Firman duduk di atas sofa ruangannya menunggu Marven teman semasa SMU nya dulu, ingatannya melayang pada saat mereka masih SMU, bagaimana Marven sangat menjaga Mayang walau dari kejauhan. Marven dan Firman sama-sama siswa yang popular di sekolah, Marven selalu menjadi bintang dilapangan Sepak Bola, sedangkan Firman selalu menjadi bintang di lapangan bola basket.
Marven sangat dekat dengan Mayang karena saudara kembarnya yang bernama Maura adalah sahabat perempuan Mayang satu-satunya.
Marven selalu melindungi Mayang secara terang-terangan tidak seperti dirinya yang hanya berani mencintainya di dalam hati, dan menjaganya dari sisi yang tak terlihat.
Hingga peristiwa itu terjadi yang membuat Mayang meninggalkannya dan Marven serta Maura yang ikut pindah ke luar negeri tanpa bisa di lacak.
Firman menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, lalu tak berapa lama pintu ruangannya terbuka lalu muncul Marven dengan langkah tegap lalu mendekati Firman yang duduk dengan santai di sofa.
BUGHHH!!!
Marven memukul Firman namun pukulannya dapat Ia tahan, lalu kembali Marven melancarkan pukulannya, dengan keadaan Firman saat ini, tak mungkin Firman dapat bergerak untuk menangkal serangan dari Marven.
Tubuh Firman terjungkal bersamaan dengan robohnya sofa single yang Firman duduki. Seketika pintu ruangan terbuka, lalu muncul asisten Firman yang datang lalu membantu Firman duduk di kursi roda yang tak jauh dari meja kerjanya.
Marven terperangah. Tak percaya dengan apa yang sedang Ia lihat, perlahan kepalanya mengeleng lalu kakinya melangkah mendekati sahabat brengseknya itu.
"Fi….Fir…Firman, katakana ini hanya tipuanmu, agar aku menghentikan pukulanku." Marven berhenti tepat didepan kursi roda yang diduduki Firman.
"Panggil saya jika anda butuh bantuan saya." Kata sang asisten Firman, lalu pergi meninggalkan mereka kembali ke ruangannya.
Firman telah menduga ini akan terjadi, karena dia sudah paham betul dengan sifat yang dimiliki oleh Marven. Dan Firman telah menduga jika Marven telah mengetahui apa yang telah terjadi antara dirinya dan Mayang. Maka Ia menyuruh asistennya untuk tidak melakukan apapun pada Marven jika hal itu terjadi. Dan ternyata benar, Marven datang dengan memukulinya membabi buta.
"Firman." Ucap Marven lalu bersimpuh di depan Firman, memegang kedua lutut Firman yang tak bergerak sedikitpun.
"Apa yang terjadi padamu, Firman?" Tanya Marven dengan masih menatap kedua lutut Firman lalu mendongak melihat wajah sahabatnya yang justru tersenyum padanya.
"Ini perbuatan mami, dan hingga kini mami belum diketahui dimana keberadannya, itulah yang membuat kedua orang tua Mayang membawa Mayang pergi dari hidupku, karena mereka menghawatirkan Mayang dan anak ku."
"Jadi, kau tahu jika Mayang disini? Bahkan kau sudah tahu bagaimana tampannya anak kalian?"
"Ya, aku sudah tahu, bahkan aku mengeikutinya setiap hari, kau tahu aku sangat mencintainya, maka tak ada alasan bagiku untuk tidak mencarinya, walau saat ini mungkin belum saatnya kami berkumpul kembali."
"Mayang sangat mencintaimu."
"Aku tahu, itu sebabnya dia selalu menolakmu."
Marven tersenyum kesal, lalu mendorong kursi roda Firman menuju ke sofa yang sudah di rapikan lagi oleh sang asisten.
"Maafkan aku, Fir. Aku sungguh tak mengetahui jika begini kondisimu."
"Rangga tak menceritakannya padamu?"
