"Hyung dengar itu?" kata Jisung sambil meremas lengan Doyoung. "Kita disuruh pergi. Yuk aku tidak mau menunggu sampai disuruh untuk kedua kalinya." dia sudah mulai melangkah. hendak lari.
"Tunggu!" kata Doyoung sambil menahan.
"Tunggu!" kata suara gaib itu kini terdengar agak nyaring
"Ya, seperti yang sudah kukira, itu cuma gema," kata Doyoung, "Kau lihat sendiri, langit-langit ruangan ini tinggi. Dan bentuknya melingkar.
Dinding melingkar memantulkan gema dengan sangat baik.
Pembangunnya, Suzana, memang sengaja membangun ruangan ini begini. Ia memberinya nama Serambi atau Bilik Gema,"
Benar juga, kata-kata Doyoung langsung terpantul dengan cara yang menyeramkan di situ. Tapi untuk apa takut pada gema?
"Ah, aku tadi kan cuma main-main saja," kata Jisung pura-pura tak acuh. "Dari semula aku sudah tahu, itu cuma gema." Ia lantas tertawa keras, untuk membuktikan bahwa ia tidak takut. Seketika itu juga suara tertawanya terpantul, seakan-akan dinding tinggi itu sendiri yang tertawa geli. Makin lama makin pelan, diakhiri kekehan seperti berbisik, Jisung menelan ludah beberapa kali.
"Itu tertawaku?" bisiknya seram.
"Ya, itu suaramu," balas Doyoung dengan berbisik pula. "Jangan kau ulangi lagi!"
"Jangan khawatir, biar diupah berapa pun takkan kulakukan," bisik Jisung
"Coba ke sini sebentar," kata Doyoung, sambil menariknya agak ke samping. "Sekarang kita bisa bicara dengan aman! Gema hanya terjadi, apabila kita berada di tengah ruangan. Aku tadi hendak menguji. barangkali itu salah satu sumber penjelmaan seram yang diceritakan beberapa orang di masa silam."
"Kenapa Hyung tidak bilang tadi." keluh Jisung.
"Serambi Gema jelas tertulis dalam catatan laporan Renjun." kata Doyoung. "Cuma kau yang kurang teliti membacanya."
"Perhatianku lebih terarah pada cerita tentang keluarga yang datang dari Timur dan menginap di sini semalam, lalu setelah itu tidak pernah lagi terdengar kabar beritanya," kata Jisung.
"Bisa saja mereka kembali lagi ke Timur," kata Doyoung. "Tapi memang benar, nampaknya selama paling sedikit dua puluh tahun belakangan ini tidak ada seorang pun yang sanggup bertahan menginap di sini sepanjang malam. Tugas kita sekarang, menyelidiki apa yang menyebabkan orang orang itu takut. Kalau ternyata memang benar-benar hantu, arwah Suzana, pemiliknya yang dulu, itu berarti kita berhasil membuat penemuan ilmiah yang sangat penting."
"Kalau bukan hantu, apa lagi?" tukas Jisung. Dia menyorotkan senternya berkeliling menerangi dinding ruangan yang melingkar sekeliling mereka.
Di situ ada tangga putar, menuju ke tingkat atas, Tapi Jisung sama sekali tidak bermaksud menginjakkan kaki di tangga itu. Di dinding permadani hiasan dinding yang sudah rapuh, dengan bangku-bangku kayu yang berukir di bawahnya. Di beberapa relung yang tidak begitu dalam dipajang pakaian zirah.
Di dinding tergantung pula sejumlah lukisan berukuran besar. Jisung memainkan cahaya senternya, berpindah-pindah dari lukisan yang satu ke lukisan yang berikut. Semua lukisan itu menggambarkan orang yang sama, tapi mengenakan pakaian yang berlainan. Pada satu lukisan dia tampil sebagai bangsawan Indonesia, Pada lukisan lain menjelma sebagai wanita berpunggung bongkok, Ada pula yang menggambarkannya sebagai manusia aneh dari sirkus, Begitu pula bajak laut bermata satu.
Jisung menarik kesimpulan, lukisan-lukisan itu semua menggambarkan Suzana, bekas pemilik kastil itu, dalam berbagai peranannya yang termasyhur semasa film jaman dulu.
"Aku baru saja menilik perasaanku saat ini," kata Doyoung, memotong kesibukan Jisung memperhatikan ruangan itu, "ternyata aku tidak merasa takut. Cuma agak tegang"
"Aku pun begitu juga," kata Jisung, "Sejak gema tadi lenyap, tempat ini rasanya seperti rumah tua yang biasa saja."
