"Maaf," lirih Iqbal menjelaskan pada Salsha pada tahap lembut dan memahami tidak terlalu banyak masalah.
"Gue baru aja akan menjawab pertanyaan lo waktu itu," ucap Salsha merasa jantungnya sedikit terpompa terlalu jauh dan keterlaluan. "Why?"
"Mungkin memang antara lo dan gue sangat berbeda jauh dengan takdir dan kebersamaan. Maafkan gue, gue gagal memperjuangkan lo sampai mati kan?" Salsha menggelengkan kepalanya tega sekali tidak ingin mendengarkan.
"Gue menyesal sekarang," ucap Salsha dengan menundukan kepalanya. "Why? Kenapa begitu jangan menyesali sesuatu dengan cepat-cepat seperri ini. Jangan mempermudahnya seperti itu, jangan ya?" ucap Iqbal memberi pengertian pada Salsha agar paham.
"Gue mencintai lo, sampai sekarang. Jangan merasa menyesal mencintai gue," sambung Iqbal mengatakan yang serius pada Salsha namun Salsha menghela nafasnya berat.
"Maafkan gue ya?" minta Salsha pada Iqbal dengan serius, bahkan dia mengatakan banyak hal tanpa mengatakan banuak hal lagi. Dia seperti gagal dan terlambat, tidak ada lagi yang bisa dia katakan lagi selain ini.
"Jangan," Iqbal menangkup kepala dan wajah Salsha dengan kedua tangannya yang lembut. "Percayalah," ucap Iqbal dengan wajah sangat serius tanpa mengatakan banyak menekanan. "Hey," cegah Iqbal saat Salsha justru menangis melihat wajahnya.
"Jangan menangis," peluk Iqbal dengan menarik lembut tubuh kecil Salsha masuk dalam rengkuhannya. "Gue akan berusaha melakukan apapun untuk masa depan gue. Apapun yang terjadi, gue akan terus menunggu lo mendatangi gue,"
"Dan mungkin, waktu terasa lelah melihat gue yang keterlaluan menunggu dan mengejar lo. Jadi," Salsha menggelengkan kepalanya sama sekali tidak mengatakan hal lain.
"Bukankah mama papa lo Amerika juga? Dan kakak lo? Susul gue saat kelulusan lo, gue menunggunya," Salsha menghela nafasnya berat, dia seperti kehilangan nafsunya dan perasaan jika seperti ini.
"Jangan tinggal sendiri, Kak Arta selalu mengatakan itu ke lo kan? Jangan berusaha menjadi mandiri kalau sebenarnya lo anak bungsu yang mrmang perlu dimanjakan," Salsha melirik Iqbal yang berusha menasihatinya dengan perasaannya. "Gue merindukan nenek gue," celetuk Salsha membuat Iqbal terkekeh mendengarnya.
"Lo tinggal di sini, menemani nenek lo, dan menemani kematiannya. Bukankah itu sudah lebih dari cukup?" Salsha terdiam tidak banyak bicara lagi saat Iqbal kembali mengingatkannya.
"Mama papa lo butuh lo, gue yakin itu," Salsha menganggukan kepalanya pelan. "Ya,"
"Gue akan pulang nanti," balas Salsha memperjelas jika dia pasti akan datang ke Amerika apapun yang terjadi. Iqbal tersenyum mendengarnya. "Terimakasih," ucap Iqbal berterimakasih pada Salsha karena sudah memberikan respon baik untuknya.
"Maaf gue terlihat membuang waktu lo sia-sia," Iqbal terkekeh saat Salsha mengatakan hal seperti ini. "Menjijikan gue mengatakannya sekarang,"
"Tapi, lo memang satu-satunya orang yang berhasil merubah diri gue yang sebenarnya menjadi berani dan mulai terbuka,"
"Apapun yang terjadi, yang gue alami, dan yang akan gue dapatkan di masa mendatang. Gue akan terus mengingat semua ajaran lo, dari mulai gue harus lebih terbuka, tidak pendiam, mengatakan ketidaksukaan dengan cepat dan langsung dan yang lainnya. Semunya, terimakasih telah hadir di hidup gue Bal," Iqbal menganggukan kepalanya pelan.
Iqbal hampir menangis mendengarnya. Kenapa?
Karena dulu, Iqbal yang terlihat sangat diremehkan oleh Salsha, dijauhkan dan masih banyak lagi ini seperti terkesan seperti lebih manusiawi.
Iqbal mendapat umpan baik serapi ini, walaupun dia mempermainkan permainannya lalu gagal dia mendapatkan pelajaran dari itu.
"Boleh gue mencium lo? Hanya satu kali, sebagai ciuman perpisahan," tanya Iqbal yang membuat Salsha sedikit tersenyum mendengarnya.
Salsha hanya mengangguk sebagai jawaban.
