Rasyid Aldebaran, akrab dipanggil Al. Seorang pemuda berusia 26 tahun, tinggi 182 senti, dengan mata sayu. Rambut belah samping, hitam, tebal, sedikit panjang namun tidak sampai menenggelamkan lehernya. Ia tinggal sendiri di rumah yang memiliki dua kamar.
Di meja ruang tamu berhambur buku, majalah, dan kertas-kertas yang menutupi sebuah laptop dengan powernya yang masih menyala. Ada jaket yang menggantung di punggung sofa, juga handuk setengah basah yang baru ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya. Kaus hitam terlihat tergeletak begitu saja di lantai.
Tidak kalah berantakan, di depan televisi, bantal dan guling terpisah jauh. Kasur yang ada di lantai, seprainya hanya membungkus setengah. Selimut belum terlipat, dan kipas angin masih berputar dengan kencang.
Tampak berbeda, kamar mandi telah lebih dulu bersih. Selalu menjadi yang pertama karena disikat tepat setelah selesai digunakan. Air dalam bak penuh. Lantai pun mengkilap tanpa genangan air.
Dapur tidak kalah bersih dan rapi. Bahkan tidak ada noda kerak yang terlihat di sekitar kompor. Tidak ada tumpukan piring kotor. Tidak ada genangan air karena tempat pencucian piring tersumbat. Bumbu-bumbu dapur diletakkan kembali pada tempatnya. Tempat sampah telah kosong. Di tempat penirisan, tes-tes air jatuh dari piring dan gelas yang baru dicuci.
Penghuni rumah yang telah berpakaian rapi keluar dari kamar. Jam di dinding menunjukkan pukul 07.15. Ia merapikan ruang tamu. Memisahkan kertas-kertas sampah dan yang masih dibutuhkan. Meletakkan majalah di bawah meja, dan buku-buku di rak samping bufet.
Handuk basah digantung di depan kamar mandi, sementara kaus hitam di lantai dilemparnya ke dalam keranjang pakaian kotor. Jaket dan laptop dibawanya masuk ke dalam kamar dan diletakkan masing-masing pada tempatnya. Begitu kembali ke luar, ransel hitam telah menempel di punggungnya.
Al mengambil kunci yang menggantung di dinding dan siap untuk berangkat kerja.
Halaman depan rumah Al tidak banyak ditumbuhi tanaman. Hanya ada 3 dalam pot hitam dan satu pohon ceri rendah. Al tidak hobi bercocok tanam. Hanya menjaga rumput tetap tumbuh pendek saja sudah cukup merepotkan untuknya.
Koridor teras yang memiliki lebar 3 keramik berukuran 40x40 senti, diisi dua kursi dari rotan dan satu meja kecil. Parkiran samping diisi oleh sepeda dan ninja kesayangannya.
Pagar rumah setinggi dagu orang dewasa terbuat dari teralis. Pagar yang memiliki ukuran dan bentuk sama dengan rumah-rumah lain yang ada di sekitarnya.
Rasyid Aldebaran berasal dari keluarga yang cukup berada. Ayah dan Ibunya merupakan pensiunan Pegawai Negeri Sipil. Sementara kakaknya bekerja di salah satu BUMN.
Al menenteng plastik sampah dan menunggangi sepedanya meninggalkan rumah.
Dalam seminggu, kadang Al berolahraga hanya dua kali. Entah itu joging atau mengunjungi gym center. Kadang justru tidak sama sekali karena malas. Oleh karena itu ia lebih memilih rutin mengayuh sepedanya ketika pergi ke tempat kerja.
Langit cerah. Matahari merekah. Jalan telah menumpuk kendaraan dengan padat. Debu dan polusi saling beradu, bertebaran di sepanjang jalan. Dibawa oleh angin.
Berhenti di antara kendaraan bermesin karena lampu menyala merah, Al merapatkan masker yang dipakainya.
Tidak ingin terjebak dalam kemacetan panjang di padatnya jalan, adalah salah satu alasan Al memilih bersepeda. Jika menunggangi si hitamnya, jelas ia bisa terlambat sampai 10 menit. Bahkan mungkin lebih.
