"Aku pernah jatuh cinta. Pada hidupku, pada duniaku, pada ambisiku, dan ... seseorang."
"Aku pikir, aku cinta pertama kamu," tukas Zay dengan senyum tipis.
"Dia sahabatku."
"Sahabat rasa mantan?" Satu alisnya terangkat.
Aku hanya memutar bola mata menanggapinya. Lalu menyesap aroma coklat panas dari gelas di tangan. Hanya satu tegukan, sedikit membuat tenang perasaan. Saat akan kusimpan Zay meraihnya, dan meletakkan di atas nakas. Namun, tatap matanya terus mengarah padaku.
Membuatku harus kembali menarik napas panjang.
Memoriku mulai berputar. Kilas balik seorang Alena bersama dunianya, di masa lalu.
Sejak TK, aku suka menari. Mama bilang bahkan sejak balita. Jika ada suara musik, secara otomatis tubuhku bergoyang mengikuti irama.
Beruntung aku terlahir dari orang tua yang tak terlalu mempermasalahkan tentang bagaimana masa depan anaknya nanti. Bagi mereka berdua pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi hal utama.
Akhirnya saat aku duduk di kelas satu SD, Mama dan Papa mendaftarkanku ke sebuah sanggar tari. Dengan alasan agar bakatku lebih terasah. Di sanalah aku bertemu dengan dia, Elang Mahardika.
Kami berdua cukup akrab. Kebetulan aku selalu terpilih dalam berbagai acara kesenian di sekolah, dan itu pula yang membuatku beberapa kali meminta bantuan Elang untuk menjadi pasangan dalam melengkapi tarianku. Kami berbeda sekolah, tapi dia tak pernah menolak permintaanku. El rela menempuh jarak yang cukup jauh dari rumahnya, agar sampai di sekolahku.
Seperti itu, berulang kali. Entah kapan, tahu-tahu kami sudah semakin dekat. Mengikrarkan diri menjadi sepasang sahabat. Dia sama seperti Kak Alfa, seorang kakak bagiku. Karena memang usianya yang tiga tahun lebih tua.
Ketika aku menginjak masa SMP, kami berdua sering terpilih untuk mewakili sanggar dalam berbagai ajang tari. Bukan lagi sekadar tarian tradisional, tapi mulai merambah ke tarian bebas. Ketua sanggar bilang kami pasangan yang pas. Saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Kemistri yang terjalin selama bertahun-tahun, memunculkan rasa 'lebih' dalam tarian kami.
Terlalu banyak waktu yang aku lalui bersama Elang, hingga perlahan rasa itu muncul begitu saja. Rasa senang saat melihatnya tertawa dan sedih jika mendengar dia sakit. Namun, aku hanya bisa memendamnya. Aku sadar, dia tidak seperti yang terlihat di mataku. Kehidupan kami berbeda jauh. Aku yang masih SMP, sedang dia sudah SMA. Beberapa kali kulihat dia datang ke sanggar diantar pacarnya memakai mobil, dan yang lebih menyakitkan adalah perempuan-perempuan itu selalu berbeda setiap bulannya.
Hingga di usiaku yang sudah menginjak tujuh belas tahun dan dia berstatus mahasiswa, aku masih merasa malu. Karena setiap gadis yang dia bawa pasti selalu tampak lebih juga istimewa ; cantik dan berpenampilan menarik. Sebisa mungkin aku meyakinkan diri, jika sayang yang kumiliki untuknya hanyalah sebatas rasa seorang adik kepada kakak.
Suatu hari, kami lolos dalam sebuah kompetisi break dance. Seandainya berhasil di tahap selanjutnya, maka kesempatan emas menanti. Aku dan Elang akan diakui sebagai penari profesional, bahkan bisa mengikuti berbagai ajang bergengsi di beberapa negara. Peluang berkeliling dunia bisa kami dapat dengan mudah.
Sehari sebelum keberangkatan, teman-teman memberi kami dukungan dan ucapan selamat dengan cara mengadakan pesta kecil-kecilan di tempat biasa kami 'nongkrong'. Karena terlalu asik menikmati, acara pun baru selesai menjelang tengah malam.
Saat keluar dari kafe, kulihat Elang mengobrol bersama pacarnya. Gadis itu tampak kesal, marah-marah tak jelas hingga akhirnya menangis. Kupastikan mereka sedang bertengkar.
"Duluan, El!" pamitku.