"Biasanya pengaruh seram Terror Castle mulai terasa beberapa waktu setelah orang masuk ke sini," kata Doyoung sambil merenung. "Pada mulanya, hanya terasa kegelisahan sedikit, tanpa mengetahui penyebabnya, kegelisahan itu semakin bertambah, makin lama makin menjelma menjadi rasa nyeri yang luar biasa."
Perkataannya hanya setengah-setengah saja terdengar oleh Jisung, karena saat itu dia sudah kembali mengarah kan sorotan senternya ke lukisan Lukisan yang terpajang di dinding. Tiba-tiba remaja itu melihat sesuatu yang menggelisahkan, langsung disusul rasa gugup yang luar biasa, Mata bajak laut yang cuma satu, nampak menatap langsung pada dirinya.
Mata bajak laut itu, yang satu tertutup kain hitam. Tapi yang satu lagi nampak jelas, mata yang satu itu menatap ke arahnya. Mata itu kemerah-merahan. Sementara Jisung membalas tatapannya tanpa berkedip, dilihatnya mata itu terkejut sekali.
"Hyung!" Suara Jisung serak, nyaris tak terdengar. "Gambar itu. memandang kita."
"Gambar apa?"
"Itu , yang itu." Jisung menyorotkan senternya ke gambar bajak laut. "dia memandang kita. Aku melihatnya tadi."
"Ah, cuma kelihatannya saja begitu." kata Doyoung, "Lukisan, kalau dibuat dengan mata menatap ke depan, kelihatannya seperti langsung menatap di mana pun kita sedang berada di depannya,"
"Tapi itu bukan mata yang dilukis" bantah Jisung. "Mata sungguhan! Itu gambar yang dilukis, tapi matanya mata asli."
"Kurasa kau salah lihat," kata Doyoung "Sudah jelas itu lukisan. Tapi kita periksa saja lebih dekat."
Doyoung menghampiri lukisan itu. Setelah ragu sejenak, Jisung membuntuti. Kini keduanya menyorotkan senter mereka ke lukisan itu.
Jisung melihat sekarang bahwa memang Doyoung yang benar. Mata yang dilihatnya tadi memang lukisan. Kelihatannya seperti hidup, tapi tidak berkilat seperti mata sebenarnya.
"Kurasa aku tadi salah lihat." katanya, "Tapi aku benar-benar merasa seperti melihat mata itu berkedip. Hyung." Napasnya tersentak. "hyung Juga merasakannya?"
"Aku tiba-tiba merasa dingin," kata Doyoung heran, "Kita memasuki daerah berhawa dingin. Dalam rumah yang ada hantunya, sering terdapat tempat-tempat begini,"
"Kalau begitu, di sini pasti ada hantu," kata Doyoung. Giginya mulai gemeletuk "Aku merasakan hembusan angin dingin, seolah-olah ada barisan hantu melintas di depanku. Lihatlah, bulu romaku merinding, Aku takut! Ya, betul- aku takut"
Doyoung masih tegak di situ sesaat, sambil berusaha menahan agar giginya berhenti gemeletuk. Entah dari arah mana, ada hembusan angin dingin ke arahnya, kemudian dilihatnya kabut tipis mulai bergerak-gerak di udara, seolah-olah ada hantu yang akan menjelma di depannya. Saat itu juga perasaan tidak enak berubah menjadi kegugupan yang luar biasa, dan berlarut menjadi rasa nyeri yang tidak bisa ditahan lagi.
Jisung berpaling. dia sama sekali tidak bermaksud lari. Tapi kakinya sudah melakukannya, tanpa menunggu diperintah lagi. Kedua kakinya membawa dirinya ke luar lewat gerbang besar Terror Castle, menuruni jalan masuk, Jisung lari segesit kijang. Dan Doyoung ikut lari di sampingnya. Baru sekali itu Jisung melihat hyungnya itu begitu cepat melarikan diri.
"Kusangka kaki hyung hanya menuruti perintah otak hyung," seru Jisung.
"Memang begitu!" jawab Doyoung. "Dan otakku memerintahkan untuk melarikan diri."
Keduanya terus lari dengan langkah panjang-panjang, Cahaya senter mereka terayun-ayun menerangi jalanan di depan, sementara keduanya meninggalkan Terror Castle yang sunyi dan seram, Meninggalkan rasa nyeri yang serasa melumpuhkan syaraf.
Jisung merasa sulit mengikuti kecepatan Doyoung berlari. Jantungnya yang sudah bekerja keras, tiba-tiba seperti berhenti berdetak. dia mendengar langkah orang lain di belakang mereka!
"Ada orang ." katanya tersengal-sengal,"ada orang...mengejar...kita"
Sambil lari, Doyoung masih sempat menggeleng.