Ketika sampai di tempatnya bekerja, waktu menunjukkan pukul delapan kurang dua menit.
Selesai memarkir kendaraannya, Al melihat tiga orang yang ia kenal sebagai rekannya bergegas meninggalkan ruangan. Mereka bergerak dengan terburu-buru menuju satu mobil dinas.
"Ada apa?" Al menyusul dengan langkah cepat.
"Ada kasus. Ayo!" Seorang pria dengan kumis tipis di bawah hidung, dan menjadi yang paling tinggi dari yang lainnya menyahut.
Al adalah seorang Perwira. Setelah lulus dari Akademi, Al berpindah tugas sebanyak dua kali di kota kecil yang berbeda-beda. Sampai akhirnya, seminggu yang lalu ia bisa kembali untuk mengabdi di kota kelahirannya.
Saat akhirnya Al bisa kembali, keluarganya justru pindah ke tempat lain. Orang tuanya memutuskan menetap di kampung halaman mereka. Sementara kakaknya, setelah naik pangkat dipindah tugaskan di kantor pusat. Yang tersisa kemudian hanya adik dari ayahnya sebagai satu-satunya keluarga yang tinggal di kota yang sama.
Untuk menjaga silaturahmi, Al rutin berkunjung ke rumah pamannya. Mengisi daftar hadir untuk menengok mereka. Berakrab ria dengan para sepupu dan bermain dengan keponakan yang baru berusia satu tahun.
Di tempatnya yang sekarang, Al ditugaskan di satuan Reskrim unit Kejahatan dan Kekerasan. Bersama dengan tiga orang rekannya; Adam yang paling tinggi duduk di kursi kemudi, Dio si baby face, dan Irawan si kepala plontos dengan tubuh yang nyaris dipenuhi oleh otot. Mereka berempat kini sedang dalam perjalanan menuju TKP.
"Kasus apa?" tanya Al di tengah perjalanan menuju TKP. Ia duduk di kursi belakang bersama Irawan.
"Bocah tenggelam," jawab Adam membuat air muka Al berubah seketika.
Berhadapan dengan kasus yang korbannya adalah anak di bawah umur adalah hal yang paling membuat perasaan Al tidak nyaman.
Mengingat sifat Al yang biasanya penuh semangat dan antusias, harusnya ia menanyakan beberapa hal terkait kasus untuk mulai menganalisa. Tapi jangankan bertanya, ia bahkan tidak tahu kemana mereka akan pergi. Bibirnya mendadak kelu.
"Kenapa, mual membayangkan mayat yang sudah tiga hari tenggelam?" Dio yang menangkap ekspresi berbeda dari wajah Al bertanya.
Tidak menyahut, Al hanya menarik paksa bibirnya untuk mencoba membuat senyum.
"Aku juga masih belum terbiasa walaupun sudah lebih dari 10 kali berhadapan dengan kasus seperti ini." Dio bercerita tanpa diminta.
Irawan mengangguk-angguk setuju. Pertama kali mendapat kasus yang sama, ia bahkan sampai muntah.
"Jangan curhat, Dio," Adam menimpali.
"Bukan curhat, Bro, ini namanya menghibur teman," Dio menanggapi.
"Terima kasih atas hiburannya, teman." Al berkata dengan gaya sedikit membungkuk seperti pendekar-pendekar dalam drama Wuxia saat memberi salam. Satu tangan terkepal dan yang lainnya terbuka.
Mereka semua tersenyum. Al, Adam, Dio, dan Irawan. Suasana hati Al menjadi lebih cair meski masih tetap merasa tidak nyaman.
Di tempat kejadian, unit Inafis telah terlihat sibuk melakukan olah TKP. Garis polisi dipasang dan dua petugas berseragam sedang berjaga di masing-masing bagian.
Ada sekitar 10 warga dan pemancing yang berdiri di luar garis. Mereka sedang berbisik-bisik dan menduga-duga, ingin tahu secara persis apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa dari warga yang memadati TKP mengeluarkan ponsel untuk merekam dan mengambil gambar. Mereka juga mengajukan beberapa pertanyaan kepada petugas yang berjaga.
