Chereads / NCT Detektif (Neo Culture Teknologi Detektif) / Chapter 14 - Ark:Teror Kastil Setan Bgagian 5

Chapter 14 - Ark:Teror Kastil Setan Bgagian 5

Dua hari berlalu sejak Doyoung mengalami kecelakaan. Waktu itu dia cepat-cepat diantarkan Taeil ke rumah sakit, di mana sehari penuh Doyoung sibuk diperiksa pergelangan kakinya. Setelah ternyata tidak patah, kakinya lantas direndam dalam semacam larutan. Ia diperbolehkan pulang. Menurut Dokter yang memeriksa, sebentar lagi Doyoung sudah boleh berjalan lagi, walau untuk sementara masih pincang. Dokter itu malah menyarankan agar dia dengan segera mencoba berjalan

Tapi untuk sementara Doyoung masih terkapar di tempat tidur dengan kaki terbalut.

Sementara itu ada kemungkinan Mr. Bong Joon ho sudah berhasil menemukan rumah berhantu yang diperlukan untuk lokasi pembuatan filmnya. Kelihatannya Neo Culture Detektif akan terhenti usahanya, sebelum sempat benar-benar memulainya.

Jisung dan Renjun duduk di sisi tempat tidur Doyoung. Keduanya merasa agak lesu.

"Sakit, ya hyung?" tanya Jisung, ketika dilihatnya muka Doyoung mengernyit sewaktu bergeser sedikit di tempat tidur.

"Ini salahku sendiri, kenapa tidak hati-hati," katanya, "Tapi kita lanjutkan saja rapat yang tidak jadi di waktu itu. Pembahasan pertama mengenai suara misterius yang menelepon, segera setelah kita pergi ke Terror Castle. Kata Kai hyung, dia merasa malam itu ada yang membuntuti kita. Besar kemungkinannya, orang itu Haecan."

"Memang," kata Renjun. "Dia tahu, kita tertarik pada tempat itu."

"Tapi Haecan hyung mana mungkin bisa mengubah suaranya, sehingga kedengarannya kayak begitu." bantah Jisung. "Berat, seperti suara dari dalam kubur! Padahal Haecan suaranya kan lebih mirip suara kuda meringkik."

"Memang benar- tapi cuma itu satu-satunya kemungkinan yang bisa kubayangkan," kata Doyoung. Dia mengernyit kesakitan, sementara memindahkan letak kaki, "Sampai ada bukti-bukti nyata, aku tidak mau percaya bahwa makhluk halus bisa menelepon."

"Ya, baiklah," kata Renjun, "Lalu seterusnya, bagaimana? Siapa orang misterius yang menyebabkan batu-batu longsor?"

"Ya, siapa?" tukas Jisung, "Aku kepingin sekali bisa membeku leher orang itu!"

"Untuk sementara, kuanggap saja persoalan itu tidak ada," kata Doyoung.

"Kita sekarang tahu pasti dia bukan Haecan, Mungkin saja orang itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kita. Mungkin cuma seseorang yang sedang berjalan-jalan di tepi ngarai, dan ia menyebabkan batu longsor itu secara tidak sengaja."

"Kalau tidak sengaja, bidikannya hebat sekali," gumam Jisung tidak percaya

"Untuk sementara ia harus tetap misterius, sampai sudah ada fakta fakta lebih jauh mengenai dirinya. Saat ini aku lebih tertarik pada hal hal tidak benar yang dikatakan Mr. Sangra pada kami, ketika aku bersama Pete datang ke tempatnya Kenapa dia mengatakan habis merambah semak kering, padahal kelihatannya jelas bahwa hal itu tidak benar? Dan apa sebabnya sudah tersedia kendi berisi limun dingin di rumahnya, seakan-akan dia sudah menyangka kita akan datang?"

Kedua pertanyaan itu menyibukkan mereka, tanpa ditemukan jawabannya. Doyoung menggaruk-garuk kepala. "Aduh, semakin dalam kita mengusut perkara ini, semakin banyak misteri yang muncul," katanya.

Saat itu Taeyong masuk bergegas-gegas, "Hampir saja aku lupa memberi tahu kalian," katanya, "kemarin pagi ada kejadian aneh, sebelum kalian kembali dari rumah sakit! Tapi saat itu begitu repot, sampai aku lupa lagi."

"Kejadian aneh? Apa?" tanya Doyoung.

Renjun dan Jisung ikut tertarik

"Ada seorang wanita tua datang kelihatannya dia dari kaum pengembara. Tapi aku tak tahu, perlu atau tidak kukatakan pada kalian."

Kini perhatian Trio Neo Culture Detektif benar-benar tergugah.

"Aku ingin sekali tahu."

"Ah, sebetulnya apa yang dikatakan toh omong kosong belaka. Pokoknya. saat itu datang seorang wanita tua berpakaian seperti kaum pengembara. Dia mengetuk pintu, lalu dalam logat mereka yang aneh mengatakan bahwa dia mendapat firasat bahwa kau mengalami kecelakaan, Doyoung. Karena itu Dia datang untuk menyampaikan peringatan."

Peringatan dari seorang wanita pengembara! Ketiga remaja itu saling melirik.

"Pokoknya," sambung Taeyong, "akhirnya aku mengerti bahwa ketika dia sedang membaca nasib lewat kartu, tiga kali berturut-turut datang pesan untuk memperingatkan dirimu, Kau disuruhnya menghindarkan diri dari huruf-huruf T.C., atau orang-orang yang singkatan namanya begitu, Kata wanita itu, kecelakaan yang kaualami disebabkan oleh T.C., dan T.C. akan terus membawa bencana bagi dirimu jika kau tidak menghindarinya, Aku cuma tertawa saja. Kukatakan pada wanita tua itu, dia benar. Kukatakan, T.C. itu singkatan dari Terlalu Ceroboh. Setelah itu ia pergi lagi. Kasihan - orangnya sudah tua sekali dan serampangan, sampai timbul dugaanku dia tidak begitu beres otaknya."

Setelah itu Taeyong pergi lagi, meninggalkan ketiga remaja itu saling berpandangan.

"T.C.." kata Renjun dengan suara serak, "singkatan dari Terror Castle."

"Mungkin wanita itu sengaja disewa Haecan untuk menakut nakuti kita," kata Doyoung, dengan muka agak pucat, "Cuma kurasa akal Haecan tidak begitu panjang. Membawa tikus mati kemari - itu sudah merupakan keisengannya yang paling hebat."