"Itu cuma, gema, langkah kita, pada tembok," katanya terputus-putus,
Tapi menurut Jisung, bunyi langkah itu tidak kedengaran seperti gema bahkan sama sekali tidak seperti langkah manusia! Tapi begitu mereka sudah melewati tembok, langkah itu juga lenyap. Ternyata sekali lagi Doyoung benar. Tadi itu cuma bunyi gema.
Tapi sama sekali bukan gema yang menyebabkan Jisung tercengkam rasa ngeri yang luar biasa, ketika masih berada dalam serambi bundar di Terror Castle. Itu diketahuinya dengan pasti!
Langkah lari mereka mulai diperlambat untuk melewati batu-batu besar yang menyebabkan jalan yang dilalui menyempit. Tapi mereka tetap lari karena tidak ada alasan untuk berhenti di tempat ini.
Kini mereka melewati tikungan jalan Bangunan seram yang besar sudah tidak kelihatan lagi di belakang mereka. Jauh di depan, dalam lembah nampak kelap kelip cahaya lampu-lampu kota Seoul, Dan tak sampai seratus meter di depan mereka, masih menunggu mobil Rolls Royce, dengan Kai dan Renjun di dalamnya.
Jisung dan Doyoung berlari-lari kecil, menghampiri mobil. Tahu-tahu terdengar jeritan melengking, jauh di belakang mereka Bunyinya aneh, diakhiri dengan suara tercekik, seakan-akan yang menjerit pilu, Jisung tidak mau membayangkan apa yang terjadi pada yang berteriak itu.
Sehingga akhirnya kedengaran begitu aneh.
Mereka sampai di samping Rolls-Royce, yang lapisan emasnya berkilauan kena sinar bintang. Pintu dibukakan dari dalam, dan Jisung menjatuhkan diri ke jok belakang, di mana Renjun sudah duduk Renjun meluruskan sikap Jisung, sementara Doyoung bergegas ikut masuk.
"Kai hyung!" seru Doyoung. "Kita pulang!"
"Baiklah, Master Doyoung," kata Kai yang berperan menjadi supir jangkung yang selalu sopan itu, lalu menghidupkan mesin mobil. Sesaat kemudian mobil itu sudah meluncur, makin lama makin cepat menyusur tikungan demi tikungan menuju lembah di bawah.
"Apa yang terjadi tadi?" tanya Renjun, sementara kedua temannya menghenyakkan diri ke sandaran dengan nafasnya masih tersengal-sengal. "Teriakan apa itu?"
"Kami tidak tahu," jawab Doyoung
"Aku tidak mau tahu," kata Jisung menegaskan. "Dan kalau ada yang tahu, kuharap dia tak mengatakannya padaku,"
"Tapi apa sebetulnya yang terjadi?" tanya Renjun lagi "kalian berhasil melihat Hantu Biru?"
Doyoung menggeleng. "Kami sama sekali tidak melihat apa-apa. Tapi walau begitu, ada sesuatu yang menyebabkan kami takut setengah mati."
"Sorry, kalau takut setengah mati, dari semula aku sudah begitu," kata Jisung. "Ada sesuatu yang membuat kami takut lebih setengah mati lagi."
"Jadi kalau begitu kastil itu betul-betul ada hantunya?" tanya Renjun bergairah. "Jadi kisah-kisah selama ini memang benar?"
"Kalau buat aku, itu markas besar perserikatan hantu, momok, dan jadi jadian dari seluruh Dunia," kata Jisung, Nafasnya mulai tenang kembali, sementara mobil besar itu membawa mereka semakin menjauhi tempat menyeramkan itu. "Kita pasti takkan kembali ke situ. Ya, kan?" Dia menoleh pada Doyoung. Hyungnya itu duduk menyandar, sambil menekan-nekan bibir bawahnya dengan ibu jari dan telunjuk. Itu merupakan tanda bahwa dia sedang berpikir.
"Kita tidak akan kembali lagi ke situ?" ulang Jisung, dengan penuh harap.
Tapi Doyoung seolah-olah tidak mendengarnya. dia diam saja. Matanya menatap ke luar, sementara bibirnya ditekan-tekan terus.
Sesampai mereka di depan asrama utama NCT, Doyoung mengucapkan terima kasih pada Kai, sambil mengatakan bahwa lain kali ia akan menelepon lagi apabila memerlukan kendaraan.
"Mudah-mudahan lain kali lebih berhasil Master Doyoung." kata Kai. "Saya senang mendapat tugas begini. Lumayan, sebagai selingan tugas biasanya latihan dance dan tampil di panggung. mungkin kalau Baekhyun ikut bakal lebih seru."
