Lisa menguyah permen karet rasa blueberry nya. Membenarkan ujung jaket warna merahnya, sebelum kemudian mengenakan earphone kembali.
Gadis itu lantas menyandarkan kepala pada kursi bus. Lalu menolehkan kepala ke arah jendela, melihat beberapa kendaraan yang sibuk berlalu lalang di luar dengan sorot mata tak acuh.
Sejujurnya dia malas hari ini. Baginya, lebih baik bergumul dibalik selimut saat libur akhir semester daripada harus mengikuti karyawisata selama tiga hari di hutan dekat perbukitan nanti.
Atau yang paling menyenangkan lagi. Lisa bisa menghabiskan hari liburnya dengan menonton drama atau anime sampai semalam suntuk.
Hanya saja, karyawisata sialan ini wajib. Jadi, mau tidak mau gadis itu harus menyeret kakinya turun dari tempat tidur untuk bergegas ke sekolah.
Ya, seperti saat ini. Dia sudah duduk dalam bus di kursi urutan ketiga dari depan. Tepatnya di dekat jendela sebelah kanan. Deretan kursi yang biasanya diisi oleh dua orang.
Jika ditanya, kenapa Lisa tak memilih kursi bagian belakang atau tiga orang. Jawabnya adalah, karena Lisa tidak suka dengan keributan.
Kursi belakang seringkali diisi oleh anak-anak cowok yang sering membuat keributan. Lalu kursi dengan tiga orang, terkadang lebih sempit daripada kursi dengan dua orang. Tak hanya itu, Lisa juga sulit bergerak jika harus duduk di kursi tiga orang. Pergerakannya terganggu, parahnya lagi dia sering jadi bantal untuk dua orang di sisi kanan-kirinya jika mereka terlelap.
Uh, menyebalkan!
Hanya butuh waktu kurang dari lima menit, kursi penumpang dalam bus ini akhirnya penuh juga. Kebetulan, Lisa duduk dengan gadis berkacamata yang sering mendapat julukan 'dukun'.
Bukan tanpa alasan lain, dia mendapat julukan itu. Selain karena cara berpakaiannya yang kuno. Gadis itu juga suka sekali menunduk, sehingga membuat rambutnya yang panjang itu jatuh menutupi wajahnya yang pucat.
Hanya saja, ini jadwal yang sudah dibuat dari sekolah. Jadi, suka tidak suka Lisa harus duduk dengan anak yang sering dijauhi itu.
"Mau permen?" ucapnya tiba-tiba, seraya menawarkan permen mints pada Lisa.
Gadis itu hanya menolehkan kepala sesaat sebelum menggeleng pelan kemudian. "Aku sudah punya."
Lisa hanya menjawab seadanya sembari mengeluarkan permen karetnya dari dalam saku hoddie merahnya.
"Ah, baiklah ..." gumam gadis itu pelan.
Dia langsung menunduk kembali, menatap ujung sepatu boots nya yang sudutnya tampak berdebu. Kehilangan topik sepertinya.
Merasa situasi sedikit akward diantara keduanya. Membuat Lisa semakin jengah. Dia segera meletakkan earphone yang tadi terpasang di telinga, menjadi menggantung di lehernya yang jenjang.
Sepersekian detik setelahnya, kepala cokelat Lisa menoleh ke arah temannya di sisi kiri tempat duduk.
"Aku Lisa, siapa namamu?" basa-basinya langsung.
Suaranya terdengar datar dan tenang sekali. Berbeda dengan si gadis dukun yang sepertinya tersentak dan menjawab terbata-bata.
"K-kau ber-bicara denganku?" tanyanya.
Alis Lisa menukik, lumayan kaget dengan reaksi gadis pucat di sampingnya ini. Apakah selama dia hidup tak ada yang mengajaknya berbicara? Batin Lisa.
"Tentu, memang siapa lagi?" jawab Lisa balik bertanya.
Membuat gadis dukun itu langsung tersenyum kikuk seketika. Terlihat dia menggaruk pangkal hidungnya yang tak gatal sebelum menjawab pertanyaan Lisa barusan.
"Ro-Rose, namaku Roselin!" jawab Rose masih terbata.
Dia bahkan tak berani menatap mata Lisa lama-lama. Entahlah, ada apa dengan dirinya. Yang pasti, terlalu sering sendirian membuat hidup Rose menjadi sosok yang tertutup.
"Nama yang bagus, tapi akan lebih bagus lagi jika kau lebih memberanikan dirimu. Dengar Rose, jika ada yang mengajakmu bicara cobalah tatap wajahnya. Jika kau tak sanggup, kau bisa melihat bagian jidat maupun alisnya. Mengerti?" ujar Lisa yang membuat Rose tertegun di tempat duduknya.