Elang mengangguk disertai senyum tipis.
Sampai di tepi jalan aku tersadar, tidak ada yang menjemput. Kucoba menelepon Papa, tidak dijawab. Kak Alfa juga sama.
Tak lama kemudian sebuah mobil berhenti, kaca jendelanya terbuka. Kupikir ada Elang di dalamnya, karena setahuku itu mobil Angel --pacarnya-- yang kulihat tadi.
Gadis berambut coklat terang itu menatapku sinis. Saat kusapa, dia malah melajukan mobil. Belum habis rasa heranku, motor besar berhenti di hadapan. Helm si pengendara terbuka, aku tahu itu Elang.
"Aku pikir kamu enggak bawa motor?"
"Tadi berangkat juga pakai motor, Len-Len!" dalihnya.
Aku hanya ber-oh ria.
"Ayo, naik!"
"Ke mana?"
"Ke punggungku! Tentu saja naik motor!"
Aku tertawa. Tanpa menunda waktu, aku segera naik karena memikirkan keadaan malam yang sudah semakin pekat.
"El, ribut sama Angel?" tanyaku di tengah perjalanan.
"Iya."
"Putus lagi?"
"Ya, harus gimana lagi."
"Besok ganti lagi, dong?"
"Tergantung."
"Tergantung apa?"
"Cewek yang aku tembak mau sama aku atau enggak."
Aku tertawa hambar. "Kenapa putus?" tanyaku demi mengentaskan penasaran.
"Angel larang aku bawa motor. Katanya suruh saja si Vino yang bawa pulang, terus aku ikut dia."
"Kenapa enggak nurut? Biasanya juga gitu, 'kan?"
"Karena aku lihat kamu pulang sendirian, Len-Len."
Aku terdiam. Sedikit merasa gugup juga sebenarnya. "Aku udah telponin Papa sama Kak Alfa, tapi enggak diangkat. Lupa juga tadi enggak bilang kalau acaranya bisa sampai tengah malam."
"Makanya aku nolak pulang sama Angel," sahutnya lagi.
Aku termenung, memikirkan perkataannya. Apa benar, Elang putus dari pacarnya karena lebih memilih pulang bersamaku?
Untuk mengalihkan perasaan yang berkecamuk tak menentu, kurogoh medali dalam tas. Kebetulan simbolis kemenangan itu ada padaku.
Kubayangkan kembali kemenangan kami sebelumnya. Tahap demi tahap yang kami lewati, waktu demi waktu yang kami lalui. Menyadarkan aku pada satu titik, perhatian dan semangat yang diberikan Elang padaku.
Ya, selama beberapa tahun ini dia tidak pernah membiarkanku pulang sendiri jika Papa atau Kak Alfa tidak bisa menjemput. Elang memang datang bersama pacarnya, lalu tak lama kemudian Vino datang membawa motornya. Aneh.
Pernah kuejek dia, melakukan suatu hal bodoh demi pacarnya itu. Namun, Elang tak membalas apapun. Padahal aku tahu pribadinya yang tak suka kalah dalam perdebatan.
"Alena!"
Aku tertegun. "Ya, ada apa?"
"Apa kamu bahagia?"
"Tentu saja, besok kita akan membuktikan pada dunia. Kita bisa!" Aku mengangkat salah satu tangan ke atas.
"Apa ini impian kamu?"
"Hampir mendekati sebenarnya," sahutku diiringi tawa.
"Apa memang?"
Agak ragu aku menjawab. "Sanggar tari."
"Sanggar tari?"
"Ya, aku ingin mendirikan sanggar tari sendiri," jawabku malu.
"Oh ...."
"Itu saja tanggapan kamu? Cuma ... oh!"
"Lalu aku harus bagaimana? Melompat-lompat, hah?"
Aku kembali tertawa. "Lalu kamu. Apa impianmu, El?"
"Aku?"
"Bukan. Mamimu!"
Elang terkekeh. "Besok, setelah acara kompetisi selesai aku akan mengatakannya."
"Hah, tidak adil!"
Elang lagi-lagi tertawa. "Alena, kita akan menggapai impian kita bersama, 'kan?"
Aku menarik napas. "Mungkin."
"Kenapa mungkin? Aku janji, setelah aku menggapai impianku, aku akan mewujudkan impianmu."
Apa maksudnya?
"Ayo, berteriak bersama! Kita saling memberi semangat!" lanjutnya.
"Oh, tentu." Aku mulai salah tingkah.