Setelah Rolls-Royce itu pergi. Doyoung mengajak kedua temannya masuk. Anak anak NCT yang lain sepertinya sudah tidur di kamar masing-masing. Hanya terlihat di balik jendela Jaehyun dan Yuta Keduanya nampak sedang menonton televisi.
"Sekarang belum begitu malam," kata Doyoung, "ternyata kita lebih cepat kembali daripada rencanaku semula."
"Tapi bagiku masih kurang cepat," kata Jisung. Mukanya masih agak pucat. Muka Doyoung juga pucat. Tapi anak itu kadang-kadang keras kepalanya luar biasa. Dan salah satu yang bisa membuatnya sangat keras kepala, ialah tidak mau mengaku takut.
"Mudah-mudahan kau sempat merekam suara jeritan tadi," katanya sekarang. Dengan begitu kita bisa mendengarkannya kembali untuk mengenal suara apa itu."
"Hyung mengharapkan aku sempat merekamnya?" teriak Jisung. "Aku tadi lari! Mana sempat merekam. Atau Hyung tidak melihat aku lari?"
"Instruksi Ku, semua bunyi aneh harus direkam," kata Doyoung. "Tapi dalam hal ini, kurasa kau tidak bisa dipersalahkan."
Doyoung mendului masuk lewat "Tiga gerbang" nama Sandi untuk jalan termudah memasuk Markas Besar. Wujudnya pintu besar terbuat dari kayu yang kokoh. Pintu itu masih berbingkai dan tampaknya seperti tersandar begitu saja pada setumpuk batu granit yang berasal dari sebuah bangunan yang dirobohkan.
Doyoung mengambil sebuah anak kunci yang besar dan sudah berkarat dari peti yang penuh berisi barang tua. Peti itu sama sekali tidak menarik perhatian. Dengan anak kunci itu dibukanya pintu dan sambil merunduk mereka masuk ke dalam
Kini mereka sampai dalam sebuah ketel tua yang berasal dari mesin uap yang sangat besar. Sambil membungkuk sedikit mereka menuju ke sisi belakang ketel. Di situ mereka menyusup ke dalam sebuah lubang, dan langsung masuk ke Markas Besar. Doyoung langsung menyalakan lampu. lalu duduk di belakang meja.
"Nah, sekarang kita perlu mengusut kembali segala kejadian tadi." katanya. "Jisung, apa yang menyebabkan kau tadi lari meninggalkan tempat itu?"
"Tidak ada," kata Jisung, "Aku lari karena kemauanku sendiri."
"Baiklah, kuajukan pertanyaan itu dengan cara lain. Apa yang menyebabkan timbulnya keinginan untuk lari dari sana?"
"Begini," kata Jisung, "Sewaktu masih dalam serambi Gema, aku mula-mula merasa gelisah. Cuma gelisah saja, Tapi setelah beberapa saat di situ, kegelisahanku semakin bertambah. Tiba-tiba perasaanku itu berubah menjadi kengerian yang luar biasa. Dan saat itulah aku lantas merasa ingin lari."
"Hmm." Doyoung memijit-mijit bibir bawahnya. "Pengalamanku persis begitu pula. Mula-mula gelisah. Lalu gugup, yang makin lama makin menjadi-jadi. Disusul kengerian yang luar biasa, padahal, apalah yang sebetulnya terjadi? Kita mendengar gema lalu terasa hembusan angin dingin.
"Sedingin es!" kata Jisung menambahkan, "Lalu bagaimana dengan lukisan yang menatapku dengan matanya yang berkilat-kilat?"
"Itu mungkin cuma perasaanmu saja." kata Doyoung, "Sebenarnya tidak ada satu pun yang kita dengar atau lihat di sana, yang benar-benar menakutkan. Walau begitu kita ketakutan pertanyaannya sekarang apa sebabnya?"
"Apa maksud hyung, apa sebabnya?" tanya Jisung heran. "Setiap rumah tua yang kosong selalu agak menyeramkan kelihatannya, dan kastil itu begitu menyeramkan hantu pun mungkin takut tinggal di situ!"
"Mungkin itu jawabannya," kata Doyoung. "Kita perlu mendatangi Terror Castle sekali lagi, lalu"
Lagu telepon berdering
Ketiga member NCT itu menatap benda tersebut tanpa berkutik. Selama itu, pesawat telepon itu belum sekali pun pernah berdering. Baru sekitar satu minggu yang lalu Doyoung memasangnya, ketika mereka mengambil keputusan untuk membuka usaha berupa biro detektif. Menurut rencana mereka, sewanya akan dibayar oleh uang pribadi Doyoung. Telepon itu terdaftar atas nama Doyoung tapi tentu saja namanya belum tertera dalam buku telepon. Selama itu hanya mereka bertiga saja yang tahu bahwa mereka sudah punya telepon.
