Ketika Laras keluar dari rumah Satya, dia menutup pintu dengan tangannya dan terengah-engah karena masih ketakutan. Begitu dia berbalik, dia bertemu dengan pria yang berdiri di seberangnya, bersandar di pagar dengan malas.
"Laras." Suara pria itu sangat bagus, seperti penampilannya, seolah itu memang pesona alaminya. Semua orang di Medan mengatakan bahwa Arya adalah penakluk hati wanita, tapi Laras selalu merasa bahwa itu hanya karena Felix tidak terlalu dikenal di Medan. Padahal, pria ini lebih memesona daripada Arya baginya.
Felix sepertinya selalu memegang sebatang rokok di antara jari-jarinya. Dia juga selalu menunjukkan wajah tampan dan seksinya di antara kepulan asap dari rokok. Laras tidak berani menatap matanya. Mata Felix selalu menatap tajam ke orang lain. Tapi, Laras memberanikan diri, "Tangan Satya terluka. Bisakah kamu membawanya ke rumah sakit?"
Felix menjentikkan rokoknya. Dia berkata sambil tersenyum, "Tunanganmu minum obat perangsang. Kenapa kamu tidak menyerahkan dirimu dan mengobati lukanya?"
Laras terkejut, dan kemudian dia menyadari semua yang telah terjadi. Dia berkata setelah beberapa saat, "Dia menyuruhku pergi. Jika aku pergi, maka dia tidak akan menyerangku." Laras mengerutkan kening, "Aku rasa dia tidak akan menginginkannya. Lagipula dia tidak pernah main-main dengan wanita."
Felix menyipitkan mata dan mencibir, "Kamu tidak bisa menahannya. Kamu tidak bisa menutupi fakta bahwa kamu termakan oleh pesona Arya. Jika saja Satya sekaya dan semenarik Arya, atau jika saja Arya begitu setia padamu, itu akan sempurna, bukan? Jika kamu bilang bahwa kamu memiliki hubungan yang baik dengan Satya, aku tahu itu adalah omong kosong."
Wajah tenang Felix tiba-tiba berubah, dan langsung menjadi dingin, "Aku akan menyampaikan ini padamu secara terus terang. Jika kamu meninggalkan rumah Satya sekarang, maka aku akan mencarikannya wanita lain untuk memuaskannya." Felix mencibir, "Kamu sedang berpikir bahwa aku jahat, dan kamu mulia? Coba ingat-ingat apakah kamu tidak pernah pergi ke rumah Arya dan menyentuhnya? Oh, kamu juga pernah berduaan dengannya di bioskop, tapi kalian menutupinya karena takut orang lain akan tahu. Kamu kira aku tidak tahu semua itu?"
Suara Laras menjadi sangat kejam, "Kamu mengirim seseorang untuk mengikutiku?"
Felix mengambil sebatang rokok lagi, menyalakannya, dan tertawa dingin, "Setiap sudut kota ini memiliki mata, dan aku yang mengendalikan semua mata itu."
Laras gemetar karena marah, "Arya yang memaksaku untuk pergi bersamanya." Begitu Laras mengatakan itu, seorang pemuda berseragam pelayan berjalan mendekat, "Itu… Arya ada di sini untuk bertemu dengan seseorang."
Jari Felix yang ramping dan indah menjepit rokok yang setengah terbakar, dan perlahan mencibir, "Laras, kamu bisa memilih untuk kembali ke kamar Satya atau pergi dengan Arya, tapi aku ingatkan jika kamu memilih Arya, maka akan ada wanita yang benar-benar akan ditiduri oleh Satya. Selain itu, jika kamu memilih pergi, maka kamu tidak ada hubungannya lagi dengan Satya mulai detik ini."
____
Apartemen Citra.
Citra kembali dari rumah barunya. Dia langsung mandi, berganti pakaian, dan mengeringkan rambutnya. Setelah itu, dia mengambil botol anggur dan gelas dari lemari di ruang tamu, lalu duduk di sofa untuk minum sendirian.
Setelah minum satu botol, dia bangun lagi dan kembali ke ruang tamu untuk mengambil botol lainnya. Ketika melewati meja, matanya secara tidak sengaja melirik kotak yang diletakkan di atas meja. Dia berjalan dan mengambilnya. Sebotol anggur sebenarnya tidak akan membuatnya mabuk, tetapi dia sekarang kesadarannya sedikit hilang. Dia membawa kotak itu kembali ke ruang tamu, meletakkannya di pangkuannya. Dia menyentuhnya dengan satu tangan sambil mencari nomor Satya di ponselnya. Telepon tersambung, tapi pria itu tidak bersuara.
