Bugh!
"Pria brengsek!" maki Lisa kesal.
Dengan sisa tenaga yang masih gadis itu miliki. Lisa memukulkan batu berukuran sedang itu tepat dibagian belakang tempurung kepala Sam. Yang sontak membuat pria itu berteriak keras akibat rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya itu.
Memang sih, itu lumayan efektif. Terbukti dari Sam yang langsung beranjak dari atas tubuh Lisa dan memilih meringkuk seraya memegangi bagian belakang kepalanya yang rupanya mengeluarkan darah.
Untuk sesaat saja, Lisa bisa bernapas lega di tempatnya. Dadanya tidak naik-turun lagi karena tindakan Sam yang berniat memperkosanya.
Ya, untuk sesaat.
Karena setelah itu, Sam langsung berbalik kembali menatap Lisa tajam. Tawanya menggelegar membelah kesunyian malam yang begitu mencekam.
"Kau berniat membunuhku? Begitu, huh?" tanya Sam sarat akan emosi.
Kedua bola matanya melotot seperti akan keluar dari dalam rongganya. Tangannya mengepal erat dan senyumnya terlukis mengerikan dibalik kabut malam.
Untuk sepersekian detik, Lisa hanya bisa membatu di tempatnya. Tangannya mulai gemetar dan kakinya merasakan tremor yang luar biasa. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca, yang sudah siap meluncurkan cairan beningnya kapan saja.
Perlahan-lahan, sosok Sam yang berjalan terseok-seok dengan tangan berlumuran darah itu menghampiri dirinya. Lisa bisa melihat, betapa mengerikannya wajah cowok pendiam itu. Sam, kini terlihat lebih mirip dengan psycopat gila bila dibandingkan dengan dirinya yang seorang siswa teladan.
"Lisa, Lisa!"
Sam mengulang-ngulang namanya bak simfoni kematian. Gadis itu bahkan sampai bergidik di tempatnya dan berusaha beringsut sejauh mungkin agar tak dapat cowok itu gapai.
"Diam! Kau pria gila, Sam!" teriak Lisa seraya menutup kedua telinganya.
Kedua lututnya sudah menekuk rapat, menyembunyikan tubuhnya sendiri. Jujur, Lisa berharap kabut tebal ini mengganggu penglihatan cowok brengsek itu agar tak dapat melihat dirinya.
Sampai di menit berikutnya, gadis itu tak mendengar apapun lagi. Sosok Sam yang hanya berjarak dengan dirinya pun, mendadak lenyap hanya dalam hitungan menit.
Sejenak Lisa memberanikan diri untuk membuka matanya yang terpejam erat tadi. Dia mengamati sekeliling, yang rupanya sudah dipenuhi kabut yang begitu tebal sekali. Saking tebalnya, gadis itu pun tak dapat melihat jarak satu meter di depannya.
"Apa Tuhan mengabulkan doaku barusan?" gumam Lisa pelan.
Dia mengelap sisa air mata yang masih tersisa di sudut kelopak matanya. Mendongakkan wajah kembali, mengamati sekeliling sekali lagi.
Abu.
Hanya ada warna itu disekitarnya. Perpaduan dari warna pekat malam, sekaligus kabut tebal yang dapat mengaburkan penglihatannya.
Lisa sendiri sudah tak melihat maupun merasakan tanda-tanda Sam disekitarnya. Benar, cowok itu seolah lenyap ditelan bumi.
Dari balik kabut tebal itu, Lisa bisa melihat sebuah sinar perak yang menyilaukan mata. Bila diamati lebih teliti, sinar itu berasal dari rembulan yang tampaknya sedang mengalami purnama.
Sangat terang. Saking terangnya, bisa membuat kabut yang tebal tadi menguap entah kemana.
Terlihat, Lisa mulai beranjak dari tempatnya tadi. Berjalan mengikuti sinar rembulan yang entah kemana ujungnya nanti. Yang jelas, gadis itu berharap jika dia akan menemukan sebuah pedesaan supaya bisa keluar dari dalam hutan Cemara yang mirip labirin ini.
©©©
Tak jauh dari tebing di dekat air terjun. Terdapat sebuah pack besar yang sedang melakukan sebuah pesta perayaan. Para klan lain menyebutnya, Axces Pack.
Sebuah pack besar yang digadang-gadang selalu memiliki Alpha terkuat diantara pack-pack lainnya. Itulah, yang membuat Axces Pack menjadi pack terkuat dan paling ditakuti di seluruh dunia immortal.
