menepuk bahu Dio sampai tersentak saking semangatnya.
Dio kesal sebenarnya. Tapi karena kabar gembira yang Irawan sampaikan, kekesalannya pun teralihkan.
Wajah-wajah yang awalnya lesu dan kelelahan kembali tampak bersemangat. Kalimat Irawan seperti telah menyuntikkan semangat baru untuk mereka.
"Kalau begitu saya akan mengabari Kapten dan mempersiapkan yang lainnya." Dio bergerak cepat. Memisahkan diri dari yang lain.
"Saya akan mengabari petugas yang membantu untuk menarik anggotanya." Adam memberi tugas pada dirinya sendiri. "Kita ketemu lagi di kantor," katanya sebelum ikut memisahkan diri seperti yang Dio lakukan.
Mereka semua benar-benar bersemangat.
"Al, ayo!" Irawan mengajak Al pergi ke arah lain.
Kenalan yang Irawan maksud adalah seorang bapak berusia lebih dari setengah abad. Si Bapak mengenal ibu korban karena keduanya sama-sama bekerja sebagai peminta-minta di tempat yang sama.
"Peminta-minta?" Al menginterupsi.
Irawan mengangguk.
Bapak yang Irawan maksud sedang menunggu di depan gapura masuk terminal. Pakaiannya lusuh dan agak kotor. Penampilannya berantakan. Rambutnya yang mulai panjang, kusam, dibiarkan acak-acakan. Matanya besar dengan tatapan tajam. Guratan wajahnya penuh dengan perjuangan hidup yang tidak mudah. Tingginya kurang dari 170 senti dengan tubuh yang tidak terlalu kurus. Pak Bas. Ketika menyapa, Al tahu kalau sikapnya ramah dan bersahabat.
Ibu Aldi dipanggil Nur oleh orang-orang yang mengenalnya. Bu Nur berusia 35 tahun. Tubuh semampai, rambut panjang, hitam. Matanya tidak berfungsi sudah lebih dari 10 tahun. Kulitnya kecokelatan dan saat berbicara, logat Jawanya masih kental.
Aldi jarang bersama Ibunya ketika berada di terminal. Jika datang bersama, anak itu hanya akan terlihat sebentar kemudian menghilang entah kemana.
Aldi sangat pendiam. Ketika mulai berbicara, ia akan tergagap. Cara berjalannya sangat ribut karena selalu menyentak-nyentakkan sandal jepitnya. Kepalanya selalu menunduk sehingga meski seseorang sering melihatnya, wajahnya akan tetap tampak asing. Ada bekas luka jahitan di keningnya yang merupakan ciri khasnya. Meski usianya 10 tahun, Aldi tak ubahnya anak 5 tahun.
Mereka dalam perjalanan menuju ke tempat Bu Nur tinggal. Kendaraan semakin memasuki kawasan yang terkenal dengan wisata kulinernya. Aneka makanan dan minuman segala bentuk dan rasa dapat ditemukan di tempat itu.
Waktu telah masuk jam istirahat sehingga jalan-jalan berubah padat. Lalu lalang manusia dan kendaraan, mobil dan motor yang diparkir seenaknya, semakin memakan badan jalan. Akibatnya kemacetan menjadi tidak pelak lagi. Perjalanan yang harusnya bisa ditempuh dalam waktu 5 menit, berubah menjadi 15 menit.
Sebelum sampai di rumah Bu Nur, mereka perlu berjalan sedikit lagi. Masuk gang kecil yang hanya bisa dilewati satu motor.
=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'
Semua berlangsung dengan cepat.
Begitu bertemu dengan Ibu Aldi, Al dan Irawan segera memperkenalkan diri mereka. Menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan dengan teramat hati-hati. Mengkonfirmasikan kebenaran Aldi adalah anak Bu Nur. Menyebutkan ciri-cirinya dengan jelas dan detail.
Perubahan ekspresi yang terlihat pada wajah Bu Nur teramat lambat. Begitu berita duka ia terima, ada ketakutan yang tersirat bersama perasaan bingung, kehilangan, dan kesedihan. Untuk beberapa saat ia tampak seperti orang linglung. Tidak tahu harus bagaimana atau berbuat apa.
"Kami akan mengantar Ibu untuk mengidentifikasi jenazah korban. Setelah itu kami perlu mengajukan beberapa pertanyaan," Irawan berkata dengan lambat-lambat.
Benar. Yang pertama harus dilakukan adalah memastikan anak yang diklaim sebagai Aldi benar adalah putranya. Ia harus tahu kedua orang yang berada di depannya ini tidak salah membuat kesimpulan.
Bu Nur meninggalkan tamu yang ia sambut hanya sampai pintu depan. Ia meninggalkannya untuk mempersiapkan beberapa hal sebelum meninggalkan rumah. Memeriksa keran dan kompor di belakang, memastikan jendela dan pintu telah terkunci, kemudian mengambil tas.
Al mengintip ke dalam.
Ruang depan berukuran 2x1 meter. Ada televisi tua di atas bufet kecil. Televisi yang kemungkinan masih sering difungsikan karena remotnya tergeletak persis di sebelahnya. Aliran listrik masih terpasang, dan kabel sambungan antena juga masih melekat. Ada kipas duduk kecil di depan televisi. Ada asbak, tiga buku tebal yang sampulnya ditulis dengan huruf Braille di rak bufet. Sebuah tikar kusam digelar sebagai alas dengan sebuah bantal di atasnya.