"Ada orang-" kata Jisung, "keliru, ada sesuatu yang tidak suka kita datang ke Terror Castle. Mula-mula kita mendapat peringatan lewat telepon. Lalu sesuatu itu memakai perantaraan kartu-kartu ramalan wanita pengembara itu, untuk menyampaikan peringatan lagi pada kita. Kurasa sesuatu itu tidak main-main karenanya aku menyarankan kita sekarang mengadakan pemungutan suara, apakah kita menjauhi Terror Castle atau tidak. Siapa setuju, bilang ya!"

"Ya," kata Hwang Renjun.

"Ya," kata Jisung. "Jadi mayoritas mengatakan setuju"

Doyoung menatap kedua temannya.

"Jadi kalian mau saja ditertawakan Haecan?" katanya, "Sekarang pun dia sudah menganggap kita gagal menjadi detektif. Dan dia sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk menyebarluaskan kegagalan kita. Karena itu kita terus bertindak cepat, menduluinya. Kecuali itu," tambahnya, "kan jelas bahwa kedua peringatan itu menambah misteri kasus yang sedang kita hadapi?"

"Apa maksudmu?" tanya Jisung.

"Orang-orang lain yang juga mengusut rahasia Terror Castle, tidak seorang pun mendapat peringatan Baru kita yang diperingatkan agar menghindari tempat itu. Ini menyebabkan timbul dugaanku bahwa tanpa kita sadari, kita saat ini sudah hampir berhasil menyibakkan misteri kengerian aneh yang menyelubungi Kastil Setan."

"Katakanlah hyung benar - apa gunanya bagi kita?" kata Jisung, "hyung terkapar di tempat tidur! Kita tidak bisa berbuat apa-apa, selama kaki hyung masih sakit."

"Itu tidak seluruhnya benar," bantah Doyoung. "Kemarin malam, karena tidak bisa tidur menahan sakit, aku lantas mengatur rencana lain. Kalian berdua harus meneruskan kegiatan kita memeriksa Terror Castle, sementara aku di sini memikirkan misteri-misteri selebihnya?"

"Aku hyung suruh memeriksa Terror Castle? Kastil Setan itu?" teriak Renjun kaget. "Membaca kasusnya aja aku sudah setengah mati ketakutan! Sudah cukup pengalaman dengan pasukan Blanda aku tak mau lagi."

"Menurut dugaanku, takkan banyak yang bisa kau jumpai di tempat itu," kata Doyoung. "Tapi mudah-mudahan kalian juga akan mengalami perasaan gelisah tak menentu, yang lambat laun melarut menjadi kengerian yang luar biasa. Lalu kalau perasaan itu telah kalian rasakan aku ingin agar kalian menguji sampai sejauh mana kalian merasakannya."

"Sejauh mana?" kata Jisung terpekik. "Waktu itu aku merasakannya dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, Dari dalam ke luar dan dari luar ke dalam. Pokoknya, seluruh tubuhku merasakannya hyung ini bagaimana kausangka sementara tangan kananku merasa ngeri tangan kiriku bisa tenang-tenang saja?"

"Bukan begitu maksudku," kata Doyoung menjelaskan, "Maksudku tadi. sampai seberapa jauh dari Terror Castle rasa nyeri itu masih kalian rasakan. Itulah yang ingin kuketahui."

"Waktu itu, sekitar lima belas mil, sampai aku sudah berbaring di tempat tidur," kata Jisung.

"Sekali ini apabila mulai terasa kengerian, rasa takut seperti akan terjadi bencana, Kuinginkan kalian pergi dengan tenang, Sekali-kali nenti, untuk merasakan apakah rasa nyeri itu berkurang atau tidak"

"Ah, begitu hyung menginginkan agar kami pergi dengan tenang Sudah ketakutan setengah mati, tapi pergi dengan tenang. Enak saja hyung ngomong" Jisung tertawa hambar.

"Mungkin juga kalian sama sekali tidak merasakan apa-apa," sambung Doyoung. "karena kalian besok harus pergi siang hari. Kalian harus memeriksa tempat itu sementara hari masih terang, Kalau kalian mau kalian juga bisa berdiri dekat pintu pada saat senja, untuk memeriksa apakah kalian juga merasakan kengerian itu di situ."

"Dia ini memang baik hati," kata Jisung pada Renjun, "Kita cuma dimintanya berdiri di dalam dekat pintu."

Hwang Renjun mendesah lega.

"Aku tidak bisa ikut, karena besok sehari penuh sibuk terus di perpustakaan," katanya, "Dan lusa juga!"

"Ngomong-ngomong, aku baru ingat sekarang - aku pun besok sibuk sekali," kata Pete. "Apa boleh buat, tugas itu tidak bisa kita laksanakan."

Doyoung mencubiti bibir bawahnya, pertanda otaknya sedang bekerja keras. Kemudian ia mengangguk

"Kalau begitu, rencana perlu kita ubah," katanya.

"Itulah yang selama ini ingin kami tegaskan padamu hyung," tukas Jisung.

"Sekarang kan masih siang. Masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum gelap," katanya. "Kalian cepat-cepat saja makan malam, lalu pergi ke Terror Castle. Hari ini juga karena kata kalian sendiri, besok dan lusa tidak sempat."

Kedua temannya hanya bisa melongo.

*******

Jisung mengumpat-umpat.

"Sialan!" katanya, "Kenapa kalau kita berdebat, selalu Doyoung hyung terus yang akhirnya menang?"

"Sekali ini memang dia yang menang," kata Renjun sependapat. Terror Castle tegak di depan mereka, kelihatannya seperti bertengger di tebing ngarai, Menara-menaranya, jendela-jendela yang sudah pecah kacanya, begitu pula tanaman menjalar yang menyelubungi, semua nampak jelas diterangi sinar matahari sore.

Renjun agak bergidik.

"Kurasa sekarang saja kita masuk," katanya, "Tinggal dua jam lagi, matahari terbenam. Nanti tahu-tahu sudah gelap."

Jisung menoleh ke belakang, ke arah jalanan yang penuh dengan batu-batu bertaburan. Kai hyung menunggu dalam mobil, di balik tikungan. Tadi ia membantu Renjun melewati tempat-tempat yang paling parah keadaannya. Setelah itu ia harus kembali menjaga mobil, menaati instruksi majikannya.