Mayat korban telah berada di permukaan. Seorang petugas yang mengenakan sarung tangan karet seperti petugas lain dari unit Inafis, sedang memeriksa. Memerhatikan setiap bagian tubuh korban beserta tanda-tanda yang muncul. Selesai memeriksa, ia berbicara singkat dengan Kapten Lukman yang berdiri di bibir sungai.
Tim yang diturunkan Kapten Lukman sampai ketika petugas telah selesai memeriksa dan selesai menyampaikan beberapa gambaran kasar mengenai korban pada Kapten Lukman.
Petugas berkemeja putih dan celana formal hitam itu kemudian menjadi yang pergi lebih dulu dibanding semua orang yang berada di TKP. Ia berpapasan dengan tim yang baru datang. Tapi hanya berlalu begitu saja. Tanpa menoleh. Tanpa senyum. Tanpa melemparkan sapaan ala kadarnya.
Al yang berjalan paling belakang di antara tiga yang lainnya memerhatikan. Melihat reaksi si petugas, ia hanya menaikkan sebelah alisnya.
TKP adalah sungai tempat pemancingan yang berjarak 20 menit dengan berkendara dari jalan masuk. Ada papan-papan kayu yang dipasang mulai dari bibir sungai sampai ke bagian sungai yang lebih dalam. Para pemancing biasanya duduk-duduk di atas papan sembari mengamati kail mereka.
Ketika air tidak begitu tinggi, tidak jarang ada anak-anak yang berenang. Mengganggu para pemancing yang butuh ketenangan. Membuat kabur sejauh-jauhnya ikan buruan mereka.
Kapten telah memberi instruksi dan membagi-bagi tugas. Seorang pemancing yang melihat tubuh korban pertama kali sedang dimintai keterangannya oleh Adam.
Al dan Irawan bertugas berkeliling untuk mengenali tempat-tempat di sekitar TKP, juga mencari kemungkinan adanya petunjuk yang tertinggal.
Sementara Dio, menanyakan beberapa pertanyaan pada orang-orang yang berkumpul. Barangkali ada saksi lain. Barangkali salah satu di antara mereka, atau tetangga mereka, ada yang memiliki anak yang tidak lagi terlihat selama tiga hari belakangan.
Tubuh korban tenggelam telah diangkut ke dalam ambulans ketika para pekerja dari berbagai media yang berbeda berkumpul untuk meliput. Tampaknya mereka lambat mengendus kabar. Sebelum meninggalkan TKP, Kapten Lukman memberi sedikit keterangan untuk meredakan keingintahuan mereka dan berjanji akan memberi kabar lagi jika kasus sudah lebih jelas.
Tim masih bekerja. Mencari informasi. Mengumpulkan keterangan.
Si Pemancing yang pertama kali menemukan tubuh korban, tiba di tempat pemancingan sekitar pukul setengah delapan kurang. Ketika mulai memancing, kail pancingnya menyangkut di pakaian korban. Sebelumnya ia tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. Sampai kemudian rasa ingin tahunya mengusik. Ia menarik kailnya lebih dekat. Kehebohan dari rasa terkejutnya kemudian menarik perhatian beberapa orang yang kebetulan lewat.
Si Pemancing adalah orang pertama yang tiba di tempat pemancingan. Ia mengalami kesulitan tidur pada malam harinya. Setelah mengantar istrinya yang berjualan di pasar, ia memutuskan untuk pergi memancing. Seorang teman yang juga ia ajak baru tiba setelah garis polisi terpasang.
Tidak banyak yang berhasil didapat dengan informasi yang sangat terbatas. Minimal mereka harus mengantongi identitas korban. Tapi proses identifikasi untuk mengetahui identitas korban tidak berjalan baik.
Tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan mengenai identitas korban tertinggal pada jasadnya. Bahkan media yang meliput telah merilis beritanya, tapi sampai lewat tengah hari, masih belum ada orang yang datang dan mengaku sebagai keluarga korban.