Penyelidikan kembali dilakukan dengan berfokus pada tugas-tugas yang Kapten Lukman berikan. Setelah mampir ke kantor untuk absen, Al telah pergi menjalankan tugasnya sejak pagi. Penampilannya terlihat santai. Kaus biru laut berkerah, lengan panjang. Celana jins dongker, waistbag, dan topi putih untuk menghindari panas.
Dengan penampilan Al, tidak akan ada yang berpikir bahwa ia seorang polisi. Bahwa ia sedang bertugas. Ditambah lagi Al berkeliling dengan mengayuh sepedanya.
Bu Nur akhirnya keluar dari rumah. Mungkin pergi ke terminal seperti biasa.
Begitu meninggalkan rumah, Irawan yang bertugas mengintai mulai membuntut. Ia berjalan di belakang Bu Nur. Mengatur jarak dan langkahnya.
Ketika Bu Nur dan Irawan tidak lagi terlihat di belokan depan gang, Al memarkir sepedanya. Ia mengenakan topi dan mulai mencari informasi.
Al memulai dari tetangga terdekat.
"Ah, iya ada!" seru si ibu. Ia masih membawa sutil ketika berbicara dengan Al di depan pintu. "Biasanya dia datang siang. Kira-kira jam istirahat. Kadang jam 12, kadang jam 1 siang. Kadang-kadang kalau ada Aldi di rumah, sekalian jagain Aldi. Tapi itu pasti bukan jagain." Si ibu menggeleng.
Suara si ibu berubah pelan. Ia menurunkan volumenya seolah ada penguping di sekitar mereka.
Al otomatis harus lebih dekat untuk bisa mendengarkan apa yang si ibu akan katakan. Ia tidak ingin melewatkan satu pun informasi.
"Aldi lebih sering nangis kalau orang itu datang. Pernah satu kali sampai jerit-jerit. Waktu mau diperiksa suami saya, Aldi sudah enggak jerit-jerit lagi. Jadi suami saya balik pulang," kata si ibu memberi keterangan. "Terus setiap orang itu datang, Aldi jadi lebih sering keliaran di jalan dibanding pulang ke rumah."
"Ibu tahu seperti apa orangnya? Pernah lihat?" Al kembali mengajukan pertanyaan.
Si Ibu menggeleng pelan, merasa menyesal tidak memiliki cukup informasi.
"Ah, pernah satu kali!" seru si ibu tiba-tiba membuat Al terkejut. "Waktu dia pulang. Sudah lama, sih. Kira-kira tingginya... se-Mas ini. Badannya sedikit lebih kurus."
"Wajahnya?"
"Engga kelihatan. Soalnya saya lihat dari belakang waktu dia jalan ke luar gang," si ibu berkata sembari menggeleng. "Oh iya, omong-omong Mas dari mana? Wartawan atau..."
"Maaf Bu," Al memotong cepat. "Sepertinya ikan Ibu hangus."
"Ah, iya. Ikanku!!!" Si ibu memekik dan segera meninggalkan Al, berlari ke dalam.
Tidak menghasilkan informasi yang cukup, Al mendatangi beberapa tetangga lagi. Rumah kedua kosong. Sepertinya penghuninya sudah pergi ke tempat kerja. Di rumah ketiga, Al harus mengetuk beberapa kali dan menunggu lebih lama dari rumah pertama.
Pemilik rumah akhirnya ke luar menyapa. "Mas siapa?"
Si Ibu rumah ketiga bertanya. Ibu kali ini lebih muda. Karena masih mengenakan piama, jelas ia baru bangun tidur. Si Ibu muda menatap Al dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia membawa sisir dan sedang menyisir rambutnya yang panjang lambat-lambat.
Al telah membuka mulutnya bersiap menjawab. Ia juga telah menarik kartu pengenalnya untuk ditunjukkan. Tapi kata-katanya tidak jadi disuarakan karena si ibu muda lebih dulu berbicara.
"Saya tahu, pasti wartawan. Wartawan media online, 'kan? Soalnya wartawan-wartawan media besar sudah ramai-ramai ke sini kemarin. Mas yang terakhir," kata si ibu muda membuat penilaian sendiri. "Semalam juga ada wartawan yang datang cuma suami saya melarang saya ke luar rumah."
Al tersenyum. "Bukan," katanya dengan suara yang hanya bisa ia dengar sendiri.
"Tanya tentang siapa tadi? Oh, pacarnya Mbak Nur? Enggak, saya enggak pernah lihat. Soalnya kalau dia datang ke rumah Mbak Nur, di jam-jam orang tidur siang jadi saya enggak pernah ketemu."
"Oh iya, Ibu pernah lihat badan Aldi memar?"
"Pernah. Memang kenapa?" si ibu muda balik bertanya. "Ibunya bilang itu karena Aldi jatuh atau terbentur. Aldi, 'kan kalau jalan suka tunduk. Saya pernah lihat sendiri. Waktu itu Aldi hampir ketabrak motor di jalan."
Mendadak si Ibu muda terdiam. Ia kembali menatap Al dari ujung rambut sampai ujung kaki. Keningnya berkerut. Tatapannya penuh kecurigaan.
Al yang tiba-tiba merasa seperti baru ketahuan berbuat jahat, mundur selangkah. Memberi jarak.
"Jangan bilang Mas pikir Mbak Nur yang memukul Aldi?" tuduh si Ibu muda.