"Mungkin dia ingin aku tahu dengan sendirinya. Agar kau juga tahu bahwa pesaingmu telah datang, dan siap merebutnya darimu." Lalu Marven duduk di atas sofa sedangkan Firman tetap berada di kursi roda miliknya.
Firman tersenyum kecil, "Coba saja kalau kau bisa merebutnya dariku."
"Kau bahkan tahu jika aku bukan lawan yang sepadan untukmu."
"Maka berpikirlah untuk tidak melawanku, Marven."
"Oke, baiklah. Tapi aku kesini bukan untuk itu. Tapi untuk sesuatu hal."
"Apa itu?"
"Aku ingin kau menjadi investor untuk resort milik kakek Mayang yang kini Ia kelola. Bagaimana?"
"Resort?"
"Ya, kakeknya Mayang dulu mempunyai sebuah resort yang besar dan sangat indah tetapi karena bencana alam yang menerjang pantai itu beberapa tahun yang lalu membuat resort itu menjadi hancur, dan kini tengah di renovasi oleh Mayang, tapi kemudian berhenti karena tidak adanya dana tambahan."
"Baiklah, tapi aku punya sarat."
"Apa?"
"Untuk tidak mengatakan ini pada Mayang, jika aku yang menjadi investornya."
Marven mendesah, "Sampai kapan Firman? Sampai kapan kalian akan seperti ini? Apa kalian tidak kasian dengan Zee anak kalian? Dia membutuhkanmu dan juga Mayang."
"Dia tak kan kekurangan kasih sayang dariku ataupun dari Mayang, jadi kau tenang saja oke?"
"Bagaimana caranya?"
"Aku bahkan sering menemui Zee tanpa sepengetahuan Mayang."
"Oh, Firman. Kenapa kalian berdua tak kembali bersama?"
"Keadaan ini masih membahayakan untuk Mayang dan Zee, apa lagi mami Rosa belum diketahui dimana dia sekarang, aku takut dia akan mencelakai Zee dan Mayang, sementara kondisiku yang seperti ini."
"Dan Mayang pun sama dengan dirimu, berjuang agar bisa sepadan denganmu."
"Sepadan? Apa maksudnya?"
"Dia juga ingin sukses tanpa embel-embel namamu di belakangnya."
"Maka dari itukah dia ikut kontes memasak?"
"Ya, kau benar. Dari mana kamu tahu?"
"Jangan bilang kalau kau selama ini mengikuti Mayang atau menyuruh seseorang mengikutinya."
"ItU sudah pasti, akua atak akan membiarkan seseoranag menyakaiti atau mengambil Zee dan Mayang dari hidupku."
"Tak terkecuali aku?"
"Ya, kau musuh yang sangat nyata dan berbahaya."
"Terimakasih Marven, sampai kapanpun kau akana menjadi musuhku kalau kau menyakiti Mayang."
"Dan kau akan ku benci seumur hidupku jika kau mengambil Mayang dariku, bahkan ku pastikan bahwa bisnismu akan hancur sehancur-hancurnya hingga tak bersisa."
"Waw, kau sungguh mengerikan."
"Kau sudah tahu sejak dulu tentang hal itu bukan?"
"Baiklah, jadi siapa yang akan menandatangani perjanjian kerja sama antara kau dengan Mayang?"
"Asistenku."
"Baiklah, aku akan segers membuatkannya untukmu, dan segera cairkan dananya, agar Mayang dapat segera menyelesaikan resort peninggalan kakeknya."
"Baiklah, aku menunggu kabar selanjutnya darimu."
"Oke, aku akan segera datang kembali mengunjungimu, setelah surat itu telah selesai aku bikin."
"Aku tunggu."
"Sekali lagi maafkan aku, aku sungguh tak tahu jika seperti ini yang menimpamu."
"Sudahlah, aku senang bisa bertemu denganmu, sahabatku."
"Oke, kalau begitu aku pamit dulu,"
"Hm…"
Marven keluar dari ruanagn Firman dengan perasaan yang cukup lega, karena ia tahu apa sebab sesungguhnya Firman tidak menemui mayang.