Tapi, kenyataannya kini pesawat itu berdering-dering!
Dan berdering lagi. Jisung meneguk ludah, untuk melenyapkan rasa kagetnya.
"Jawab dong hyung," katanya serak
"Memang mau begitu maksudku," jawab Doyoung, lalu meraih gagang pesawat.
"Halo Halo?"
Didekatkannya Telpon itu ke loudspeaker yang dibuatnya dari bekas bekas sebuah radio yang tak terpakai lagi. Dengan begitu semua bisa mengikuti pembicaraan. Tapi yang terdengar hanya bunyi mendengung pelan.
"Halo!" kata Doyoung sekali lagi. Tapi tetap tak ada yang menjawab Karena itu dikembalikannya gagang telepon ke tempatnya. "Mungkin salah sambung," katanya." Apa yang hendak kukatakan tadi? Oya O ya "
Dan telepon berdering lagi
Tiga pasang mata menatap benda itu, Doyoung meraihnya dengan lambat dan berat, seolah-olah ada yang menahan lengannya.
"Ha-halo?" katanya terbata.
Terdengar lagi dengungan yang tadi. Kedengarannya seperti jauh sekali, di tempat yang sunyi. Kemudian menyusul suara seperti tergagap, seolah-olah yang sedang berbicara itu sudah lama tidak biasa berbicara lagi , tapi ingin sekali mengatakan sesuatu, "Jangan" kata suara itu, lalu setelah terdiam sebentar, seperti mengumpulkan tenaga, disambung dengan sepatah kata lagi.
"datang," kata suara itu. "Jangan... datang"
Kalimat itu berakhir dengan desahan panjang. Terdengar lagi dengungan aneh yang tadi.
"Jangan datang ke mana?" tanya Doyoung pada suara itu, Tapi telepon tetap membisu. Hanya dengungan saja yang terdengar
Doyoung mengembalikan telpon itu ke tempat semula. Lama sekali, tidak seorang pun membuka mulut. Akhirnya Jisung bangkit.
"Aku harus pulang," katanya, "Baru ingat aku sekarang, masih ada tugas yang perlu diselesaikan di kamar."
"Aku juga," kata Renjun sambil melompat bangun. "Kita sama-sama pergi."
"Mungkin Taeil hyung dan yang lain sudah menunggu kita," kata Doyoung. dia pun ikut berdiri. Ketiga remaja itu nyaris bertubrukan, begitu tergesa-gesa mereka hendak meninggalkan ruangan itu, Suara yang berbicara tadi belum menyelesaikan kalimatnya. Tapi walaupun begitu mereka sudah bisa menebak, apa sebetulnya yang dimaksudkan.
Jangan datang ke Terror Castle!
*****
"Ada suatu problem yang kita hadapi saat ini," kata Doyoung keesokan sorenya. Ia sedang duduk-duduk di Markas Besar, dengan Jisung. Saat itu Renjun masih sibuk di perpustakaan, Doyoung menghadapi selembar kertas dengan kening berkerut. "Bukan cuma satu, tapi dua problem yang kita hadapi," tambahnya setelah beberapa saat.
"Bisa kukatakan bagaimana problem kita itu bisa diselesaikan," kata Jisung, "Telepon saja Mr. Bong Joon Ho dan katakan padanya, kita berubah pikiran. Kita tidak jadi mencarikan rumah berhantu untuknya. Bilang padanya, setiap kali kita menghampiri rumah itu, bulu roma kita langsung meremang. Kaki kita goyah, lalu lari tanpa menunggu diperintah lagi."
Doyoung berlagak tidak mendengarnya.
"Problem kita yang pertama," katanya. "menyelidiki siapa yang menelepon kemarin malam."
"Bukan siapa," kata Jisung, "Apa yang menelepon! Mungkin hantu, momok, setan, jadi-jadian, atau barangkali arwah gentayangan yang biasa saja?"
"Arwah tidak mungkin bisa menelepon," tukas Doyoung. "begitu pula hantu, momok, atau jadi-jadian"
"Itu kan jaman dulu hyung" kata Jisung nekat. "Kenapa mereka tidak mungkin bisa mengikuti perkembangan jaman pula? Pokoknya, suara yang kita dengar kemarin malam itu, rasanya bukan suara manusia bagiku."
Kening Doyoung berkerut, Air mukanya menunjukkan keheranan,
"Memang betul." katanya, "Problem ini menjadi semakin rumit, karena di samping kita sendiri serta Kai hyung, tidak ada lagi yang tahu bahwa kita sebelumnya mendatangi Terror Castle."
"Kalau manusia memang tidak ada tapi bagaimana dengan makhluk halus?" tanya Jisung.