"Bagaimana, apakah rasanya Haecan hyung membuntuti kita lagi kali ini?" tanya Jisung.

"Tidak, aku tadi menengok terus ke belakang," kata Renjun, "Lagipula, Doyoung hyung merasa yakin bahwa mulai sekarang Haecan pasti tidak berani datang lagi ke kastil Setan ini."

"Tapi kita-kita disuruh membuktikan lebih tabah daripada Haecan hyung" kata Jisung sambil menarik nafas panjang.

Renjun berbekal kamera, sedang tape recorder disandang oleh Jisung Kedua remaja itu membawa senter, yang digantungkan pada ikat pinggang masing-masing, Keduanya melangkah serempak, menaiki jenjang yang menuju ke pintu depan yang besar, Ternyata pintu itu tertutup.

"Aneh," kata Jisung dengan kening berkerut. "Aku yakin Haecan hyung tidak menutup pintu, ketika kami melihat dia lari tunggang-langgang keluar waktu itu."

"Mungkin tertutup karena angin," kata Renjun.

Jisung memutar tombol pintu. Dan pintu terbuka, diiringi bunyi berderit menyeramkan Kedua remaja itu agak kaget karenanya.

"Itu kan cuma bunyi engsel yang sudah karatan," kata Renjun. "Tidak perlu kita gugup karenanya."

"Siapa bilang aku gugup?" kata Jisung. "Aku cuma takut!"

Mereka masuk ke serambi besar, sementara pintu depan dibiarkan terbuka. Di satu sisi serambi itu terdapat sebuah ruangan luas, penuh dengan barang-barang kuno. Kursi serta meja besar dari kayu penuh ukiran, serta pediangan yang besar sekali. Doyoung menugaskan untuk memeriksa tempat itu, serta membuat foto di situ, Renjun tidak melihat keistimewaan ruangan itu. Walau demikian dibuatnya juga beberapa foto dengan memakai lampu blitz.

Kemudian mereka menuju ke serambi bundar, di mana Doyoung dan Jisung mendengar gema. Tempat itu rasanya aneh dan suram, terisi pakaian zirah serta lukisan-lukisan Suzana dengan berbagai jenis kostum yang dipakainya dalam film-filmnya. Tapi kesuraman tempat itu agak dikurangi cahaya matahari yang masuk lewat jendela berdebu yang terdapat dekat tangga menuju ke atas, kira-kira pada pertengahannya.

"Kita pura-pura saja tempat ini museum," kata Renjun pada Jisung. "Kau kan tahu, bagaimana rasanya apabila sedang berada dalam museum. Suram, tapi sama sekali tidak menakutkan."

"Betul," kata Jisung. "Tempat ini rasanya memang mirip museum Berdebu, kuno dan mati."

"Mati-mati-mati-mati"

Kata Jisung yang terakhir menggema dari segala arah

"Aduh,  gema!" kata Renjun.

"Gema-gema-gema-gema" berulang-ulang kata itu terpantul pada dinding

Jisung menarik Renjun agak ke pinggir.

"Kita ke sini," katanya. "Gema itu hanya kedengaran kalau kita berdiri di tempat tadi itu saja."

Renjun biasanya senang mendengar gema. Ia paling senang meneriakkan kata, "halo", lalu mendengarkan gemanya sayup sampai, Tapi dalam Ruang Gema, ia sama sekali tidak ingin mencobanya.

"Kita periksa saja lukisan-lukisan sekarang," katanya, "Yang mana yang katamu menatap dengan mata yang nampaknya hidup?

"Itu, di sebelah sana." Jisung menuding ke seberang ruangan, menunjuk lukisan bajak laut bermata satu. "Sesaat mata itu nampak hidup, lalu detik berikutnya merupakan lukisan belaka."

"Itu sesuatu yang bisa kita periksa," kata Renjun. "Coba berdiri di alas kursi, mungkin kau bisa meraihnya."

Jisung mendorong sebuah kursi ke bawah lukisan itu, lalu berdiri di atasnya. Tapi walau dengan berjingkat sekalipun, ternyata ia tidak bisa meraihnya.

"Di atas ada semacam balkon," katanya. "Lukisan-lukisan ini digantungkan dari sana, dengan kawat panjang. Mungkin jika kita naik ke sana, nanti lukisan ini bisa kita tarik ke atas."

Sementara Jisung turun dari kursi. Renjun berpaling hendak menuju ke tangga. Tepat saat itu dirasakannya ada yang memegang tali penggantung kamera yang tersandang di bahunya. Sekilas dilihatnya sesosok tubuh tinggi berdiri dalam relung gelap yang ada di belakangnya. Renjun terpekik karena kaget dan ngeri, lalu bergegas hendak lari ke pintu.

Tapi larinya tidak jauh. Tali kamera yang terpegang menyebabkan geraknya tertahan. Renjun kehilangan keseimbangannya, lalu jatuh ke lantai yang berubin batu pualam. Sementara jatuh, ia masih sempat melihat sesosok tubuh yang kekar bergerak, seperti hendak menyambar ke arahnya. Sosok itu berbaju zirah, dan mengayunkan pedang besar tepat ke arah kepalanya.

Sekali lagi Renjun menjerit, sambil cepat-cepat menggeser tubuh ke samping, Pedang panjang itu mengenai lantai disertai bunyi berdentang, tepat di mana Renjun tadi terkapar. Dan sosok tubuh berbaju zirah menyusul, ambruk ke lantai diiringi bunyi berisik kedengarannya seperti tong yang penuh berisi kaleng jatuh ke dalam jurang,

Sementara itu tali kamera sudah terlepas dari bahu Renjun. Karenanya Renjun tergelincir terus ke lantai yang licin, sampai akhirnya terhenti karena membentur dinding. Ia cepat-cepat berpaling. Menurut perkiraannya, orang berbaju zirah itu pasti mengejarnya. Tapi apa yang dilihatnya saat itu jauh lebih menyeramkan lagi.

Kepala orang yang berbaju zirah, jadi ketopongnya, copot dari leher, dan terguling-guling di lantai. Nyaris saja Renjun terpekik untuk ketiga kalinya. Tapi ia sempat memandang lebih jelas. Dengan segera dilihatnya, baju zirah itu ternyata kosong. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Dan topi ketopong itu terlepas ketika terbanting ke lantai lalu terguling-guling ke arahnya.