Elang memberi instruksi, menghitung sampai tiga. Lalu kami berteriak sekencang-kencangnya, bahkan aku merentangkan kedua tanganku. Kami pun tertawa bersama. Hingga tanpa sadar, medali di tangan terlepas dari kalungnya.
"Astaga, El! Medalinya jatuh!" teriakku.
Elang menghentikan motor. "Heuh, dasar ceroboh!" cibirnya.
"Enggak sengaja!" ketusku. Lalu turun dan berlari.
Suasana malam yang begitu gelap, membuatku agak kesulitan. Kebetulan penerangan jalan sangat minim, hanya ada cahaya lampu dari rumah-rumah yang berjajar di pinggiran.
"Ketemu?"
"Belum!"
"Jatuhnya sebelah mana?"
"Kalau aku tau, aku enggak bakal kelayapan gini!"
"Pakai mata batin!"
Tak kubalas lagi omelannya, memilih fokus mencari. Merunduk, membungkuk, lama-lama berjongkok. Tiba-tiba ponsel berdering. Aku rogoh dari dalam tas, Papa ternyata. Baru teringat, kenapa tidak pakai benda ini sebagai penerangan? Dasar Alena!
Kutekan tombol jawab. "Halo, Pa?" sapaku sambil terus mencari.
"Alena, jadi kamu belum pulang?"
"Ini lagi di jalan, dianter Elang."
"Masih di mana?"
"Masih--"
"Alena ...!"
Aku menoleh, Elang melajukan motornya ke arahku. Kenapa?
Tunggu, ada suara lain yang lebih keras. Aku memutar kepala ke belakang. Samar terlihat motor lain yang sedang melaju lebih kencang, ke arahku.
Aku melebarkan mata. Si pengendara pasti tidak melihatku karena lampu motornya mati. Ingin kuangkat kedua kaki ini untuk berjalan atau mungkin berlari, hanya saja entah kenapa rasanya seluruh saraf di tubuhku mati.
Semua terjadi dengan begitu cepat. Tanpa bisa aku hentikan. Hingga akhirnya terdengar suara dua benda saling menghantam memekakkan telinga.
Tubuhnya terpental, melambung, lalu jatuh.
"Alena, kamu baik-baik saja? Suara apa itu?"
"Papa ... Elang, Pa ...." Suaraku tersendat.
Di depan kedua mataku, dia terkapar. Lemas kakiku, menyaksikan itu semua. Aku tak sanggup berdiri, terduduk menyaksikan tubuh itu menggeliat.
Rintik hujan berjatuhan dari langit, bersatu dengan tetes air mata. Aku menahan kedua tangan di atas jalanan, dan bibir yang tak henti menggumamkan namanya.
"Tak usah dilanjutkan, kalau ini berat." Sebuah sentuhan membawaku tersadar dari duka yang kupendam selama ini.
"Enggak. Kamu harus tau, ini alasan kenapa aku melepas semua mimpiku," ucapku tersedu.
Zay mengusap kedua pipiku, lalu memberi sebuah anggukan.
Setelah kejadian itu, aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tahu-tahu, aku terbangun di rumah sakit. Mama menangis di samping ranjang. Papa dan Kak Alfa tak kalah resahnya.
"Mana Elang?" Berat kutanyakan itu. Berbagai kemungkinan sudah terbayang dalam otak.
Aku berlari setelah mendengar jawaban Mama. Berteriak menyebut namanya.
Di atas ranjang pesakitan, Elang tergolek. Kupandangi dia dari balik kaca jendela, memanggilnya pelan meski aku tahu dia tak akan mendengar.
"Alena!"
Aku berbalik. Sebuah tamparan keras terasa di pipi kiri. Angel?
"Ini semua gara-gara dia, Tante! Kalau saja Elang mau pulang sama Angel, ini pasti enggak akan terjadi!" teriaknya.
Di samping Angel, Maminya Elang berdiri dengan tatapan tajam ke arahku. "Kamu harus membayar ini semua, Alena!"
"Tante, ini semua--"
"Cukup! Jika sampai Elang kenapa-napa, ini semua karena kamu!"
Aku menangis. Menahan perih yang tergores hanya dalam semalam, tapi harus kurasakan sakitnya seumur hidup.
Semua menyalahkanku. Ketua dan teman-teman sanggar tari, dan tentu saja orang tua Elang.
