Selama empat tahun Citra mengejar Miko, dia telah menghadapi semua jenis wanita yang siap menjadi lawannya untuk memperebutkan hati Miko. Yulia adalah lawan terbesarnya. Tapi, selama dia menahan diri sekarang, besok akan tetap menjadi hari pernikahannya dengan Miko. Dia tahu betul bahwa jika Miko harus memilih antara dia dan Yulia, Miko pasti akan memilihnya.
Namun, meskipun banyak alasan tak terhitung yang seharusnya bisa membuatnya tenang, Citra masih duduk tak bergerak di kursi pengemudi. Dia memandang wiper kaca depan. Kini terlihat langit malam yang semakin redup. Pemandangan di luar mobil hanya hujan deras. Dia menatap lampu tinggi di depan rumah barunya, dan hujan tampak sangat indah dalam cahaya oranye. Langit benar-benar gelap.
Citra mengulurkan tangan dan mengeluarkan ponsel. Dia melihat layar. Kini sudah pukul enam malam. Dua jam telah berlalu. Dia mendorong pintu dan keluar dari mobil. Hujan deras serta angin yang menusuk langsung menyelimuti dirinya.
Citra berjalan menuju pintu rumah barunya dan berdiri di bawah cahaya. Bayangan dirinya membentang sangat panjang, dan hujan menetes di atasnya. Dia mengangkat tangannya untuk menekan kata sandi rumah barunya. Kemudian, dia ingat bahwa ketika dia datang terakhir kali, Miko tidak memberitahu kata sandinya, jadi dia tidak tahu bagaimana cara masuk ke rumah itu. Dia mengeluarkan ponselnya, membuka kontak, dan mengetik nama Miko untuk meneleponnya.
Bagian luar rumah itu sangat dingin dan lembab, tapi bagian dalamnya sangat hangat. Di ruang tamu, pakaian basah Yulia telah diganti, dan bahkan rambutnya telah dikeringkan. Ada beberapa botol anggur di meja, dan dia meminumnya. Ketika Miko mencoba menghentikannya pada awalnya, Yulia langsung memegang gelas anggur. Dia mengangkat wajahnya, dan tersenyum pada Miko, "Apakah kamu ingin aku menghadiri pernikahanmu besok untuk melihat betapa cantiknya pengantin wanitamu dengan gaun pengantinnya?"
Miko mengerutkan kening, "Yulia."
"Aku hanya bercanda. Aku tidak akan pergi besok. Hari ini, gelas ini adalah sebagai ganti untuk merayakan pernikahanmu," kata Yulia sambil meminum semuanya dalam satu tegukan. Dengan sedikit mabuk dia tersenyum dan bersorak, "Selamat atas pernikahanmu, Miko! Semoga kamu bahagia!"
Miko menatap wajahnya yang pucat dan kurus untuk beberapa saat, dan akhirnya menuangkan segelas anggur tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia meneguknya. Setelah selesai minum, Miko meletakkan gelas itu, dan berkata dengan suara yang rendah, "Maaf atas apa yang terjadi di antara kita. Aku turut berduka untukmu."
Miko kembali teringat akan kesedihan yang harus dilalui oleh mantan kekasihnya itu. Karena Yulia terpaksa pergi ke luar negeri, dia harus menikah dengan Yudha dan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pria itu. Yulia bahkan pernah dikurung dan diberi obat perangsang oleh ibunya agar tidak menolak untuk berhubungan badan dengan Yudha hingga dia mencoba untuk bunuh diri.
Yulia menatap Miko, tersenyum, dan kemudian melanjutkan menuangkan anggur. Dia terus menuangkan gelas demi gelas untuk dirinya sendiri. Saat ponsel di meja kopi bergetar, sudah ada dua botol anggur yang kosong. Yulia hendak menuangkan anggur, dan sekilas, dia melihat nama Citra ditampilkan di layar. Matanya langsung terpaku.
Miko juga melihatnya. Beberapa detik kemudian, dia mengulurkan tangannya untuk mengambilnya. Dia berkata dengan suaranya yang sangat pelan, "Citra."
Suara Citra terdengar di telepon, "Miko, kamu di mana?" Miko diam, sedangkan Citra memejamkan mata menunggu jawaban, "Kenapa kamu tidak menjawab? Apakah ada sesuatu yang terjadi di perusahaan?" Tak ada jawaban untuk beberapa saat.
Kali ini Miko yang bertanya, "Citra, ada apa? Kenapa kamu meneleponku? Apa terjadi masalah?" Citra menjawab "Kamu harus datang ke apartemenku untuk menemuiku, aku akan menunggumu." Miko mengerutkan kening, "Ada apa? Kenapa tiba-tiba?"