Renjun berdiri sambil mengibas-ngibaskan debu dari bajunya. Kameranya tergeletak di samping baju zirah, dan talinya masih tetap tersangkut ke situ. Itulah rupanya yang terasa seperti menariknya tadi, ketika Renjun bergerak mundur dan agak masuk ke relung.

Renjun memungut kamera lalu memotret Jisung yang sedang tertawa terpingkal-pingkal.

"Sekarang aku sudah membuat foto Hantu Tertawa dari Kastil Setan."

katanya. "Mudah-mudahan Doyoung hyung senang melihatnya."

"Sorry, Hyung," Jisung menyeka air matanya yang mengalir karena terlalu banyak tertawa. "Tapi kau tadi lucu sekali menyeret-nyeret baju zirah karatan itu sambil berteriak-teriak!"

Renjun memperhatikan baju zirah yang tergeletak di lantai. Pakaian perang jaman kuno itu tadinya tegak di atas semacam panggung kecil yang terdapat dalam relung. Dan kini tentunya berantakan di lantai, Baju zirah itu memang agak berkarat, tapi selebihnya masih dalam keadaan lumayan, Renjun memotretnya. Setelah itu dipotretnya pula lukisan bajak laut bermata satu yang terpanjang di dinding, serta lukisan-lukisan lainnya.

"Kalau kau sudah selesai tertawa." katanya pada Jisung, "ini ada pintu yang tidak kita lihat tadi, Dan ini ada tulisan" Renjun memicingkan mata, Supaya bisa membaca tulisan yang terukir pada pelat kuningan yang terpasang pada daun pintu itu. "Ruang proyeksi."

Jisung datang menghampiri

"Menurut cerita Appaku, jaman dulu bintang-bintang film yang top. semuanya punya ruang proyeksi sendiri di rumah mereka. Di situlah mereka mempertunjukkan film mereka yang terbaru pada para sahabat. Yuk, kita periksa kayak apa ruangan itu."

Renjun menarik tombol pintu. Dia harus mengerahkan tenaga, barulah pintu terbuka dengan pelan. Seolah-olah ada yang menahan dari balik pintu.

Begitu pintu terbuka, tercium bau udara pengap. Kedua remaja itu menatap sebuah ruangan yang gelap, segelap dalam perut buaya.

Pokoknya, sama-sama menyeramkan.

Jisung mengambil senter yang tergantung pada ikat pinggang, lalu menyorotkannya ke dalam ruangan itu: Ternyata yang bernama ruang proyeksi itu sebuah kamar yang luas, dengan sekitar seratus kursi beralas empuk di dalamnya. Di seberang ruangan nampak samar bentuk sebuah organel yang berukuran besar.

"Ruangan ini perlengkapannya persis sama kayak bioskop jaman dulu." kata Jisung, "Lihat saja orgel itu, ukurannya ada sepuluh kali lebih besar daripada orgel yang dibeli Taeil hyung. Yuk, kita memeriksanya sebentar,"

Renjun mencoba menyalakan senternya. Tapi tidak menyala. Rupanya rusak ketika ia terjatuh tadi. Untung saja senter yang dipegang Jisung terang sekali sinarnya.

Kedua remaja itu menghampiri orgel kuno yang terdapat di seberang ruangan. Keduanya sudah tidak gugup lagi. Semangat mereka sudah bangkit kembali, setelah mengalami kejadian Renjun bergulat melawan baju zirah,

Orgel kuno itu, yang pipa-pipanya menjulang tinggi sampai ke langit langit ruangan, nampak penuh debu serta jaring laba-laba. Renjun memotretnya sekali, untuk dipertunjukkan pada Doyoung.

Setelah itu mereka meneruskan pemeriksaan. Alas kursi yang nampaknya empuk, ternyata sudah lapuk semuanya. Kain yang robek robek tergantung di tempat yang dulunya merupakan layar putih.

Semakin lama Renjun dan Jisung berada dalam ruangan itu, hawa rasanya semakin pengap.

"Di sini tidak ada apa-apa," kata Jisung, "Sekarang kita periksa apa yang ada di atas,"

Mereka kembali ke Bilik Gema, lalu menaiki tangga yang melengkung ke atas pada satu sisi bilik itu. Setelah sampai setengah jalan, di tempat yang ada jendelanya yang berdebu, mereka berhenti untuk melihat sebentar ke luar. Mereka melihat bahwa dinding kastil letaknya bersebelahan dengan tebing curam.

"Masih cukup banyak waktu sebelum gelap," kata Renjun

"Kalau begitu, kita periksa lukisan-lukisan itu dengan lebih seksama," usul Jisung, "Kita tarik ke atas, lalu kita periksa kalau-kalau ada sesuatu yang aneh."

Sesampai di balkon, mereka melihat bahwa lukisan-lukisan itu semuanya tergantung pada sebuah papan yang terpasang di bawah balkon. Bersama-sama mereka menarik kawat penggantung lukisan bajak laut.

Bingkai lukisan itu berat. Tapi akhirnya mereka berhasil juga menariknya ke atas. Lalu mereka memeriksanya dengan bantuan sinar senter.

Lukisan itu sebenarnya biasa saja. Permukaannya agak mengkilat, karena lukisan itu dibuat dengan cat minyak. Menurut Renjun, mungkin kilatan cat itu yang menyebabkan Jisung mengira mata yang menatapnya hidup. Tapi Jisung masih agak sangsi.

"Aku sungguh-sungguh mendapat kesan bahwa mata yang menatapku itu hidup," katanya, "Tapi rupanya aku salah lihat. Sudahlah, kita kembalikan saja lukisan ini ke tempatnya semula."

Setelah lukisan diturunkan kembali, mereka melanjutkan langkah, menaiki tangga. Mereka bermaksud hendak mulai memeriksa dari tingkat paling atas, lalu pelan-pelan turun ke tingkat bawah.

Mereka mendaki tangga putar itu terus, sampai akhirnya tiba dalam sebuah menara kecil berbentuk bulat. Menara itu letaknya tinggi di puncak Kastil. Jendelanya kecil-kecil, persis kastil yang sebenarnya, Bedanya cuma bahwa jendela-jendela itu berkaca.