"Jika Kastil Setan itu benar-benar ada hantunya, kita harus berusaha membuktikannya," kata Doyoung. "Kalau kita berhasil, kan nama kita akan menjadi tenar, Kita perlu lebih banyak melakukan penyelidikan tentang diri Suzana Jika ia yang mengutuk kastil itu, maka kemungkinannya arwah dirinyalah yang menghantui tempat itu sekarang."
"Yah hyung - itu memang masuk akal," kata Jisung,
"Jadi tindakan kita yang pertama-tama, mencari seseorang yang mengenal Suzana ketika ia masih bintang film Indonesia. Orang itu pasti bisa bercerita lebih banyak mengenai dia."
"Tapi itu kan sudah lama berlalu," kata Jisung. "Siapa yang masih bisa kita temukan sekarang?"
"Kita merasa seperti sudah lama berselang, karena kita masih muda Tapi pasti masih banyak orang di Korea yang mengenal Suzana."
"Ah, masa hyung Coba sebutkan dua orang."
"Orang yang paling tahu, tentunya manajer Suzana," kata Doyoung. "Pembisik!"
"Pembisik" seru Pete kaget. "Nama macam apa itu?"
"Itu julukannya, Nama sebenarnya Clift Sangra, ini dia fotonya."
Doyoung menyodorkan fotokopi berita koran yang ada fotonya. Renjun yang membuat fotokopi itu, di perpustakaan. Pada foto yang difotokopi nampak seorang laki-laki yang lumayan tinggi dan gemuk, dengan kepala botak serta bekas luka yang menyeramkan di lehernya. Orang itu bersalaman dengan seorang wanita yang sedikit lebih pendek, bertampang ramah, berambut hitam serta dengan senyuman yang agak murung kelihatannya. Sedang laki-laki yang lebih tinggi matanya terpicing, Potongannya galak!
"Huh!" seru Jisung. "Jadi beginilah aslinya tampang Suzana Ia tidak perlu menyamar lagi, begini saja pun tampangnya sudah menakutkan, Siapa tidak ngeri, melihat bekas luka serta tatapan mata kejam itu"
"Kau keliru Suzana yang wanita yang kelihatannya begitu ramah dan lemah lembut."
"Dia itu Suzana?" tanya Jisung kaget. "Dia yang memainkan peran hantu-hantu seram? wanita bertampang ramah itu?"
"Tampang aslinya biasa saja, tapi ia sanggup menarik air muka yang macam-macam, sesuai dengan peran jahat yang kayak apa pun," kata Doyoung menjelaskan. "Dalam berita itu tertulis apa bila kau belum membacanya -"
"Aku cuma tertarik pada yang ada hantunya saja--," kata Jisung berterus terang.
"Nah, menurut berita itu, dalam kehidupan sehari-hari Suzana sangat pemalu. Ia hampir tidak pernah bicara dengan orang lain. Karena itu ia mengontrak Pembisik untuk menangani segala urusan bisnis. Manajernya itu sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menggolkan persyaratan yang diinginkannya,"
"Itu bisa kubayangkan" kata Jisung, "Kalau melihat tampangriya, aku tidak heran apabila ia langsung main pisau, jika ada orang berani membantah."
"Kalau kita bisa menemukan dia, kurasa pasti ia akan bisa menceritakan segala hal yang ingin kita ketahui."
"Ya, betul - kalau bisa, hyung punya akal?"
"Pakai buku telepon. Mungkin ia masih tinggal di korea daerah sini."
Jisung berhasil menemukan nama itu.
"Ini dia!" serunya setelah beberapa saat. "Clift Sangra, Gangnam, nomor sembilan ratus lima belas. Kita menelepon dia sekarang?"
"Kurasa lebih baik kita datang saja, tanpa menelepon dulu. Tapi kita perlu menelepon Kai hyung untuk menjemput."
"Memang dasar nasib sedang mujur, memenangkan hak memakai mobil itu," kata Jisung, sementara Doyoung sibuk memutar nomor telepon. "Aku tak tahu bagaimana nanti, jika masa tiga puluh hari sudah lewat hyung."
"Aku sudah punya rencana," kata Doyoung. "Tapi itu soal nanti, Sebaiknya kita bilang dulu pada menejer hyung dan Taeil hying, kita tidak bisa pulang tepat saat makan malam."
Taeil dan Yuta menyimpankan makan malam untuk mereka. Tapi kemudian ia menggeleng-geleng, ketika melihat mobil Rolls-Royce yang berkilat-kilat memasuki pintu gerbang.
