Aku menatap diri dari pantulan cermin. Berputar ke kanan, ke depan, lalu ke kiri. Menghadap depan kembali, kemudian ke belakang sambil memutar kepala demi melihat punggung.
Entah cantik atau tidak, tapi yang pasti aku berbeda. Tidak sia-sia, semalaman menonton tutorial make up. Fiuh.
Setelah selesai, kuraih ponsel. Menelepon suamiku.
"Ha--"
"Udah?"
"Udah," sahutku cepat.
"Tunggu lima menit!" perintahnya.
"Eh, Mas. Bisa--" Sambungan terputus. Kutatap layar ponsel. "Bisa bawain coklat hangat buatku?"
Aku berdecak. Menyadari perubahan sikapnya padaku. Aneh, ada apa dengan dia sebenarnya?
Padahal aku sudah tidak berniat membahasnya. Setelah salat magrib tadi, aku berdoa dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Berusaha mengikhlaskan tentang sikap Zay padaku. Kusambar tangannya, menciumnya seperti biasa. Menampakkan senyum tulus ini untuknya. Sayang, dia tidak mencium keningku.
Apa dia marah padaku, gara-gara pertanyaan di bandara itu? Menurutku itu pertanyaan sepele. Huh, dasar laki-laki sensitif!
Ah, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin dia memang sedang berada di fase buruk. Biarkan saja, asal bukan aku. Tugasku sekarang adalah tampil secantik dan seanggun mungkin.
Aku kembali menatap wajah, takut jika bedak dan lipstikku luntur. Ini acara resmi pertamaku bersama Zay, aku tidak boleh mempermalukannya. Bukankah aku yang memaksanya ke sini?
So, berikan yang terbaik Alena.
Ya, sekadar latihan menjadi ibu Dosen. Tidak ada salahnya 'kan, mencoba masuk ke dalam dunia suamiku? Aku harus membiasakan diri dengan kehidupannya.
Pintu terbuka, disusul suara langkah kaki. Setelah menghela napas panjang, mengumpulkan kembali semangat yang tercecer. Aku berbalik ke arah suamiku.
"Gimana, bagus enggak?" Aku merentangkan tangan dengan senyum tipis. Menunjukkan gaun yang aku pakai dan tampilan wajahku. Berusaha menjadi Alena yang biasa dia lihat.
Zay terdiam. Menatapku dari atas ke bawah, lalu dari bawah naik ke atas. Kuperhatikan raut wajahnya, dia seperti terheran melihatku.
Sinar matanya seakan melontarkan pertanyaan, 'this is you, Alena?'
Sayang, dia tidak mengatakannya. Itu hanya ekspetasi dalam hatiku.
Atau mungkin, dia terlalu kagum melihat istrinya ini? Aha, bisa jadi.
Namun, lama-kelamaan ekspresinya seperti agak berlebihan. Kedua alisnya bertaut, dengan bibir terbuka hendak berkata tapi tidak ada suara apapun yang terdengar.
Kuperhatikan kakiku, bagian bawah tubuh, hingga dada. Kembali menatapnya. "Apa aku jelek?"
Zay menggelengkan kepala.
"Terus kenapa? Ada yang aneh, ya?" Aku melangkah cepat menghampirinya.
Zay masih diam.
Aku berbalik, menatap bayangan diri dari cermin. Berputar kembali ke kanan lalu ke kiri.
Hei, bukankah ini serasi?
Dress merah marun, dengan wedges hitam dan rambut yang kubiarkan terurai.
Kulihat Zay lewat pantulan cermin, dia malah menggigit bibirnya dengan mata terpejam.
Aku berputar menghadapnya. "Mas ...." Lalu menyentuh lengannya.
Dia malah menarik napas dalam, lalu mengembuskannya kasar.
"Ada masalah?"
"Tidak ada," sahutnya pelan.
"Terus?"
"Kita turun sekarang, aku ambil jas," ucapnya sambil berlalu dari hadapanku.
Aneh!
Kuperhatikan gerak-geriknya, dia seperti salah tingkah. Bahkan tangannya yang hendak dimasukkan ke dalam lengan baju beberapa kali salah sasaran. Terlihati gemetar, gugup.
Aku curiga.
"Emang barusan abis dari mana?" tanyaku saat dia melangkah kembali.
"Cuma minum kopi di restoran," jawabnya pelan.
