Sudah mencari kemana-mana tetapi seseorang tersebut belum juga ia temukan membuat Alfiz langsung berdecak dan mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Ia menatap sekeliling fakultasnya yang tidak kunjung melihat batang hidung dari seorang Yashelino Albert.
"Ck, lo kemana sih Yas?!" gumamnya, "Gue heran sama kalian berdua, berantem aja kerjaannya."
Laki-laki itu berkacak pinggang, ia mengambil ponsel di saku celananya, kemudian menghubungi seseorang untuk mempertanyakan keberadaan Yas saat ini. Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya Didan pun menerima panggilannya tersebut.
"Halo," ujar laki-laki itu, "Yas balik lagi ke situ gak?"
"Kagak, ngaco lo."
"Ya kali gitu balik lagi ke sana," ujar Alfiz.
"Kan abis berantem, gimana sih lo?"
Mendengar itu Alfiz langsung berdecak, ia berkata, "Ya udah, gue mau lanjut nyari dia dulu."
"Oke."
Setelah panggilan berakhir, Alfiz langsung menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celananya tersebut. Ia menghela nafas, lalu memperhatikan sekitar dengan harapan bahwa dirinya akan menemukan Sahabatnya tersebut.
Laki-laki itu melangkahkan kakinya menuju kantin. Bertepatan dengan itu ia melihat punggung seseorang yang begiu dirinya kenali tersebut sedang menyendiri dengan segelas minuman dihadapannya.
Mengetahui itu Alfiz langsung menggeleng, ia bernafas lega karena akhirnya bisa menemukan Yas yang ternyata sedang berada di kantin seorang diri. Tanpa menunggu lama, akhirnya laki-laki itu pun berjalan melangkahkan kakinya mendekati sahabatnya tersebut dengan senyum tipisnya.
Berbeda dengan Yas, laki-laki itu saat ini sedang melamun dengan pikiran yang benar-benar kacau. Ia tidak menyangka bahwa Papanya akan melakukan hal ini tanpa persetujuannya terlebih dahulu membuat dirinya kesal bukan main.
Ditambah James yang tidak pernah mau mendengarkannya, dan sekarang berita tentang gadis itu ditolong oleh saudaranya tersebut membuat Yas sakit kepala. Ia hanya bermaksud untuk memperingatkan laki-laki itu agar tidak memperlakukan semua perempuan dengan sama seperti yang diinginkannya.
Hingga sebuah tepukan dipundaknya membuat laki-laki itu terkejut, kemudian menatap tajam kearah seseorang yang baru saja menghampirinya tersebut. Ketika mengetahui si pelaku adalah Alfiz, ia langsung menghela nafasnya.
"Bisa gak sih gak ngagetin gue?" tanya Yas dengan suara beratnya. Sangat terlihat jelas bahwa laki-laki itu sedang menahan amarahnya yang begitu memuncak saat ini, dan Alfiz dengan setia akan menemaninya karena ia khawatir dengan sahabatnya tersebut.
Alfiz tersenyum, ia berkata, "Sorry, gue gak bermaksud ngagetin lo." Hal itu membuat seseorang yang berada dihadapannya tersebut pun berdecak.
"Yas," panggilnya kepada laki-laki itu. Sedangkan Yas yang mendengarnya hanya menjawab dengan dehaman membuat Alfiz menghela nafas. "Lo gak suka banget James milih itu cewek?"
Entah bagaimana laki-laki itu masih bisa berkata sesuatu hal yang begitu sensitif saat ini kepadanya. Yas sedang dalam mood yang kurang baik sehingga ia langsung menghela nafas dengan kedua tangan yang mengepal kuat.
"Kalau kedatangan lo ke sini cuma buat bahas itu mending lo cabut," ujar Yas dengan tegas.
"Jangan marah dulu, Yas. Gue disini mau lurusin sesuatu, sebenernya apa yang bikin lo marah banget sama si James?"
"Pasti ada penyebabnya, kan?" lanjutnya lagi.
Laki-laki itu menatap datar seseorang yang berada dihadapannya tersebut, seolah sedang berpikir sesuatu hal yang membuatnya terpancing amarah hanya karena seorang James. Ia berdecak, kemudian berkata, "Foto."
Kedua manik mata dari Alfiz langsung mengerut, ia berkata, "Jadi, maksud lo James kirim lo foto?" tanyanya memastikan.