"Astaga!" katanya, "Aku bingung, bagaimana seterusnya dengan dirimu, Doyoung. Petantang-petenteng naik mobil bekas raja minyak. Lama kelamaan kau bisa menjadi manja karenanya. Percayalah kataku"
Tapi Taril tidak mengatakan, apa yang dugaannya menyebabkan Doyoung bisa menjadi manja. Dan orang yang disindir itu sendiri kelihatannya tidak khawatir membayangkan kemungkinan itu. Dengan santai ia menyandarkan punggungnya ke jok belakang.
Kai terpaksa meneliti beberapa lembar peta dulu, sebelum akhirnya mengatakan bahwa sudah tahu di mana letak jalan yang bernama Gangnam itu. Rupanya berawal agak jauh di luar kota, di seberang bukit-bukit. Ketika mobil sudah meluncur ke arah itu, tiba-tiba Doyoung mendapat ilham mendadak.
"Kai hyung," katanya, "kalau tidak salah, jalan ini pada salah satu tempat jaraknya cukup dekat dari mulut ngarai Bukit blakang SBS. Jaraknya cuma sekitar satu mil dari situ."
"Betul." jawab Kai "tidak jauh sebelum kita mendaki bukit menuju ke lembah."
"Kalau begitu dalam perjalanan ke sana, kita mampir sebentar di sana, Ada sesuatu yang ingin kuperiksa di sana hyung."
Dalam waktu singkat mereka sudah sampai di mulut ngarai sempit yang mereka datangi malam sebelumnya. dan yang kemudian mereka tinggalkan lagi dengan tergesa-gesa. Siang hari, keadaan di situ kelihatannya agak lumayan sedikit. Tapi cuma sedikit! Ketika mobil sudah sampai di mana jalan tertutup palang yang rusak tertimpa batu longsor, tiba-tiba Kai berseru kaget.
"Lihatlah!" katanya, "Ada jejak roda mobil lain memotong bekas kita. Saat itu saya agak ragu untuk mengatakannya, Young - tapi kemarin saya mendapat kesan bahwa ada yang membuntuti kita. Tapi waktu itu saya tidak yakin betul."
"Ada yang membuntuti?" Jisung dan Doyoung saling berpandangan.
"Ada lagi misteri yang perlu dipikirkan," kata Doyoung. "Tapi itu nanti saja. Saat ini aku ingin memeriksa lokasi di luar Kastil Setan."
"Beres!" kata Penyelidik Dua, alias Jisung." Aku setuju saja, selama kita tetap berada di luar"
Karena tempat itu terang, mereka bisa maju dengan cukup lancar, mendaki jalan sempit yang penuh dengan batu-batu bertaburan, Akhirnya Terror Castle nampak menjulang tinggi di depan,
"Bayangkan - kita memasuki tempat itu malam-malam!" seru Jisung, "Huh!"
Doyoung mendului berjalan, mengeliling bangunan tua itu. Semua tempat diteliti olehnya termasuk bagian belakang serta lereng terjal di atasnya.
"Kita mencari tanda-tanda adanya manusia yang mungkin memakai tempat ini sebagai persembunyian" katanya. "Jika benar ada, pasti mereka meninggalkan bekas-bekas! Jejak kaki di lumpur - puntung rokok yang dibuang sembarangan..."
Tapi mereka tidak menemukan apa-apa, walau sudah mencari dengan sangat teliti. Akhirnya kedua remaja itu beristirahat sebentar di sisi kastil.
"Jelas di sini tidak ada jejak kaki orang yang datang atau pergi," kata Doyoung dengan nada puas "Jika kastil ini ada penghuninya, penghuni itu mungkin hantu. Dan itulah yang hendak kita buktikan!"
"Aku mau saja percaya, tanpa perlu bukti-bukti lagi," kata Jisung.
Saat itu mereka dikagetkan suara orang berteriak. Itu jelas suara manusia biasa! Keduanya berpaling dengan cepat, memandang ke arah gerbang depan Terror Castle Mereka melihat dua orang lari ke luar sambil menjerit-jerit ketakutan. Kedua orang itu lari pontang-panting, menuju ke arah mulut ngarai. Tapi tiba-tiba seorang dari mereka tersandung lalu tersungkur. Sesuatu benda berkilat terlepas dari pegangannya, jatuh ke tepi jalan. Orang itu tidak mempedulikan barang yang jatuh. Ia bergegas bangun, lalu lari lagi menyusul temannya yang sudah agak jauh berlari.
"Cepat!" seru Doyoung, Ia sudah lari menuruni lereng. Larinya cukup kencang, "Kita harus berusaha melihat siapa mereka!"
"Yang jelas, bukan hantu," kata Jisung sambil ikut lari mengejar, "Tapi dari kelakuan mereka, mungkin baru saja melihat hantu"
Kedua orang yang lari itu sudah tidak kelihatan lagi. Doyoung sampai di tempat salah seorang dari keduanya tersungkur tadi. Dipungutnya senter dari tepi jalan. Itulah benda yang tadi terjatuh. Barang itu nampak mahal dan ada pelat nama pada tabungnya. Pada pelat itu terukir tiga huruf. L.D.H.