Hmm, jangan-jangan dia bertemu lagi dengan perempuan itu? Kemarin juga dia seperti nervous saat berhadapan denganku dan mantannya. Mungkin.
Zay berdiri di sampingku, segera kulingkarkan tangan pada lengannya.
Kami berjalan bergandengan menuju ballrooms hotel, tempat resepsi pernikahan. Suasana pesta terkesan mewah dan elegan, tak jauh beda dengan undangan yang datang ke rumah bulan lalu.
Beruntungnya aku ini bukan orang yang minderan, dari dulu aku mempunyai tingkat percaya diri yang lumayan bagus. Hingga saat semua mata itu menatap ke arah kami, dengan gaya tak acuh aku tetap berjalan berdampingan bersama suamiku.
Ingat satu hal, Alena tidak boleh merundukkan kepala!
Dari pandanganku, semua tamu di sini sepertinya cukup berkelas. Terlihat dari cara mereka berpakaian. Pantas Zay agak kurang suka, mungkin dia tidak biasa. Yang aku tahu selama ini kehidupannya memang sederhana.
Zay mengajakku naik panggung, untuk memberi ucapan selamat pada pasangan pengantin.
"Hai, Zay! Aku pikir kamu enggak bakal datang. Waw, ini sungguh mengejutkan!" seru pengantin perempuan.
Zay tersenyum. "Kebetulan lagi enggak sibuk."
"Oh, thanks a lot. Who is she?" Perempuan bernama Chelsea itu melirikku.
"Istriku."
Chelsea tampak terperangah. Lalu tersenyum kecil dan menganggukkan kepala beberapa kali. "Hai, terima kasih sudah datang. Semoga bisa menikmati pestanya," ucapnya sambil membalas jabatan tanganku.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
Zay berdiri di tepi panggung sebentar, melayangkan pandangan. Seperti mencari seseorang. Hingga akhirnya mengajak turun dan membawa langkahku pada sebuah meja, di mana ada dua pria dan ... perempuan itu lagi?
"Hai, semua," sapa Zay.
Seketika mereka berpaling, berhenti dari obrolan yang tampak seru.
Salah satu teman prianya berdiri. "Zay?" Raut wajahnya terkesan kaget.
"Kenalkan, ini Alena," ucap Zay cepat.
"Alena?" Pria satunya bertanya, pun seperti masih belum percaya.
Ketiga wajah itu menatap Zay dengan sorot yang ... ah, entah benar atau tidak dugaanku. Mereka tampak ragu dan tak percaya.
Kulirik Zay, dia pun sama. Walaupun raut wajahnya terkesan datar, tapi sorot matanya itu seperti menyimpan kegugupan.
"Halo, Alena! Aku Mita, ini Pram, dan ini Sony. Kami berlima sahabat semasa kuliah." Perempuan itu berdiri, lalu memberi isyarat agar kami semua duduk.
"Duduklah." Zay menarik sebuah kursi kosong.
Aku mengangguk.
"Mau minum apa?" tanya Zay.
"Apa aja, asal jangan soft drink," sahutku sambil mengempaskan tubuh.
Zay mengangguk, lalu pergi.
"Oya, Alena. Kamu kerja?" tanya Sony.
"Aku masih kuliah," jawabku sebiasa mungkin. Aku berusaha tidak kaku, walau sedari tadi tatapan mereka seperti polisi yang menciduk buronannya.
Sony tersenyum tipis. Ketiga orang itu terdiam, hanya saling lirik satu sama lain. Apa kelakuan orang dewasa memang seperti itu?
"Ini." Zay sudah duduk di sampingku, menyimpan segelas lemon tea.
"Jadi hubungan kalian berawal dari dosen dan mahasiswi? Waw, pasti cukup seru dan menarik. Ayo, ceritakan bagaimana kisahnya!"
Tanganku yang hendak meraih gelas, terdiam seketika. Mengarahkan mata pada Mita. Detik kemudian aku menatap Zay, dia membuang wajah. Rahangnya bergerak, tapi bibirnya diam. Seperti menahan amarah.
"Kenapa kamu diam, Zay? Apa ada yang aneh dengan pertanyaanku?" tanya Mita kemudian, tapi dari nada bicaranya aku merasa justru dia sedang menekan Zay dengan pertanyaannya itu.
