Chereads / Regret (Kriminal) / Chapter 9 - • Delapan.

Chapter 9 - • Delapan.

Zeroun sedang berada di TKP tempat mayat Aldi di temukan ketika Al memasuki area pemancingan.

Al memarkir sepedanya, meletakkan helm sepeda dan mengganti dengan topi putihnya. Melihat Zeroun ada di ujung jalan, Al berbelok menuju arah lain. Ia masih merasa kesal setiap mengingat kata-kata yang Zeroun lontarkan padanya.

'Dari sekian banyak tempat, kenapa masih juga bisa bertemu dengan Zeroun.' Al mengomel pada dirinya sendiri. Ia berusaha keras mengabaikan Zeroun. Berpura-pura tidak melihatnya. Al sedang menguatkan diri walau akhirnya ia tetap tidak bisa.

Al menghela nafas panjang dan berjalan dengan punggung terbungkuk. Tidak ingin disebut sebagai manusia berhati sempit, ia berbalik. Menuju ke arah Zeroun berada.

"Ada yang bisa saya bantu?" Al menawarkan bantuan dengan membuang muka.

"Kenapa kembali?"

Sebelah alis Al terangkat. Ia tidak menyangka kalau Zeroun melihat dirinya yang berencana mengabaikan Zeroun. Padahal Zeroun begitu fokus pada apa yang dikerjakannya. Sama sekali tidak terlihat mengangkat wajah atau memerhatikan kedatangannya.

Al memperhatikan Zeroun lekat. Barangkali pria itu memiliki mata lain yang bersembunyi di antara rambut atau punggungnya.

Tahu sedang diperhatikan dengan tatapan aneh, Zeroun balik menatap. Tatapan tidak suka. Tatapan merasa terganggu. Al mengalihkan pandangnya, membuang jauh-jauh pikiran konyolnya.

"Menegur sesama rekan adalah syarat mutlak menjadi manusia non anti-sosial," sindir Al. Ia bahkan menekankan kata 'anti-sosial.'

Tangan Zeroun sempat berhenti bergerak, tapi kemudian ia lanjutkan lagi kesibukannya. Tidak memberi tanggapan apa pun. Tidak ingin berdebat.

Tidak juga digubris, Al menghela nafas lagi. "Tidak butuh bantuan, ya sudah," katanya tak acuh.

Al meninggalkan Zeroun menjauh beberapa langkah. Beralih pada tujuan kedatangannya. Ia memperhatikan sekeliling. Melihat-lihat.

Sejak penemuan mayat Aldi, tempat pemancingan masih ditutup. Kalaupun nanti sudah kembali dibuka, orang-orang tidak akan datang sesering atau seramai sebelumnya. Paling tidak mereka butuh waktu untuk terbiasa. Untuk tidak lagi merasa ngeri ketika memikirkan mereka tengah berada di tempat dimana mayat seorang anak ditemukan.

Tempat pemancingan adalah sebuah sungai yang alirannya langsung menuju laut lepas. Parkiran di bagian depan dibuat luas dan terbuka. Sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat pelelangan ikan pada sore hari ada di sisi kiri. Sisi kanan adalah jalan setapak untuk menuju ke tempat pemancingan.

Bagian bibir sungai masih berupa rawa dengan rerumputan setinggi lutut orang dewasa.

Alasan Al kembali ke tempat mayat Aldi ditemukan adalah ingin memastikan sesuatu.

Al teringat kalimat Zeroun yang menyebutkan bahwa pelaku kemungkinan adalah pemancing yang sudah sering datang. Barang kali jika ia kembali lagi untuk memeriksa, ada petunjuk yang bisa didapatkan.

Tidak ada CCTV di mana pun karena area pemancingan merupakan tempat terbuka. Tidak juga di pelataran parkir. Al telah berkeliling. Tempat pemancingan yang digunakan adalah tempat pemancingan umum. Siapa saja bisa datang dan memancing tanpa melapor. Tanpa memiliki kartu keanggotaan.

Berputar-putar tidak membuat Al mendapatkan informasi yang berharga. Ia menggali kembali ingatannya. Kembali ke hari ketika mayat Aldi ditemukan.

Hari itu Al dan rekannya yang lain melakukan pencarian. Mengamati daerah sekitar tempat pemancingan. Hari itu juga orang-orang yang berkumpul untuk menonton tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa orang yang kebetulan lewat dan orang-orang yang memang telah membuat jadwal untuk datang memancing. Bahkan reporter yang ingin mengulas berita saja datang terlambat. Pelaku tidak mungkin tahu mengenai kabar penemuan mayat korban sebelum berita diulas.