•••
Lama, lelah, terlalu menguras tenaga, menguras pikirannya, bagaimana dia berbicara dan bagaimana dia melakukan banyak hal untuk memikirkan ucapan dan kata apa yang akan dia katakan pada Tania tanpa mengatakan yang membuatnya sakit hati.
Aldi masuk pada mobilnya, menggunakam sabuk mengamannya tanpa mengatakan banyak hal lain dari itu.
Dan ya. Aldi nerasa sedikit menyesal sekarang, sedikit sekali. Walaupun sebenarnya dia tidak melakukannya dalam kesadaran, dia benar-benar melakukannya dalam keadaan mabuk dan merasa sangat menyesal.
Aldi menghela nafasnya berat, mengacak-acak rambut dan wajahnya. Mengingatnya saja Aldi gagal kenapa dia bisa melakukan hal seperti itu.
"Maaf, apapun yang terjadi maaf Tan. Gue enggak akan meminta lo untuk menikah dengan gue dan ya, gue juga hanya akan membawa lo tepat dihadapan papa gue aja. Dan ya, gue enggak akan melakukan hal lain selain meminta maaf," Aldi menggelengkan kepalanya tidak serius dan kembali terdiam.
"Jadi,"
"Aish," umpat Aldi setelahnya. Apa dia sudah terlihat seperti iblis sekarang? Menjadi sangat tidak beradab dan berperi kemanusiaan?
Memperkosa Tania, tidak ingin bertanggung jawab dan dia tidan ingin menikah dengannya. Yang lebih serius dari itu adalah, Aldi benar-benar tidak ingin menikah diusia muda.
Dan Aldi juga sangat paham bagaimana dia menjadi sangat paham keadaan dan situasi seperti ini jika Tania tidak akan hamil sperma darinya.
"Bukankah ini bukan masalah besar sama sekali?" Aldi terkekeh setelah mengatakannya, dan otak isi kepalanya sama sekali tidak memiliki hal yang serius selaim itu Salsha.
Sampai. Limabelas menit membuatnya kehilangan waktu dan bensin yang dia pakai untuk pergi ke rumah Tania. Jujur Aldi sangat merasa keberatan sekarang, lain dengan dulu.
Saat bagaimana Tania rela menemaninya membeli kado ulang tahun untuk Salsha dan Tania menemaninya sampai pagi yang jelas-jelas besok keduanya bersekolah.
Tapi sekarang?
Aldi sangat keberatan untuk datang menemui Tania. Hubunganmya hampir selesai saat itu dengan Salsha walaupun sebenarnya mereka sudah selesai dendamnya terhadap Tania masih sama dan selalu ada sampai sekarang. Kalau boleh Aldi jujur, itulah yang sedang Aldi rasakan untuk Tania, selingkuhannya.
Aldi keluar, dia membunyikan klakson mobilnya meminta dibukakan oleh Tania, tidak keluar sama sekali. Aldi memarkirkan mobilnya berantakan didepan gerbang untuk masuk dan membukanya. Namun.
"Ada yang bisa saya bantu nak?" tanya supir yang mungkin sudah Tania jelaskan sejak dulu dia pindah dan dia baru saja melihatnya sekarang. Bukankah Aldi memang sudah dibutuhkan dengan jelas lagi oleh Tania?
"Tania, dimana dia?" tanya Aldi yang menanyakan keberadaan Tania pada satpam sekaligus supir Tania yang sama sekali belum ingin membukakan gerbangnya.
"Dia pergi, siapa anda?" Aldi menghela nafasnya berat, dia membasahi bibirnya sendiri tanpa mengatakan banyak hal yang bertele-tele.
"Siapa," tanya supir tadi menanyakan siapa Aldi bagi anak majikannya, Aldi terkekeh sedikit. "Teman sekolahnya, bisa saya bertemu?" Supir tadi mengelengkan kepalanya cepat.
"Sebenarnya bisa," jawab supir itu yang berlawanan dengan respon tubuhnya. "Tapi nona Tania tidak sedang di rumah, dia pergi tadi siang. Dan belum pulang sejak tadi, dua jam yang lalu nona Kania juga pergi dari rumah ini," jelas supir itu membuat Aldi menaikan satu alisnya pelan penuh curiga.
"Kapan dia pulang?" Supir itu menggelengkan kepalanya pelan tidak bisa menjawabnya.
"Saya belum tahu," jawabnya membuat Aldi menghela nafasnya pelan. "Bisa kabari saya jika dia sudah pulang?" Supir itu menganggukan kepalanya pelan.
"Siapa nama anda? Akan saya hubungi lagi nanti, dan ya. Saya mendapat pesan jika saya tidak bisa memasukan teman nona yang bernama Aldi, dia sangat bajingan,"
Aldi canggung, dia tidak bisa mengatakan apapun sama sekali.
Jadi dia gagal sekarang?