Renjun dan Jisung memandang ke bawah. Mereka berada di tempat yang lebih tinggi daripada sisi atas tebing ngarai, Di kejauhan nampak bukit berderet-deret, bukit di balik bukit sejauh mata memandang. Tiba-tiba Jisung berseru kaget.

"Lihat, ada antena televisi," katanya, Di atas tebing yang paling dekat dengan tempat mereka nampak tiang antena televisi, Rupanya dipasang di situ oleh seseorang yang tinggal dalam ngarai berikutnya, dan yang dari situ penerimaan pesawat televisinya kurang baik.

"Ternyata di dekat sini ada ngarai lagi," kata Jisung, "Rupanya tempat ini tidak begitu terpencil seperti sangkaan kita"

"Pegunungan sini banyak sekali ngarainya," kata Renjun, "Tapi coba kauperhatikan, tebingnya terjal sekali, Cuma kambing gunung saja yang bisa mendakinya sampai ke puncak Kalau manusia hendak ke ngarai seberang, terpaksa mengambil jalan memutar."

"Betul juga," kata Jisung. "Yah, di sini tidak ada apa-apa, Yuk, kita mulai turun saja sekarang, sambil memeriksa kalau-kalau ada sesuatu yang mungkin ingin diketahui oleh Doyoung,"

Di lantai berikut sebelah bawah mereka sampai di sebuah serambi. Di ujung serambi ada pintu terbuka. Jisung dan Renjun menjenguk sebentar ke dalam. Rupanya kamar di sebelah serambi itu ruang perpustakaan Suzana, di mana ia meninggalkan surat sebelum menjatuhkan diri dengan mobilnya ke bawah tebing. Soalnya, dalam kamar itu nampak buku-buku berjejer-jejer di atas rak. Sedang di salah satu dindingnya tergantung lukisan-lukisan yang sejenis dengan yang dipajang dalam Bilik Gema, tapi berukuran lebih kecil.

"Sebaiknya kita periksa tempat ini," kata Jisung. Mereka lantas masuk ke ruang perpustakaan itu, Lukisan-lukisan yang terpajang, semua menampakkan Suzana yang berpose menurut berbagai peranan filmnya. Setiap lukisan menunjukkan dirinya dalam wujud lain. Ada Suzana sebagai bajak laut, pembegal, jadi-jadian, mayat hidup, vampir penghisap darah, makhluk seram dari dasar laut. Melihat segala lukisan itu. Renjun lantas merasa ingin bisa melihat segala film itu.

"Ia dijuluki 'Orang dengan Sejuta wajah," katanya pada Jisung, sementara kedua remaja itu memperhatikan lukisan-lukisan itu satu per satu,

"Astaga coba lihat itu"

Mereka sampai di depan sebuah relung yang tidak dalam. Di situ terpajang peti mumi. Sebuah peti mayat asli Mesir, seperti yang ada di museum-museum, Peti itu tertutup, dan di atasnya terpasang sebuah pelat dari perak, Jisung menyorotkan senternya ke pelat itu. Dengan mata terpicing, Renjun membaca tulisan yang terukir di situ.

ISI PETI INI DIWARISKAN PEMILIKNYA, MR. MAICAL JACSON,

KEPADA ORANG YANG TELAH BEGITU SERING MENYAJIKAN HIBURAN MENARIK BAGINYA

-MS. SUZANA

-"Astaga!" kata Jisung, "Menurutmu, apa kira-kiranya isi peti ini?"

"Mungkin mumi," tebak Renjun, "Atau mungkin pula sesuatu yang berharga. Yuk, kita lihat sebentar."

Berdua mereka berusaha mengangkat tutup peti mumi itu, Tidak begitu mudah, karena tutup itu berat. Ketika sudah terangkat sampai separuh, tiba-tiba Jisung menjerit. Tutup peti itu dilepaskannya, sehingga terbanting dan menutup peti kembali.

"Hyung juga melihatnya tadi?" kata Jisung,

Renjun mereguk ludah dulu beberapa kali sebelum bisa menjawab.

"Ya, aku juga melihatnya, isinya kerangka manusia," katanya, "Kerangka putih bersih, dengan tengkorak yang menyeringai."

"Kurasa itulah yang diwariskan Maical jacson itu pada Suzana sebagai tanda terima kasih karena merasa sering terhibur dengan film-filmnya," kata Renjun. "Dia mewariskan kerangkanya sendiri! Kita buka saja lagi peti itu, supaya kubuat fotonya - untuk Doyoung hyung."

Renjun sebetulnya segan, Tapi Renjun mengingatkannya, kerangka kan cuma tulang-belulang yang tidak bisa apa-apa. Akhirnya peti itu mereka buka.

lagu. Renjun memotret kerangka dengan tengkorak yang meringis. la yakin, Doyoung pasti berminat.

Sementara Renjun sibuk memotret, Jisung menghampiri jendela. Begitu memandang ke luar, dia langsung berseru dengan nada kaget.

"Hyung! Kita perlu cepat-cepat sedikit!" katanya, "Di luar sudah mulai gelap."

Renjun memandang jarum arlojinya, "Tidak mungkin," katanya, "masih ada waktu satu jam lagi sebelum matahari terbenam."

"Mungkin matahari tidak tahu melihat jam - pokoknya sekarang sudah mulai gelap. Lihat saja sendiri."

Renjun menghampiri jendela, Benar juga, di luar mulai gelap. Matahari mulai menghilang di balik tebing ngarai. Tapi cahayanya masih kelihatan dari jendela, karena Terror Castle tinggi letaknya di lereng tebing.

"Aku lupa bahwa dalam ngarai cepat gelap," kata Renjun.

"Yuk, kita pergi sekarang hyung," kata Jisung. "Ini satu-satunya tempat di mana aku tidak kepingin berada setelah gelap."

Mereka bergegas ke serambi yang tadi. Sesampai di situ mereka memandang ke kiri dan ke kanan, ke gang yang menjulur ke dua arah di situ. Di kedua ujung gang nampak tangga. Mereka tidak ingat lagi.

tangga mana yang mereka pakai tadi. Akhirnya Renjun memilih tangga yang paling dekat saja.

Cahaya matahari sudah semakin remang-remang ketika mereka sampai di tingkat berikut yang sebelah bawah lagi, Mereka tidak bisa

menemukan tangga lagi di situ, yang menuju ke bawah, Setelah mencari cari, akhirnya mereka sampai di pangkal jenjang yang sempit. Jenjang itu letaknya di ujung serambi di belakang sebuah pintu,

"Kita tadi naik tidak lewat sini," kata Renjun, "Lebih baik kembali saja ke tempat semula."