Entah apa yang Mami Elang lakukan, tiba-tiba karier Papa hancur begitu saja. Bahkan pertunangan Kak Alfa yang sudah di depan mata pun batal, karena ternyata orang tua Biyanka --pacarnya-- berteman baik dengan keluarga Elang.
"Dua bulan kemudian, Papa memutuskan kembali ke Bandung." Kualihkan pandangan ke arah jendela. Menatap pekatnya malam yang pernah menjadi saksi atas luka yang tertoreh. Banyak malam yang kulalui dengan tangisan, nyaris membuatku ingin mengakhiri hidup.
Zay mengelus pundakku. "Ini bukan sepenuhnya salahmu, Alena."
"Tetap saja aku ikut andil dalam kecelakaannya. Seandainya dia enggak berusaha menghentikan motor pembalap liar itu, mungkin aku yang tertabrak. Kamu tau, setahun pertama aku selalu menanyakan keadaannya pada temanku. Parahnya, Elang koma selama enam bulan!" Tangisku kembali pecah.
"Dia tidak meninggal?" Zay merunduk menatap kedua mataku.
"Dia lumpuh, kedua kakinya lumpuh! Jangankan berjalan apalagi menari, untuk berdiri saja dia enggak bisa!" teriakku histeris. "Apa yang lebih menyakitkan, melihat dia hidup dalam sebuah kehancuran dan akulah penyebabnya?"
Zay memeluk tubuhku, mengusap punggung dan menghujani kepalaku dengan ciuman.
"Setiap hari aku ketakutan. Aku takut, dia datang dan menyalahkanku atas apa yang terjadi padanya. Setiap malam aku tidak bisa tidur nyenyak. Bahkan, aku harus mengambil program home schooling agar bisa lulus SMA."
"Aku mengerti Alena, aku mengerti." Zay menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Menatap beberapa detik, hingga akhirnya mencium kening dan kembali memelukku.
Kembali aku menangis dalam pelukannya, menenggelamkan wajah di balik detak jantungnya. Setidaknya ini membuatku merasa lega. Sekarang aku tidak perlu lagi bersembunyi di balik amarah tak jelas, jika Zay kembali membahas masa laluku.
"Sejak saat itu, Papa dan Mama lebih keras dalam mendidikku. Aku tau, mereka pun sama terlukanya. Terutama Kak Alfa, aku ... terlalu banyak orang yang aku hancurkan."
"Aku yakin, kamu perempuan kuat, Alena."
Akhirnya, semalaman aku terlarut dalam hangatnya kasih sayang seorang suami.
***
"Selamat pagi, Pak Zay!" sapa seorang mahasiswa yang melintas di depan kami.
"Pagi!" Zay mengangguk.
Sedang aku masih menerawangkan pandangan tak jelas.
"Kenapa?" Zay merangkul pundakku.
"Sampai sekarang aku masih bingung. Kenapa bisa masuk fakultas hukum?"
Zay terkekeh. "Inilah yang dinamakan takdir. Bisa jadi ini adalah jalan dari Allah untuk mempertemukan kita, agar kita bisa bersama."
"Sure?" Aku menoleh.
"Aku selalu bersyukur, atas pertemuan pertama kita. Hari pertamaku mengajar di sini, dan kamu kesiangan ... aww, sakit, Sayang!"
Aku melepas tangan dari pinggangnya saat melihat Jihan berlari ke arah kami.
"Alena!" teriaknya.
"Enjoy your life," bisik Zay. Lalu mengecup pipiku dan melepas rangkulannya.
Aku tersenyum, membalas mencium pipinya. "Thanks for everything."
Zay mengangguk, aku pun berbalik. Terkejut saat melihat Jihan berdiri sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Ji, lo kenapa?"
"Ahh, gue malu, Al. Lo so sweet banget, sih!" pekiknya.
Aku berputar kembali ke arah Zay yang juga sedang tertawa dengan satu tangan menutup mulutnya. Dia berdehem, tersenyum lalu melambaikan tangan dan berjalan ke arah lain.
Kutatap punggung yang semakin menjauh itu. Memikirkan kembali kata-katanya tadi. Ya, Zay benar. Ambil saja sisi positifnya. Semua jalan yang aku lalui, pasti akan membawa pada satu arah yang pasti. Tujuan hidup.
Aku berbalik lagi, memutar bola mata kesal karena melihat Jihan masih menyembunyikan wajahnya itu.
Astaga, Jihan!
*****
--bersambung--