"L.D.H..." kata Doyoung sambil membaca. "Kau lantas ingat pada siapa?"
"E. Lee Dong Hyuk" tukas Jisung. "Haecan hyung, si pembuat onar itu! Tapi mana mungkin? Bagaimana dia tahu-tahu ada di sini?"
"Kau ingat cerita Renjun, bahwa Haecan bolak-balik terus di dekatnya ketika Renjun sedang sibuk mengumpulkan informasi? Lalu Renjun kehilangan kartu nama kita yang ada tulisannya, 'Terror Castle'? Dan bagaimana dengan kata Kai hyung tadi, bahwa kemarin malam ia merasa ada orang membuntuti kita? Cocok kalau anak kayak Haecan mau setengah mati berusaha menyelidiki apa yang sedang kita lakukan! Mungkin ia berniat mendului kita, atau kalau tidak mengacau pekerjaan itu"
"Ya," kata Jisung setelah berpikir sebentar, "Haecan hyung memang tidak segan berbuat apa saja, asal bisa sekali saja mengalahkanmu hyung. Tapi jika memang dia serta salah seoranglainnya yang masuk ke Terror Castle, keluarnya cepat sekali"
Jisung terkekeh-kekeh. Tapi tampang Doyoung serius, sementara ia mengantongi senter yang baru saja dipungutnya.
"Kita kemarin malam juga lari terbirit-birit." katanya mengingatkan.
"Cuma bedanya, kita akan masuk lagi, sedangkan aku yakin Haecan hyung tak mungkin berani! Aku bahkan sudah memutuskan, kita masuk sekarang juga. Kita memeriksa tempat ini, sementara hari masih siang.
Sebelum Jisung sempat membantah, terdengar bunyi berdebam-debam, jauh di atas mereka. Keduanya cepat-cepat mendongak. Sebongkah batu besar terbanting-banting di lereng ngarai, jatuh tepat ke arah mereka. Jisung sudah cepat-cepat lari, tapi dicegah oleh Doyoung.
"Tunggu! katanya. "Jatuhnya jauh dari kita."
Dugaannya tepat. Batu itu membentur jalanan sekitar sepuluh meter dari tempat mereka berdiri beton alas jalan pecah beserpihan, sementara batu besar itu menggelinding terus ke bawah.
"Kalau kita tadi kena, malam ini Terror Castle mendapat tambahan dua hantu logi!" kata Jisung dengan wajah pucat pasi.
"Lihatlah!" kata Doyoung dengan tiba-tiba, sambil menarik lengan Jisung "Di atas sana ada orang! Itu, bersembunyi di balik semak Pasti Haecan lagi. Mestinya ia menyelinap naik ke atas, lalu menggulingkan batu tadi ke arah kita."
"Kalau benar dia, hyung yang satu itu perlu diajar sopan santun," kata Jisung dengan marah. "Yuk, Hyung, kita ke jar dia!"
Kedua remaja itu bergegas mendaki lereng berbatu-batu. Gerak mereka disulitkan batu-batu longgar serta semak belukar. Sedang orang yang ada di atas mereka, dengan cepat menjauhkan diri. Doyoung dan Jisung berhenti sebentar untuk mengatur napas. sesudah melewati batu besar yang menonjol. Di depan mereka nampak suatu celah sempit berdinding batu serba runcing. Celah itu menjorok masuk ke dalam bukit. Rupanya dulu pernah terjadi gempa di situ, dan membelah bukit batu itu.
Sementara mereka sedang memperhatikan celah yang dalam itu, tiba tiba mereka dikejutkan bunyi menggeresek keras di atas kepala.
Keduanya cepat-cepat mendongak. Dari tempat yang lebih tinggi di atas lereng, batu-batu bergulingan jatuh, meluncur tepat ke arah mereka.
Jisung terpaku karena kagetnya. Tapi Doyoung langsung bertindak tanpa telat sedetikpun. Diseretnya Jisung maju, masuk sedalam mungkin ke celah. Sesaat kemudian, dengan bunyi gemuruh batu-batu dan tanah menggelincir lewat mulut celah di mana kedua remaja itu berlindung, Beberapa bongkah batu berjatuhan ke dalam. Beberapa bongkah lagi bertumpukan di tempat datar yang ada diluar celah itu, sehingga terbentuk semacam tembok yang padat. Kini Jisung dan Doyoung Terkurung dalam celah yang menyelamatkan jiwa mereka.
TO Be CONTINUED