"Ah, tangga ini kan juga menuju ke bawah," jawab Jisung, "Dan kita kan maunya ke bawah, selekas mungkin Ayolah, tunggu apa lagi?"

Mereka menginjakkan kaki ke anak tangga pertama. Tapi begitu daun pintu dilepaskan, pintu itu langsung tertutup kembali. Tempat jenjang itu kini gelap gulita,

"Sebaiknya kita cari saja tangga yang kita lewati tadi sewaktu naik." kata Renjun gelisah. "Tidak enak perasaanku di tempat gelap ini. Kau saja tidak bisa kulihat, padahal kau ada di dekatku."

"Perasaan hyung tidak enak Perasaanku juga tidak enak. Jadi cocok," kata Jisung. "Kau di mana, Hyung?"

Tangannya menggapai-gapai mencari Renjun. Akhirnya ketemu, "Oke, jangan sampai kita terpisah. Kita kembali ke atas sekarang, lalu kita buka lagi pintu tadi."

Keduanya merayap kembali ke atas, langkah demi langkah. Mereka tiba di belakang pintu. Tapi pintu itu tidak bisa dibuka.

"Rupanya dari dalam tidak bisa dibuka," kata Renjun. Dipaksanya dirinya agar tidak terdengar gugup. "Jadi mau tidak mau, kita harus turun lewat jenjang ini."

"Kita perlu lampu!" kata Jisung. "Jika kita bisa menemukan.. Aduh, aku ini bagaimana sih? Kan ada senter! Masih baru lagi "

"Kalau begitu cepatlah nyalakan," kata Renjun. "Kegelapan ini rasanya menyesakkan. Dan juga semakin bertambah pekat."

'Ternyata aku tidak punya senter." Suara Jisung terdengar agak bergetar. "Masih ingat, ketika kita tadi menutup kembali peti mumi? Rupanya senterku tertinggal di tempat itu."

"Hebat!" tukas Renjun. "Bagus! Sedang senter rusak, ketika aku tadi terjatuh karena baju zirah keparat itu!"

"Ah, mungkin tidak rusak - cuma agak longgar," kata Jisung, "Kadang kadang itu bisa terjadi hyung."

Diraihnya senter yang tergantung pada ikat pinggang Renjun.

Terdengar bunyi tangan Jisung menepuk-nepuk alat itu. Lama tidak terjadi apa-apa. Tapi kemudian senter itu bisa menyala juga. Tapi tidak terang, melainkan remang-remang saja,

"Hubungannya tidak baik," kata Jisung. "Terangnya sama seperti cahaya lilin. Ah, pokoknya tidak segelap tadi. Yuk, kita terus!"

Keduanya melanjutkan langkah menuruni jenjang sempit yang berputar putar. Renjun sama sekali tidak menyangka ia bisa berjalan begitu cepat, dengan kakinya yang belum sembuh betul.

Jisung berada di depan, menuruni jenjang dengan bantuan cahaya senter yang cuma remang-remang. Akhirnya mereka sampai di kaki tangga. Menurut dugaan mereka, pasti mereka sudah sampai di lantai dasar.

Senter disorotkan berkeliling. Dengan cahayanya yang lemah, mereka masih bisa mengenali bahwa saat itu mereka berada dalam sebuah bilik kecil berbentuk persegi empat. Dalam bilik itu terdapat dua buah pintu

Sementara mereka masih bimbang pintu mana yang dipilih, tiba-tiba Jisung menyambar lengan Renjun. "He! Hyung Kaudengar tidak?" katanya,

Renjun menajamkan pendengarannya. Didengarnya bunyi musik orgel. Samar-samar. Aneh bunyinya Ada orang yang sedang memainkan orgel tua yang terdapat dalam ruang proyeksi. Tiba-tiba Renjun merasakan kegelisahan luar biasa, yang diceritakan Doyoung.

"Bunyinya datang dari sana," bisik Jisung, sambil menuding salah satu pintu.

"Kalau begitu kita ke sana." Renjun menuding pintu yang satu lagi.

"Tidak! Ke sini," kata Jisung. "Karena lewat sini, kita akan sampai di ruang proyeksi. Dan kita tahu, pintu depan letaknya di luar ruangan itu. Kalau kita lewat pintu itu yang satu lagi, jangan-jangan nanti tersesat. Lebih baik merasa seram, daripada tidak bisa keluar."

Jisung membuka pintu yang dimaksudkan olehnya, lalu melangkah dengan tegas memasuki sebuah serambi gelap, sambil terus memegang tangan Renjun. Semakin jauh mereka melangkah, semakin nyaring pula bunyi musik orgel. Tapi walau begitu tetap terdengar seperti jauh sekali, diselingi bunyi geresek dan lengkingan. Persis musik hantu.

Renjun melangkah terus, karena Jisung tidak mau melepaskan tangannya.

Tapi semakin dekat mereka ke sumber bunyi musik, semakin gelisah saja perasaannya. Akhirnya Jisung mendorong sebuah pintu. Mereka sudah sampai di ruang proyeksi.

Mereka mengetahuinya, karena sinar senter yang redup menerangi punggung deretan kursi paling belakang. Jauh di depan, dekat orgel, nampak semacam cahaya pendar berwarna biru.

Cahaya itu tergantung kira-kira semeter dari lantai. Kelihatannya seperti gumpalan bercahaya. Sementara itu orgel terus terdengar dimainkan, disertai bunyi desah dan pekikan.

"Hantu Biru!" kata Renjun dengan suara tercekik

Tepat pada saat itu kegelisahannya yang semakin memuncak, beralih menjadi kengerian yang luar biasa, Persis seperti yang diharapkan Doyoung akan terjadi.

Jisung dan Renjun cepat-cepat lari menuju pintu. Jisung bergegas mendorongnya, dan mereka berdua sampai di Bilik Gema, Mereka tidak berhenti di situ, tapi langsung menuju ke pintu besar di depan yang masih terbuka seperti tadi. Sesampai di teras pun mereka tidak berhenti. Keduanya lari terus. Tapi kaki Renjun yang bekas patah agak terseret-seret. Tiba-tiba ia tersandung dan jatuh. Jisung lari begitu cepat, sehingga tidak tahu bahwa temannya tertinggal. Renjun terjungkal dan jatuh di atas setumpuk daun kering yang terdapat di sudut teras.