"Penting. Aku akan menjelaskannya padamu saat kamu sudah ada di sana nanti," pungkas Citra.
"Oke, aku mengerti. Aku akan segera ke sana," jawab Miko disertai anggukan.
Miko menutup telepon, dan bersiap untuk mengambil kunci mobil, tapi sebelum dia bisa beranjak, pria itu tiba-tiba dipeluk oleh Yulia. Bukan hanya pelukan, kini Yulia memberinya ciuman yang menuntut. Lalu, Yulia setengah berlutut di atas karpet, menatapnya dengan mata berkaca-kaca, "Jangan pergi, Miko. Aku mencintaimu, aku merindukanmu setiap hari selama bertahun-tahun saat aku berada di Amerika."
Yulia tidak bisa menahan tangisnya, "Ibumu memberiku obat semacam itu, tapi aku menolaknya karena hanya ada kamu di dalam pikiranku. Lalu, bagaimana kamu bisa menggunakan rumah ini sebagai rumah barumu bersamanya? Bagaimana bisa?"
Yulia memeluk lengan Miko, melingkarkan tangannya di lehernya, dan menciumnya dengan lembut. Miko yang awalnya ingin menolak kini menerima ciuman itu, dan bahkan membalasnya. Inilah ciuman yang selama ini dia rindukan. Ciuman dari cinta pertama dan terakhirnya yang telah lama berpisah dengannya.
Di luar rumah itu, Citra sedang menatap layar ponsel yang telah dikaburkan oleh tetesan air hujan. Saat ini sudah setengah jam sejak dia menelepon Miko, tapi dirinya masih menunggu pria itu untuk keluar dari rumah dengan sabar.
____
Di Bar Castillo.
Felix menghisap rokoknya, memandang pria yang sedang minum tanpa ekspresi di sofa seberang. Dia menyipitkan mata dan mencibir, "Selesai?" Wajah Satya dingin dan matanya tidak menatap temannya yang ada di hadapannya, sehingga dia tidak bisa melihat seringai di wajah Felix.
Saat meminum gelas kedua, alis Satya tiba-tiba berkerut. Dia mengangkat kepalanya untuk melihat ekspresi Felix di sisi yang berlawanan, dan bertanya dengan dingin, "Apa yang kamu masukkan ke dalam anggur ini?"
Felix melepas rokok di antara bibir tipisnya dan tersenyum santai, "Itu adalah obat perangsang yang kamu berikan pada Citra waktu itu." Ekspresi Satya menjadi suram, "Apakah kamu gila?" Satya merasa dibodohi. Siapa pun yang bisa membuat Satya lengah, orang itu pasti sangat hebat.
Felix mengeluarkan cincin asap dari mulutnya, merentangkan tangannya sedikit. Dengan senyuman tipis di bibirnya, dia berkata dengan malas, "Hei, kamu adalah laki-laki sialan. Kenapa kamu tidak mau tidur dengan tunanganmu sendiri? Apakah kamu menunggunya hingga kalian menikah?" Wajah tampan Satya masih menunjukkan ekspresi tidak peduli.
Felix menendang kaki panjangnya dan tertawa keras, "Apa kamu tidak punya nyali untuk melakukannya, huh? Jika aku punya tunangan, aku pasti sudah tidur dengannya saat dia berusia delapan belas tahun. Omong kosong jika aku harus menunggu menikah sebelum menyentuhnya. Lagipula, percaya atau tidak, jika kamu tidak segera meniduri Laras, maka Arya yang akan melakukannya nanti."
Satya mengangkat matanya dan melirik Felix, "Apa kamu sudah tidak waras? Laras baru berusia delapan belas tahun. Jika aku belum menikahinya, lalu aku menidurinya, maka aku akan dibawa ke penjara karena pemaksaan terhadap anak di bawah umur." Seringai di wajah Felix menghilang. Wajahnya berubah menjadi muram dalam sekejap.
Satya memegang gelas anggur. Tubuhnya mulai terasa panas, dan ada sedikit dorongan di bagian bawahnya. Obat perangsang itu mulai bereaksi. Dia mengerutkan kening, meletakkan gelas anggurnya, dan berdiri. Wajahnya yang tampan masih berusaha tenang sambil menahan gejolak di dalam tubuhnya. Satya berjalan keluar. Dia bergegas untuk pulang ke rumahnya.
Ketika Satya masuk ke rumahnya, dia dapat melihat sekilas Laras yang sedang duduk gelisah di sofa. Melihat Satya muncul, dia tiba-tiba berdiri dari sofa dengan sedikit keterkejutan dan amarah di wajahnya, "Kamu… Apa kamu meminta seseorang untuk membawaku ke sini?"