Yas yang tersadar bahwa sahabatnya tersebut berbicara terlalu keras pun langsung menggebrakkan mejanya. Ia berkata, "Pelanin suara lo," peringatnya.
Menyadari kesalahannya, laki-laki itu langsung terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "I-iya, sorry."
"Udah deh, lo balik lagi aja sana, gue lagi pengen sendiri."
Mendengar itu Alfiz langsung berdecak, ia berkata, "Jadi ceritanya lo ngusir gue nih?" tanyanya kepada seseorang yang berada dihadapannya tersebut.
"Fiz," tegur Yas yang langsung membuat laki-laki itu berdiri segera dari duduknya.
"Beneran ini gue pergi?" tanya Alfiz memastikannya sekali lagi, sedangkan laki-laki itu langsung menatapnya datar tanpa ekspresi. "Ya udah deh, tapi lo harus kasih liat foto yang lo maksud itu."
Yas berdecak, kemudian berkata, "Ck, iya, bawel lo ah!"
Setelah kepergian dari sahabatnya tersebut pun, Yas akhirnya bisa kembali tenang seperti biasanya. Hari ini dan kemarin adalah hal yang paling memuakkan bagi seseorang sepertinya. Apalagi Orland yang sangat cekatan jika sesuatu yang berbau uang.
"Entah sampe kapan gue terus-terusan kaya gini," gumamnya.
Yas langsung berdiri dari duduknya dan berjalan menuju ke Rooftop dimana disana adalah tempat favoritnya untuk menyendiri. Ia merasa lebih baik sekarang karena setidaknya tidak ada yang mengganggu ketenangannya kali ini saja.
Ia melangkahkan kakinya menuju ke sana tanpa mempedulikan beberapa pasang mata yang terus menatap kepadanya. Yas terus berjalan dengan ekspresi datarnya, meskipun begitu dirinya tetaplah terlihat tampan dimata semua mahasiswi yang berada di kampus ini.
Setelah sampai di Rooftop, Yas langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang biasa ia pakai untuk duduk. Dengan kedua mata yang terpejam erat, dirinya mencoba melampiaskan perasaan sesaknya yang sudah lama singgah di hatinya.
"Gue harus apa?" ujarnya begitu lirih, bahkan kini kedua matanya sudah mengalir air mata membuat ia benar-benar terlihat seperti seseorang yang lemah jika sedang menyendiri seperti ini.
Tidak ada yang tahu sisi lain dari seorang Yas yang satu ini, semua hanya melihat dari apa yang mereka lihat saja. Tanpa tahu kebenarannya tentang ia yang selama ini begitu tersiksa dengan kehidupannya yang tak pernah ada kata kebebasan dan bahagia.
Mengetahui itu Yas tersenyum smirk, hidupnya benar-benar menyedihkan pikirnya. Tidak ada yang mengerti bahkan jika sekalipun itu adalah sahabatnya sendiri. Terkadang ia ingin pergi sejauh mungkin, menghilang dan melupakan ingatan tentang dirinya yang memiliki seorang Papa yang kejam.
"Apa mungkin takdir gue kaya gini?" gumamnya dengan kedua mata yang kini mendongak menatap langit yang begitu cerah saat ini. "Apa mungkin ini karma buruk gue karena kesalahan gue di masa lalu?"
"APA INI YANG KAMU PENGEN HAH?!"
Laki-laki itu kembali tidak bisa mengendalikan amarahnya, Yas benar-benar melampiaskan semua rasa sakitnya dengan memukul, melempar atau apapun itu dengan benda yang berada di dekatnya.
"LIAT AKU, LIAT! AKU UDAH DAPETIN APA YANG KAMU MAU! JADI TOLONG AKU MOHON SAMA KAMU BUAT BERHENTI MUNCUL DALAM BAYANGAN AKU!"
Pada akhirnya Yas akan kembali merasakan perasaan bersalah itu setiap kali dirinya mendapat sebuah tekanan dari apa yang akan membuatnya menjadi tidak terkendali seperti sekarang ini.
Dan semua bermula dari seorang gadis yang menjadikannya seperti ini. Yas tidak menyangka bahwa keadaannya akan berubah, bahkan setelah bertahun-tahun lamanya ia masih tidak bisa melupakannya.