Remaja itu langsung menyusup masuk ke dalam tumpukan itu, seperti seekor tikus yang hendak menyelamatkan diri,

Dengan hati berdebar, ditunggunya Hantu Biru tadi datang mengejar. Ia tidak bisa mendengar apa-apa, karena dikalahkan napasnya yang tersengal-sengal. Ketika hal itu disadarinya, ia lantas menahan napas. Di tengah kesunyian yang tiba-tiba mencekam, didengarnya makhluk gaib itu mencari-cari dirinya. Terdengar bunyi langkahnya menggeleser di atas ubin teras, makin lama makin dekat. Napasnya tersentak-sentak, Menyeramkan!

Tiba-tiba bunyi langkah itu terhenti. Makhluk itu tegak tepat di depan Renjun bersembunyi. Lama sekali dia berdiri di situ, sementara napasnya masih tersengal-sengal. Tapi kemudian ia meraih bahu Renjun, Begitu Renjun merasa bahunya dipegang seketika itu juga terpekik. Suaranya melengking tinggi, membahana dalam ngarai dan terpantul pada lereng bukit terdekat.

*****

"

Lalu apa yang terjadi setelah Hantu Biru menyentuh bahumu, Jun?"

Pertanyaan itu diajukan oleh Doyoung. Saat itu Neo Culture Detektif sedang mengadakan rapat mereka yang pertama sejak tiga hari, dalam Markas Besar. Selama itu Jisung Sibuk melakukan promosi bersama NCT Dream tanpa Renjun. Sedangkan Renjun harus menyembuhkan cedranya dan sibuk sekali di perpustakaan, menyusun kembali daftar buku-buku. Kebetulan salah seorang pembantu lainnya sakit, jadi Renjun terpaksa bekerja terus sampai malam di Perpustakaan SM, Doyoung berbaring di tempat tidur, memberi kesempatan agar pergelangan kakinya betul-betul sembuh, Untuk melewatkan waktu, membaca buku. Dan setelah tiga hari, barulah mereka sempat berkumpul kembali dan berunding dengan tenang.

"Nah?" tanya Doyoung lagi. "Setelah itu, apa yang terjadi?"

"Maksud hyung, setelah aku menjerit?" Renjun kelihatannya akan segan membicarakan hal itu.

"Tepat. sesudah kau berteriak."

"Kenapa tidak tanya saja pada Jisung?" kata Renjun, mengelakkan pemberian jawaban. "Dia kan juga mengalaminya,"

"Baiklah! Kau saja yang menceritakan apa yang terjadi, Jisung."

Jisung kelihatan agak malu-malu. Tapi ia menjawab juga.

"Aku jatuh," katanya, "Renjun hyung menjerit begitu keras ketika aku menjamah bahunya, sampai aku kaget dan menimpanya. Renjun hyung meronta-ronta sambil menjerit-jerit. Ia berteriak, 'Lepaskan aku, Hantu Ayo, kembali ke tempatmu di dalam kalau tidak ingin menyesal nanti.' Lenganku sampai sakit rasanya karena berusaha menahannya! Akhirnya aku berhasil juga menyadarkan bahwa akulah yang datang kembali untuk melihat apa yang terjadi dengan Renjun hyung."

"Renjun hyung, biar anaknya kecil, tapi berhati Singa," kata Doyoung. Dia berkata lagi pada Jisung, "Jadi setelah kau sadar bahwa dia tidak ada lagi di sampingmu, kau lantas kembali untuk mencari. Sedang dia mendengar nafas yang tersengal-sengal, mengira kau Hantu Biru ketika kau membungkuk menjamahnya. Betul begitu?"

Renjun mengangguk, tanpa mengatakan apa-apa. Ia merasa agak konyol ketika itu, setelah akhirnya menyadari bahwa yang datang itu Jisung.

Selama beberapa saat Renjun benar-benar menyangka sedang bergulat melawan Hantu Biru, Doyoung menekan-nekan bibir bawahnya. Ia kelihatannya puas.

"Lalu setelah kalian tidak bergulat lagi, kalian menyadari sesuatu." katanya, "Kalian kan menyadari bahwa rasa nyeri yang luar biasa itu tahu-tahu sudah lenyap?"

Jisung dan Renjun saling berpandang-pandangan. Dari mana lagi Doyoung mengetahuinya? Padahal mereka sendiri tadi sudah berniat untuk menyimpan informasi itu sampai saat terakhir.

"Betul," kata Jisung, "Perasaan itu tahu-tahu lenyap."

"Jadi hanya terasa dalam batas-batas dinding Terror Castle," kata Doyoung, "Itu penemuan penting."

"Penting?" tanya Renjun tidak mengerti

"Aku yakin," kata Doyoung, "Kurasa foto-foto sudah siap untuk diteliti sekarang, ToIong ambilkan dari kamar gelap, Jisung, sementara lubang hawa kututup, Taeil hyung berisik sekali di luar!"

Taeil memang berisik sekali. Akhirnya ia berhasil memasang bagian-bagian orgel yang dibelinya, ketika Doyoung masih terbaring di tempat tidur, ia menyibukkan diri dengan membaca buku tentang orgel, yang dipinjam dari perpustakaan. Karenanya ia bisa membantu Taeil dengan saran-saran mengenai pemasangan alat musik itu. Dan kini pamannya itu sedang menguji coba orgel yang telah dipasang. Ia memainkan sebuah lagu pelaut yang sangat disenangi Mark dan Jungwo

Nada-nada yang paling rendah dimainkannya dengan hembusan angin sebanyak mungkin, disertai nada-nada iringan yang bergetar.

Lubang hawa di atas Markas Besar dibiarkan terbuka oleh ketiga remaja yang sedang berembuk. Jadi bunyi musik terdengar jelas sekali di dalam ruangan itu. Pada saat Taeil memainkan nada-nada rendah, segala benda yang ada di dalam ikut bergetar Renjun sampai merasa seakan-akan musik itu hendak menjunjungnya ke atas.

Sementara Doyoung menutup lubang hawa, Jisung sudah kembali dari kamar gelap. Ia membawa foto-foto yang di ambil oleh Renjun di kastil Setan.