"Ha?!" Al tercengang. Ia pikir telah ketahuan kalau identitas sebenarnya bukan wartawan. "Enggak, enggak. Ibu Nur, 'kan orangnya baik. Saya tahu itu," kilahnya cepat.
"Biar begini-begini saya bisa cepat mengenali pembohong dan orang jahat, loh."
Pembohong. Al merasa kata itu digunakan untuk menyindirnya. Ia menanggapi dengan memaksakan senyumnya. Pasti hanya perasaannya.
Tidak lupa Al juga menanyakan apakah para tetangga melihat berita yang mengumumkan sketsa wajah Aldi. Juga menanyakan alasan kenapa tidak ada salah satu dari para tetangga yang datang untuk melapor.
"Jaman sekarang siapa yang masih menonton televisi? Apalagi hanya untuk melihat berita," celetuk si ibu muda.
Sebenarnya mereka baru sadar kalau mereka tidak pernah begitu memperhatikan keluarga itu. Mereka tidak pernah memperhatikan Aldi. Tidak juga segera terusik atau tersentuh hatinya saat rintihan anak itu terdengar suatu kali. Sibuk bergulat dengan kesibukan sendiri. Hingga, ketika wajah Aldi diperlihatkan dengan jelas melalui sketsa, memang terasa familier, tapi mereka tetap tidak bisa mengenalinya.
Enam bulan tinggal di lingkungan yang sama mungkin waktu yang terlalu cepat bagi mereka untuk bisa mengenal Bu Nur dan Aldi secara pribadi. Untuk saling akrab.
"Sebenarnya Mbak belakang bilang kalau anak yang di televisi itu mirip Aldi. Tapi waktu ditanya ke Ibunya, bilangnya 'enggak mungkin. Aldi lagi di tempat keluarganya. Baru tidur'. Yah sudah. Kita mah percaya-percaya aja." Si ibu muda menambahkan keterangannya.
"Bu Nur bilang begitu?" Al memastikan.
"Iya. Kata Mbak belakang, Mbak Nur langsung telepon keluarganya itu buat memastikan."
Satu pertanyaan terakhir Al ajukan sebelum pamit. Tentang siapa orang yang paling dekat dengan Bu Nur di lingkungan mereka.
Meski baru 6 bulan tinggal, tidak menutup kemungkinan Bu Nur memiliki teman atau tetangga yang dekat dengannya. Yang kemungkinan bisa memberi informasi lebih banyak. Lebih bisa memberi titik cerah.
"Mbak belakang."
"Mbak belakang?" ulang Al.
Si Ibu muda mengangguk dan menjelaskan dengan singkat. Siapa mbak belakang yang ia maksud dan di bagian belakang mana tempat tinggalnya. Cukup jelas, Al berterima kasih dan pamit.
Mbak belakang sedang menyiram tanaman ketika Al datang. Tampaknya sedang melamun. Ketika Al menyapa, si mbak kaget dan selang air yang ia gunakan untuk menyiram tanamannya ikut menyiram tubuh Al.
Meski tidak sengaja telah menyiram orang, tampaknya mbak belakang lebih normal dibanding dua ibu yang sebelumnya berbicara dengan Al. Paling tidak, si mbak tidak membawa sutil atau pun sisir ketika berbicara dengan tamu. Si mbak bahkan mempersilakan Al duduk dan menyuguhinya air.
Di situasi seperti ini, Al bisa memperkenalkan dirinya dengan nyaman.
Tidak mudah membuat si mbak berbicara. Al mengerti perasaan tidak ingin menghianati teman karena telah dipercaya. Ia tidak terburu-buru. Membujuk pelan-pelan. Menyampaikan maksud baiknya dengan tepat. Perlahan tapi pasti, usaha Al pun berhasil.
Dibanding dua informasi yang telah didapat sebelumnya, kali ini Al bisa mendengar lebih banyak, mencatat lebih banyak, dan memperoleh poin penting juga lebih banyak.
Si mbak banyak bercerita mengenai perasaan Bu Nur. Juga mengenai perjalanan hidup sebelumnya yang tidak mudah. Dari si mbak, Al tahu kalau ternyata Bu Nur telah menikah sirih dengan pria yang masih belum diketahui identitasnya.
Meski telah menikah, Bu Nur dan pria itu masih belum ingin hubungan mereka diketahui orang lain. Ibu mertua Bu Nur tidak menyukainya. Ia tidak ingin ada orang yang bergosip di belakang. Karena alasan itu juga mereka masih belum tinggal serumah. Kata Bu Nur, mereka masih memikirkan cara untuk membujuk ibu mertuanya.
Berdasar keterangan si mbak juga, kekerasan yang menimpa Aldi terbukti benar adanya. Pria itu pernah melakukan kekerasan pada Aldi dan diketahui oleh Bu Nur.
"Saya sangat marah waktu pertama kali tahu. Laki-laki itu jelas enggak bisa dipercaya dan kasar." Si mbak berubah emosional. "Tapi Nur bilang, laki-laki itu hanya mendidik Aldi dan enggak akan menjadi kelewat batas. Sebagai seorang anak, Aldi perlu seseorang ayah untuk dididik."
Al mengerti. Sesuatu menjadi di luar kendali biasanya bukan tanpa sebab. Kebanyakan adalah kalkulasi dari hal-hal yang telah terjadi. Dan tragedi ini pun sama.