Ya, benar. Di antara kerumunan itu tidak mungkin ada pelaku. Kecuali pelaku adalah seseorang yang bekerja di pelelangan ikan. Tapi itu juga rasanya mustahil karena rekannya yang lain sudah memeriksa alibi para pekerja. Seandainya pun pelaku adalah salah satu pekerja, seharusnya ia membuang mayat korban di tempat yang berbeda agar saat mayat ditemukan ia tidak turut dicurigai.

Meski sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, mata Al selalu kembali beralih pada Zeroun. Seperti ke mana pun Al menghadap, Zeroun selalu terlihat. Pria itu sedang sibuk berkeliaran di sekitar sungai. Tempatnya basah dan berlumpur. Ia sudah hampir mengelilingi semua tempat di area itu. Al yang sangat ingin mengabaikannya menjadi tidak bisa. Tidak tega.

Matahari tepat berada di atas kepala. Panasnya sangat membakar dan cepat membuat orang dehidrasi. Peluh telah memenuhi kening Zeroun. Leher dan punggungnya juga sudah mulai basah.

Al memperhatikan topi yang dipakainya. Setidaknya ia bisa sedikit menghalau panas. Berbeda dengan Zeroun. Kembali, Al menghela nafas panjang dan berjalan ke arah Zeroun dengan punggung membungkuk.

"Kenapa saya kembali? Karena membantu rekan yang membutuhkan adalah syarat nomor dua untuk menjadi manusia non anti-sosial," Al bertanya dan menjawab sendiri pertanyaannya. "Jadi, apa yang harus saya cari?" tambahnya meminta instruksi.

"Sepatu," jawab Zeroun singkat.

Bola mata Al bergerak ke arah kaki Zeroun dan sepasang sepatu yang terdapat banyak noda kecokelatan masih berada di sana.

"Bukan sepatu saya," Zeroun berkata tanpa mengangkat wajahnya.

"Oh."

Al memicingkan matanya. Zeroun jelas tidak sedang memperhatikannya ketika ia melihat ke arah kakinya. Jangan-jangan Zeroun bisa membaca pikiran orang. Tapi di mana ada orang yang bisa membaca pikiran orang lain tanpa melihat wajahnya.

Kalau bukan membaca pikiran berarti benar dugaannya di awal. Zeroun memiliki mata yang tersembunyi di bagian tubuhnya yang lain.

Tidak kunjung mendapat penjelasan mengenai sepatu siapa yang tengah mereka cari, Al terpaksa berpikir sendiri. Ia tidak ingin memaksa bertanya lagi dan mendapat jawaban ketus dari Zeroun. Masih mending jika diketusi, bagaimana kalau Zeroun hanya diam saja. Berlagak tidak mendengar pertanyaannya. Itu jauh lebih mengerikan.

Ketika Zeroun berbicara, 80 persen yang keluar dari mulutnya adalah sesuatu yang menyebalkan. Itu sudah pasti. Al tidak ingin anggapan mengenai ketidak pantasannya menjadi seorang polisi kembali dibahas.

Ketika Zeroun sedang diam atau pun berbicara ternyata sama-sama tidak menyenangkan bagi orang lain.

Al mulai serius berpikir. Ingatannya kembali pada hari itu. Ketika mayat Aldi telah selesai diperiksa. Ketika ia sendiri melihat bagaimana kondisi tubuh Aldi. Kemudian ketika tubuh itu dimasukkan ke dalam kantong dan diangkut. Ketika barang-barang miliknya yang tersisa dimasukkan ke dalam plastik bukti.

Benar, yang hari itu terlihat hanya ada satu sepatu milik Aldi.

"Bagaimana kita bisa menemukan sepatu itu di tempat seluas ini?" Al berhenti mencari dan protes. "Lagi pula rekan yang lain sudah melakukan pencarian di hari pertama dan tidak ada apa pun. Bagaimana Anda bisa yakin sepatu itu berada di sekitar sini bukannya di tempat lain? Bagaimana kalau ternyata sepatu itu ada di dalam air? Apa kita harus menyelam dan mengubek-ubeknya juga?"

Al memprotes panjang lebar. Mempertanyakan banyak hal. Pencarian yang dilakukan Zeroun benar-benar tidak masuk akal.