"Satya?" tanya Citra.
"Apakah ada sesuatu, nona?" Suara pria itu rendah dan parau, tetapi alkohol membuat Citra mengabaikan ini. Dia berkata, "Kamu datang ke apartemenku sekarang, ya."
Satya mengulanginya, "Apakah ada sesuatu?" Citra mencoba mencari alasan, "Tidak. Tapi, tolong bawakan dua botol anggur untukku. Beli di Bar Castillo jenis yang biasanya aku minum." Ada hening sesaat di telepon, lalu Satya menanggapi, "Saya sedang tidak enak badan, bisakah seseorang mengirimkannya untukmu?"
Citra mengernyit, "Tidak." Satya berkata lagi, "Saya sedang tidak nyaman sekarang." Mata Citra terbelalak. Dia bertanya, "Tidak nyaman? Apakah kamu sedang bersama dengan pacarmu? Apakah kamu akan akan melakukan itu dengannya?"
Satya buru-buru menjawab, "Saya akan mengirimkannya kepada Anda."
Citra tampak kesal sekaligus terkejut, "Tidak, tidak, tidak. Aku tidak akan membiarkanmu datang ke sini, Satya. Aku tidak bisa membantumu untuk memuaskan hasratmu." Pria itu terdiam beberapa saat lagi, dan akhirnya dia berkata dengan suara serak, "Aku akan menghilangkan efek obat ini, lalu aku akan pergi ke apartemen nona."
"Baiklah, cepatlah, aku ingin tidur," jawab Citra.
Usai menutup telepon, Citra meletakkan ponselnya di atas meja. Dia duduk di sofa sebentar karena merasa sedikit pusing. Kemudian, dia berbaring miring dengan bantal di tangannya.
Sampai setengah jam kemudian, bel pintu yang berbunyi membangunkannya. Dia bangkit dan membuka pintu. Seorang pria jangkung berdiri di depan pintu dengan pakaian sederhana berwarna gelap dan dua botol anggur di tangannya. Matanya sedikit lebih suram dari biasanya.
Citra tidak peduli, "Masuklah." Dia berbalik dan berjalan ke dalam. Satya melihat rambutnya yang terurai dan ragu-ragu sejenak. Dia awalnya berencana untuk segera pergi, tapi dia masih mengikuti Citra. Dia meletakkan dua botol anggur di atas meja.
Citra meminum anggur itu. Wajahnya yang putih tampak dihiasi dengan semburat merah karena meminum anggur. Citra menatap Satya, mengerutkan keningnya. Dia berkata, "Apa yang kamu lakukan dengan berdiri di situ? Duduklah. Kita bisa berbincang di sini."
Satya menatapnya. Dia duduk di sisi Citra. Di dekat gadis itu, Satya bisa mencium wangi dari anggur dan sabun mandi yang menguar dari tubuhnya dengan sangat jelas. Semua itu bagaikan godaan bagi Satya.
Citra mengambil kotak berwarna biru tua di sofa, mengulurkan tangan dan menyerahkannya kepada Satya, "Aku membelikanmu hadiah."
Satya melihat wajah oval yang mungil milik Citra. Bibirnya yang merah kini terkatup rapat. Satya tidak bisa mendengar Citra dengan jelas. Dia tidak tahu apa yang Citra bicarakan karena dia hanya merasa panas di tubuhnya. Hawa nafsunya belum juga padam meskipun dia sudah berendam di air dingin. Suara serak Satya akhirnya terdengar, "Hadiah?"
Alkohol membuat wajah Citra tampak memerah, tapi dia tidak menatap mata pria di depannya yang siap menyerangnya. Citra masih tidak memperhatikan Satya. Dia justru berkata, "Bukankah kamu bukan pengawalku lagi besok? Aku membelikanmu hadiah ketika aku pergi berbelanja kemarin. Ini seperti ucapan terima kasih karena kamu telah menjagaku selama ini."
Sebenarnya, Satya masih ingin berkata jika Citra tidak jadi menikah besok, dia masih bersedia untuk terus menjadi pengawalnya. Tapi, Satya justru tiba-tiba menundukkan kepalanya dan membungkuk. Dia meraih tengkuk Citra dan mencium bibirnya dengan keras.
Citra sangat terkejut, dan kotak di tangannya itu jatuh ke lantai. Saat dia menyadari apa yang dilakukan pria itu, tubuhnya seperti ingin meledak. Dia berjuang selama beberapa detik, tetapi ketika tangannya mencoba mendorong Satya, dia langsung dipeluk oleh lengan kuat pria itu. Satya menguncinya di pelukannya, dan kemudian mencium bibirnya lebih dalam tanpa henti.