"Huft, membosankan!" keluh seseorang.
Sudah hampir setengah jam dia duduk dan hanya memainkan gelas anggurnya tanpa mau menyesapnya sama sekali.
Sorot matanya begitu angkuh, sekaligus arogan. Bahkan dia tampak tak begitu bersemangat dengan pesta besar yang ayahnya siapkan untuk dirinya ini. Pria itu merasa jika masih ada hal yang kurang di dalam hidupnya. Hanya saja dia tidak tahu itu apa?
"Dam!"
Tepukan dibahu kiri pria itu berhasil menyedot perhatiannya. Secara spontan pria bernama Damian itu langsung menoleh ke sumber suara dan mendapati Ayahnya sudah berdiri di samping kirinya.
"Kenapa hanya duduk termenung? Apa pesta ini kurang meriah, atau kau memerlukan seorang gadis sebagai penghangat ranjang?" tanya Ayahnya terang-terangan yang membuat Damian tersenyum kikuk sebagai balasan.
Jujur, Damian paling tidak suka jika Ayahnya sudah membahas perihal wanita. Entah mengapa, Damian merasa jika makhluk cantik itu akan membuat dirinya lemah. Tentunya Damian tidak suka hal itu.
Pria berumur 250 tahun itu bahkan masih tidak percaya dengan adanya mate dari Moon Godness. Bagi Damian, mate itu hanyalah omong kosong. Apalagi setelah sepeninggalnya wanita itu yang benar-benar menancapkan luka di relung hatinya terdalam.
Damian jadi membenci sekali, makhluk bernama wanita setelahnya.
"Dam, apa kau baru saja melamun?" tanya Ayahnya lagi.
Damian hanya menggeleng sesaat, sebelum beranjak dari tempat duduknya. Bisa dibilang dia jengah.
Memang benar pesta perayaan ini untuknya, karena berhasil menaklukkan pack terbesar di wilayah timur. Hanya saja, disaat semua orang bersuka cita dan berjoget tanpa tahu malu bersama. Damian merasa begitu muak sekali.
Rasa-rasanya dia ingin segera meninggalkan tempat berisik ini. Lantas memilih ke sebuah tempat yang begitu tenang. Akan tetapi saat kakinya sedang berjalan menuju taman belakang. Beta pack tiba-tiba muncul di depannya.
"Hormat hamba, My Alpha!" ucap sang beta bernama Zades itu.
Kepalanya setengah membungkuk ke bawah saat memberi salam penghormatan kepada Damian.
"Katakan, ada apa?" tanya Damian langsung.
Dia memang lebih suka jika anak buahnya langsung menyampaikan urusan mereka agar tak membuang-buang waktu.
"Ampun My Alpha, hamba dengar malam ini, tepat saat purnama penuh tiba. Segerombolan Rogue akan menyerbu perbatasan dari sisi Utara. Jumlahnya belum dapat hamba prediksi, namun yang pasti gerombolan ini berjumlah lebih dari lima belas ekor," jelas Zades serius.
"Rogue?" ulang Damian.
Zades mengangguk. "Itu karena saat bulan purnama kekuatan mereka akan bertambah dua kali lipat. Oleh sebab itu, para Rogue lebih memilih menyerang saat purnama muncul."
Terlihat Damian menyipitkan matanya, melihat ke arah Zades yang lebih suka menunduk itu.
"Apa kau sudah memeriksa perbatasan?"
"Sejauh ini wilayah perbatasan aman, hanya saja hamba mendengar jika tak jauh dari portal dimensi, ada manusia yang tengah melakukan kegiatan," terang Zades lagi.
Damian hanya mengangguk.
"Kegiatan apa memangnya?"
"Hamba kurang tahu soal hal itu, My Alpha!" kata Zades terus terang.
"Pastikan wilayah perbatasan kosong dari para mortal lemah itu. Aku tidak mau mendengar kabar, seorang mortal terbunuh lagi karena Rogue liar. Kau mengerti?" perintah Damian.
"Dimengerti, My Alpha!" balas Zades.
Kemudian melesat pergi entah kemana.
Setelah kepergian Zades, Damian hanya diam di tempatnya sesaat. Dia masih menikmati semilir angin malam yang berembus begitu dingin malam ini. Sampai, serigalanya Zhask tiba-tiba berteriak dari dalam pikirannya.
'Mate! Mate! Dam, aku mencium aroma mate kita!' teriak Zhask penuh semangat, berbeda dengan Damian yang terlihat mengepalkan tangannya erat.
"Sial!"