"Jika mau, kami mengizinkan seandainya Ibu membawa seseorang sebagai pendamping," Al berujar.
Irawan mengangguk setuju meski ia tahu Bu Nur tidak akan bisa melihat gerakan kepalanya.
Bu Nur menggeleng cepat. Bahkan tanpa sempat berpikir. "Enggak apa-apa. Saya bisa sendiri," katanya yakin.
Al dan Irawan mengarahkan Bu Nur ke tempat kendaraan mereka terparkir. Terletak di lapangan terbuka depan gang. Yang juga digunakan beberapa angkot untuk mangkal.
Selama dalam perjalanan, tidak satu pun pembicaraan terdengar. Al berkali-kali mencuri-curi pandang ke arah Bu Nur.
Penampilan Bu Nur sederhana. Rambutnya yang panjang bergelombang diikat rendah. Kemeja hitam bunga-bunga dan celana kain hitam yang dikenakan tampak kebesaran. Meski pakaiannya bukan keluaran terbaru tapi rapi dan bersih. Wajahnya polos tanpa sapuan mekap, bahkan lipstik.
Perjalanan memakan waktu 25 menit. Begitu sampai, Irawan dan Al berpisah. Irawan yang selanjutnya bertugas untuk menanyai Bu Nur, segera melapor pada Kapten Lukman. Sementara Al bertugas mengantar Bu Nur ke lantai dua. Untuk melakukan identifikasi.
Kamar otopsi memiliki ruangan yang cukup luas. Selain sebagai tempat untuk melakukan otopsi, ruangan juga memiliki ruangan lain yang digunakan untuk menyimpan jenazah.
Jenazah yang disimpan untuk waktu tertentu demi membantu kelancaran proses penyelidikan. Atau jenazah yang anggota keluarganya belum datang melakukan identifikasi. Di ruangan itu, Zeroun telah menunggu. Al telah lebih dulu memberi kabar terkait kedatangan keluarga korban.
Suara tak-tak tongkat bantu Bu Nur memenuhi ruangan ketika ia masuk. Zeroun memerhatikan Bu Nur lekat-lekat kemudian beralih pada Al. Mengerti arti tatapan Zeroun, Al mengangguk.
"Silakan!" Zeroun menuntun Bu Nur ke arah brankar tempat Aldi berbaring. Zeroun kemudian menyingkap kain putih yang menutupi jenazah sampai sebatas dada. "Tolong bantu kami mengidentifikasi seandainya benar ini jenazah Aldi."
Bu Nur mengangguk. Ia mendekat lagi selangkah, menelan ludahnya. Tangannya bergerak perlahan. Meski ragu dan sempat berhenti di udara, tapi terus bergerak. Dirabanya wajah anak laki-laki yang berbaring tanpa nyawa di depannya. Mungkin terkejut karena rasa dingin, tangan Bu Nur sempat tersentak.
Tangan Bu Nur mulai menyentuh rambut, telinga, mata, hidung. Tangannya terus bergerak. Bersama dengan itu ia menggigit bibir bawahnya. Tangannya bergetar tapi masih terus meraba. Menyentuh bibir, dagu, wajah. Yang terakhir luka di kening yang berbentuk khas.
Semakin kencang ia menggigit bibir, semakin bergetar seluruh tubuhnya. Untuk pertama kali isaknya terdengar. Bentuk wajah, mata, hidung, dagu, bibir, rambut, ia tahu anak laki-laki yang tengah berbaring di depannya adalah putranya. Aldinya. Ia mampu mengenali dengan jelas buah hatinya.
Seorang ibu tidak mungkin lupa bagaimana rasanya menyentuh anaknya. Ia selalu ingat karena ialah yang melahirkannya. Selalu menyentuhnya sejak lahir. Jadi, bagaimana mungkin bisa lupa.
Aldi selalu merasa senang saat ibunya mengelus kepalanya. Biasanya memang seperti itulah cara Bu Nur memuji Aldi jika selama sehari penuh berkelakuan baik.
Sekarang, berapa kali pun Bu Nur mengusap kepalanya, memujinya, tidak ada ekspresi bahagia atau merasa disayang. Ekspresinya telah membeku. Wajahnya pucat karena darah berhenti mengalir. Tubuhnya telah berubah hampir sedingin es.
Meski selalu menunduk, jika ibunya berbicara Aldi pasti akan selalu menatap ke wajah ibunya. Ketika ibunya menangis, tanpa alasan air matanya akan ikut jatuh juga. Ketika ibunya tertawa ia akan ikut tertawa. Seperti itulah Aldi. Sekarang tidak lagi. Tidak akan bisa.
Suara tangis Bu Nur semakin histeris. Begitu menyayat. Membuat pilu siapa pun yang mendengarnya. Air matanya mengalir dengan deras.
Bu Nur seolah bukan lagi dirinya. Ia terus memanggil-manggil nama anaknya. Meratap. Mengguncang-guncangkan tubuhnya seakan bisa membuatnya bangun. Seolah Aldi hanya tidur siang. Seolah setelah ini semuanya akan baik-baik saja. Kembali seperti sebelumnya.
Bukankah Aldi suka ketika kepalanya diusap. Saat ia berbicara padanya. Saat tersenyum padanya. Bukannya Aldi paling tidak bisa melihat ibunya menangis.
Atmosfer ruangan dipenuhi oleh duka kehilangan. Al dan Zeroun meninggalkan Bu Nur. Memberinya waktu untuk berduka.
Meski tidak mudah, meski teramat menyakitkan, memang seperti inilah cara hidup berlaku kejam.