"Cukup, Ta!" protes Pram.
"What happened? Lihat, Zay yang kita kenal tidak sependiam ini!" Lagi, Mita menunjuk Zay. "Ayo cerita! Tentang pengalamanmu menjadi dosen, lalu menikah dengan salah satu mahasiswi. Tanpa mengundang kami, sahabatmu." Mita menekan kata terakhir.
"Dia berangkat dari Bandung, Mit! Mungkin masih lelah. Iya, 'kan?" Sony menatapku dan Zay bergantian.
Zay menarik napas berat. "Alena, boleh aku bicara dengan mereka sebentar," ucapnya sambil menyentuh tanganku.
Aku menatap kedua bola matanya. Tatapan pasrah itu, seperti memohon. Kuanggukan kepala, lalu berdiri dan mengambil gelas. "Aku keluar dulu," pamitku.
Tanpa melihat wajah mereka, kulangkahkan kaki meninggalkan meja bundar besar itu.
Sebenarnya, ada sedikit denyut dalam dada. Akan tetapi, aku berusaha berlapang dada menerimanya. Aku merasa, ini memang bukan hakku untuk bertanya. Sekali pun, aku adalah istri Zay.
Sedikit berkeliling, rupanya ada kolam renang di bagian luar. Aku pun berjalan ke sana. Saat sedang melangkah, aku berpapasan dengan seorang perempuan yang memegang segelas coklat hangat. Hasrat menikmati minuman favorit itu muncul kembali. Kuputuskan berbalik arah, menuju coffe shop atau mungkin restoran di kawasan hotel.
Ketika melewati area pesta, lagu You Are The Reason mengalun merdu. Mengiringi beberapa tamu yang sedang berdansa termasuk sang pengantin, manis.
Hingga tatapanku tertuju pada meja yang kutinggalkan tadi. Dari kejauhan tampak Zay masih mengobrol dengan temannya.
Dasar, laki-laki!
Jika aku mengobrol dengan Jihan, dia selalu ingin tahu. Giliran dia mengobrol bersama sahabatnya, aku diusir.
Hah, sudahlah. Untuk apa kupikirkan. Hampir aku melangkahkan kaki, ketika tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Kuperhatikan seksama mereka. Tunggu, jumlahnya masih empat orang? Bukankah, tadi Mita mengatakan kalau mereka berlima adalah sahabat.
Lalu, ke mana satu orang lagi?
***
"Alena!"
Aku memicingkan mata. "Hmm?"
"Aku cari-cari kamu. Kenapa enggak telepon kalau sudah ke kamar?"
"Lupa," sahutku tak acuh.
"Alena!" Kali ini Zay menarik pundakku agar berbalik.
"Apa lagi?"
"Maaf."
"Maaf untuk apa?"
"Aku ... membiarkanmu sendiri, Alena. Maaf, mereka--"
"Sudahlah, tidak apa. Jangan terlalu dipikirkan," pungkasku diakhiri senyum tipis.
Kembali aku berbalik memunggunginya, menarik selimut hingga pundak.
Terasa belaian di kepala, lalu sebuah kecupan di pipi.
"Selamat tidur," bisiknya.
Beberapa detik kemudian, terdengar pintu kamar mandi terbuka dan tertutup kembali. Aku mendesah, membuka mata lebar-lebar. Sebenarnya aku memang tidak mengantuk, hanya berpura-pura tidur.
Sebelah tanganku menyelusup ke bawah bantal, meraih benda yang kusembunyikan tadi saat Zay masuk ke kamar.
Selembar foto. Mungkin tujuh atau delapan tahun lalu. Karena wajah Zay masih tampak sangat muda.
Zay? Iya, Zay. Bersama para sahabatnya itu. Sony, Mita, Pram, Zay dan satu perempuan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Mereka berpose layaknya khas anak remaja. Wajah ceria dan penuh semangat. Hanya saja, ada satu yang membuatku merasa gelisah. Zay yang berdampingan bersama perempuan asing itu. Satu tangannya bahkan merangkul pundaknya. Tambahannya lagi, mereka saling pandang. Terkesan seperti tatapan yang tidak sengaja bertemu tapi ... berarti.
Ini cemburu? Mungkin saja. Namun, yang lebih aku takutkan adalah ... apa mungkin sikap Zay berubah karena perempuan itu?
*****
--bersambung--