Dia baru tahu jika gadis famous di sekolahnya ini adalah anak yang baik dan perhatian. Awalnya, Rose pikir jika Lisa begitu tak peduli dan egois. Bahkan ada rumor yang mengatakan jika dia pilih-pilih dalam urusan berteman.
Ya, mana mungkin Rose masuk sebagai jajaran temannya. Secara, dia kan lebih udik dan kurang gaul seperti Lisa. Oleh karena itu, Rose tidak pernah membayangkan bisa duduk di dekatnya, apalagi diajak berbicara?
Ah, itu terlalu tidak mungkin. Akan tetapi, setelah dia melihat jadwal tempat duduk saat karyawisata semalam yang dibagikan guru. Sepertinya Rose harus lebih bersyukur lagi, karena duduk disebelah gadis berponi itu. Lain cerita jika Rose duduk dengan anak lain. Mereka pasti akan mendiamkan dirinya atau mungkin menganggap dirinya tak terlihat.
"Lis!" panggil seseorang dari belakang kursi mereka.
Entah kebetulan atau apa, Rose dan Lisa menoleh bersamaan ke arah kursi dibelakangnya.
"Apa?" jawab Lisa singkat.
Terlihat gadis itu menguap beberapa kali dan melihat teman satu gengnya, Jeni dengan cuek.
"Hati-hati selama duduk sama si dukun. Nanti lo bisa kena aura hitamnya," bisik Jeni yang masih bisa didengar Rose.
Ada rasa sesak yang hinggap dihatinya namun rasa itu segera ditepis saat mendengar kalimat yang dilontarkan Lisa berikutnya.
"Lo apaan sih? Hari gini masih aja percaya hal itu. Inget Jen, otak lo itu encer! Masa langsung jadi sempit karena lima menit kepisah dari gue," balas Lisa, yang membuat Jeni langsung mencebik kesal.
Terlihat bibirnya mengerucut seraya memutar bola matanya malas. "Terserah, deh! Yang jelas, gue nggak mau lo kena aura negatif si dukun."
"Oh iya, gue ada satu hal lagi yang mau diomongin ke lo," kata Jeni.
Kali ini raut wajahnya tampak serius. Dia bahkan menatap mata Lisa lamat-lamat tanpa mengalihkan perhatiannya kemanapun. Bahkan Rose sudah seperti hilang dari jangkauan penglihatannya, yang notebene ada di samping Lisa.
"Apa?" balas Lisa cuek sekali lagi.
Rasa kantuk sudah mulai menyerangnya. Tapi, si lambe turah Jeni masih saja mengajak berbicara. Mau tidak mau, gadis itu menahan kantuknya mati-matian dengan menguap secara terus-menerus di tempat.
"Gue denger tujuan karyawisata kita kali ini ke hutan Cemara. Tepatnya, di cagar alam yang baru dibuka lagi, setelah kejadian kebakaran besar beberapa tahun silam," ujar Jeni menjelaskan.
"Terus?"
"Sebenarnya sih, nggak ada masalah apa-apa. Cuma ..." Jeni sengaja menjeda ucapannya. Dia mendekatkan kepalanya semakin dekat ke arah telinga Lisa.
"Hutan itu angker!" bisiknya kemudian. "Orang bilang di sana ada portal gaib yang bisa ngebuat orang-orang luar tersesat sebelum dinyatakan hilang. Dan lo tau apa yang lebih parah, Lis? Katanya di sana juga ad-"
"Pfff ... Buahaha!"
Ucapan Jeni langsung terpotong suara tawa Lisa yang sumbang. Gadis berponi itu terbahak keras di atas kursi sampai membuat beberapa anak-anak lain menatap ke arahnya. Heran.
"Lo masih percaya takhayul? Gila! Kebanyakan baca buku fantasy otak lo jadi tercemar, sumpah, Jen!" tukas Lisa.
Sorot matanya acuh dan tak memedulikan Jeni yang kembali menggerutu di tempatnya. Saking malunya, gadis itu bahkan segera beranjak dari posisi berdirinya tadi untuk kembali duduk ke kursi penumpang.
"Terserah, Lis! Tapi kalo nanti lo ilang jangan salahin gue, oke!" teriak Jeni dari belakang tempat duduk. Sesaat setelah Lisa memalingkan wajah ke depan.
"Mitos kok dipercaya, aneh!" gumam Lisa pelan.
Dia kembali meletakkan earphonenya ke kepala, seraya memainkan lagu alone part 2, milik AW. Tanpa Lisa sadari diam-diam, Rose memperhatikan dirinya dari samping.