"Saya tidak menyuruhmu mencari. Kamu sendiri yang menawarkan diri. Sekarang bukannya mencari kamu justru mengomel!" tandas Zeroun.

Seketika Zeroun terdiam. Kalimat Al membuatnya menyadari sesuatu.

"Dimana lagi sepatu Aldi bisa tertinggal?" tanya Zeroun pada dirinya sendiri. "Apa mungkin di TKP pembunuhan? Atau... di dalam kendaraan pelaku?" Zeroun melihat ke arah Al seolah meminta pendapat.

Zeroun tidak benar-benar meminta pendapat. Hanya sekadar mengambil jeda untuk mengatur kembali pikirannya. Ia berbicara terus pada dirinya sendiri. Al yang nyaris mengutarakan pendapatnya, kembali menelan kata-katanya begitu mendengar Zeroun melanjutkan kalimatnya.

"Kendaraan pelaku? Mobil pribadi, kendaraan sewaan, taksi, angkot, minibus..." Zeroun memikirkan segala kemungkinan dan menyusun kembali analisanya.

"Kendaraan…" Al ikut bergumam. "Benar, kendaraan!" tambahnya berseru sembari menepuk tangannya.

Suara Al terdengar berisik. Sangat mengganggu.

Zeroun yang sangat tidak suka diganggu ketika berpikir, mendelik tajam ke arah Al. Hampir saja ia memungut apa pun yang bisa ia temui untuk melemparnya agar menyingkir. Untung ia segera sadar. Ia tidak sedang berada di wilayahnya jadi tidak bisa seenaknya.

Al sendiri tidak peduli dengan tatapan tajam Zeroun, atau pun kemarahannya. Ia terlalu bersemangat. Hampir saja ia melewatkan sesuatu yang penting. Teramat penting. Petunjuk yang kemungkinan besar bisa membantunya menemukan pria misterius itu. Pria yang coba Bu Nur lindungi.

Al akan meninggalkan Zeroun, tapi ia menahan langkahnya sesaat. Ia memandangi Zeroun, melepaskan topinya dan memakaikannya pada Zeroun.

"Saya pergi dulu, selamat mencari!" Kata Al sembari menepuk-nepuk bahu Zeroun.

Garis vertikal muncul di kening Zeroun. Tatapannya mengikuti tubuh Al yang bergerak menjauh.

Zeroun merasa aneh ketika bahunya ditepuk. Ketika Al memakaikan topi ke kepalanya. Ketika mengenakan sesuatu yang bukan miliknya. Kapten memang sering melakukan hal yang sama, tapi tidak orang lain. Tidak orang yang tidak akrab dengannya.

Zeroun menyentuh bahunya sendiri, kemudian mengusap-usap bahunya seolah sedang menyingkirkan debu. Topi Al yang ada di kepalanya juga ia lepas. Zeroun menjepit dengan telunjuk dan ibu jarinya. Ia memperhatikan topi putih itu di depan hidungnya.

Matahari benar-benar terik. Zeroun mendongakkan kepalanya, kemudian memerhatikan dirinya sendiri. Ia bahkan baru sadar tubuhnya telah bermandikan keringat. Zeroun berpikir sesaat, dan memutuskan memakai lagi topi milik Al.

Ia mulai mencari lagi, tapi segera berhenti. Zeroun mendapat firasat bahwa ia tidak perlu lagi membuang-buang waktu untuk mencari. Bahwa akan segera ada kabar baik mengenai perkembangan kasus.

Tidak lama lagi.

Zeroun meninggalkan area pemancingan. Ia mengendarai kendaraannya kembali ke kantor. Dalam perjalanan, ia menatap ke arah spion. Memerhatikan penampilannya yang berantakan, juga topi Al yang masih melingkar di kepalanya.

Kebanyakan orang akan merasa segan padanya. Sisanya menjaga jarak karena tidak begitu menyukai sikapnya. Selalu seperti itu. Bahkan sejak ia masih berada di sekolah dasar.

Zeroun tidak suka diganggu, selalu berbicara tentang apa yang dipikirkannya tanpa pertimbangan ini, itu. Tanpa berpikir ia mungkin saja akan menyakiti hati seseorang. Tanpa peduli bahwa ia tengah berbicara pada seorang guru.

Baru kali ini, seseorang berani bertingkah sok akrab dengannya.