Foto-foto itu masih belum kering benar, tapi sudah bisa dilihat

Doyoung meneliti foto-foto itu dengan bantuan kaca pembesar. Setelah itu diteruskannya pada Renjun dan Jisung. Dia paling lama meneliti foto-foto yang diambil dalam ruangan perpustakaan Suzana, begitu pula baju zirah yang menguber Renjun.

"Bagus sekali, Jun," katanya kemudian. "Dengan satu kekecualian. Kau tidak membuat foto Hantu Biru, yang sedang memainkan orgel kuno itu,"

"Maksud Hyung, Hyung mengharapkan aku menghampiri gumpalan cahaya biru itu, yang sedang memainkan orgel yang sebetulnya sudah rusak?" tukas Renjun.

"Siapa pun juga, takkan sempat berhenti sebentar untuk memotret." sela Jisung, "Saat itu Suasana di situ penuh kengerian, Kurasa kau pun takkan mampu, Hyung."

"Ya, kurasa betul juga katamu," kata Doyoung. "Memang sulit bertindak tenang jika hati tercengkam rasa takut. Tapi walau begitu, jika kita punya fotonya, akan jauh lebih gampang bagi kita untuk memecahkan misteri itu"

Jisung dan Renjun diam saja. Mereka menunggu, Doyoung selama tiga hari itu banyak waktunya untuk berpikir-pikir. Dan kelihatannya banyak hal yang dipikirkannya, yang belum diceritakan

"Begini," kata Doyoung menjelaskan, "pengalaman kalian di sana itu dalam satu hal lain dari biasanya. Hantu Biru kastil Setan muncul ketika hari masih siang."

"Tapi di dalam sudah gelap," kata Jisung. "Liang tambang batubara pun masih kalah gelap."

"Walau begitu, di luar matahari masih bersinar. Selama ini belum pernah ada laporan tentang hantu itu muncul sebelum malam. Yah, kita periksa saja apa yang bisa disimpulkan dari foto-foto lainnya."

Dipungutnya foto salah satu baju zirah.

"Pakaian perang kuno ini kelihatannya masih baik," katanya. "Belum begitu berkarat."

"Ya, karatnya cuma di sana-sini saja," kata Renjun.

"Lalu buku-buku di perpustakaan ini juga tidak terlalu berdebu."

"Ada juga debu di situ, tapi tidak terlalu tebal," kata Jisung.

"Hmm." Doyoung kini mengamat-amati kerangka manusia yang terbaring dalam peti mumi

"Kerangka ini! Warisan yang lain sekali dari kelaziman,"

Saat ini seluruh ruangan terasa bergetar keras, Sepotong besi yang tersandar di dinding luar bergeser dan memukul-mukul sisinya. Ketiga remaja itu merasa seolah-olah terangkat ke atas dengan tiba-tiba.

Penyebabnya? Hembusan organel yang sedang dimainkan oleh Taeil, yang rupanya menghembuskan udara sebanyak-banyaknya ke dalam pipa bunyi.

"Wow! Kusangko ada gempa!" kata Jisung kaget.

"Taeil hyung kalau main orgel tidak setengah-setengah," kata Doyoung, "Kalau begini terus, percuma saja kita melanjutkan rapat ini. Tapi sebelum bubar, ini ada sesuatu untuk kalian."

Doyoung mengambil dua batang kapur panjang, lalu menyerahkannya masing-masing satu pada Renjun dan Jisung. Kapur itu sama seperti yang biasa dipakai di sekolah, Hanya warna yang diserahkan pada Jisung biru, sedang yang diterima Renjun berwarna hijau.

"Ini untuk apa?" tanya Jisung.

"Untuk menandai jejak dengan lambang Neo Culture Detektif." Doyoung mengambil sepotong kapur putih, lalu membuat tanda tanya yang besar di dinding.

"Tanda ini berarti salah seorang anggota  Detektif pernah lewat di sini," katanya. "Dari warnanya yang putih bisa diketahui bahwa yang membuatnya Penyelidik Pertama. Tanda tanya berwarna biru berarti yang membuatnya kau, Jisung. Jadi Penyelidik Kedua. Sedang hijau berarti kau, Renjun. Coba ide ini sudah kuperoleh lebih dulu, kalian takkan tersesat dalam Terror Castle, Soalnya, dengan tanda ini kalian bisa menandai jalan yang dilewati sehingga sewaktu kembali tinggal menyusurnya saja ke tempat awal."

"Wah! Betul juga," kata Jisung.

"Perhatikan saja kesederhanaannya," kata Doyoung lebih lanjut, "Tanda tanya kan merupakan tanda yang paling tidak aneh. Kalau ada orang melihat tanda tanya dibuat dengan kapur di dinding atau ambang pintu, pasti dikira yang membuatnya anak-anak yang lupa menghapusnya sehabis bermain-main. Tapi bagi kita, tanda tanya merupakan pesan yang berarti. Kita bisa memakainya untuk menandai jalan yang dilewati, begitu pula tanda persembunyian, atau menandai tempat tinggal orang yang dicurigai. Mulai saat ini, kalian harus selalu membawa kapur khusus ini."

Renjun dan Jisung berjanji tidak akan pernah melupakannya. Setelah itu Doyoung mengemukakan pokok persoalan utama,

"Aku sudah menelepon kantor Mr. Bong Joon Ho," katanya, "Kata Jesica, besok pagi Mr. Joon Ho akan mengadakan rapat dengan stafnya, guna memutuskan apakah mereka akan ke Inggris atau tidak. untuk membuat filmnya di lokasi rumah berhantu di sana. Itu berarti,

besok pagi laporan kita sudah harus masuk. Dan itu berarti pula bahwa"

"Tidak! Aku tidak maul" teriak Jisung. "Bagiku, Terror Castle sudah pasti ada hantunya. Tidak perlu dibuktikan lagi!"

"Ketika aku masih terbaring di tempat tidur, aku menarik beberapa kesimpulan yang masih perlu diuji kebenarannya," kata Doyoung, tanpa mengacuhkan protes temannya, "Dan kita harus bertindak cepat, supaya tidak terlambat menyampaikan laporan pada Mr. Bong Joon Ho. Karena itu kalian harus minta ijin pada Menejer hyung dan Taeyong hyung atau Taeil hyung, agar diperbolehkan keluar sampai larut malam ini. Malam ini kita melakukan gebrakan terakhir untuk menyibakkan rahasia Kastil Setan."

To Be Continue