"Lo benar-benar pergi? Apa lo enggak keterlaluan karena ini? Apa lo enggak berlebihan?" tanya Kania kesekian kalinya untuk meyakinkan kakaknya jika pergi bukanlah jalan terbaik keluar dari maslaahnya seperti ini.
Dan ya, bukankah Kania menjadi seolah-olah dia bijak untuk kakaknya padahal dia gagal menjaga dan membuat hubungannya baik-baik saja dengan Iqbal saat itu.
Tania menggelengkan kepalanya pelan. Bukan masalah yang serius dan cepat. Dan ya, bukan masalah besar untuk Tania sama sekali saat Kania berusaha mengingatkan dirinya yang bahkan Kania gagal untuk dirinya sendiri.
"Diamlah," tegur Tania menolak ucapan adiknya yang melarangnya pergi dan menjauh dari segalanya. "Why?"
"Gue gagal, gue melakukan apa yang membuat gue merasa dirugikan, gue bodoh, gue tolol, dan gue segalanya. Dan ya, maaf omong kosong lo bahkan enggak masuk ke kepala gue sama sekali, diamlah," ucap Tania mendorong kakaknya untuk keluar dari rumahnya dan jangan menghalangi jalannya sendiri saat dia akan pulang.
"Kak, pikirkan baik-baik," tegur Kania yang merasa itu bukan hanya masalah besar melainkan besar sekali.
"Apa lo enggak mengharapkan Aldi lagi?" Tania menggelengkan kepalanya pelan. "Gue lelah, gue merasa tersakiti dan mengorbankan segalanya buat dia dan gue enggak mendapatkan apapun,"
"Lebih baik gue pergi kan?" tanya Tania membuat adiknya terdiam.
"Pergi, menjauh bukan melarikan diri, melainkan mengobati rasa sakit dengan cara gue sendiri. Cara gue berbeda, bukan kekanak-kanakan jadi jangan sok menasihati gue," lawan Tania lagi.
"Gue hanya mengatakan kalau lo akan menyesal nanti," Tania tertawa mendengar Kania begitu banyak berbicara padanya untuk menasihati, sayangnya. Dia benar-benar mempan dan berpengaruh untuk seorang Tania yang sangat keras kepala.
"Maaf?" tanya Tania sebelum Kania kembali melebih-lebihkan. "Kan, bukan masalah gue akan menyesal atau enggak semua orang pasti akan menyesal merusak hubungan orang lain. Dan gue contohnya, dan lagi,"
"Mungkin gue memang salah karena begitu aja mau membantu Iqbal dan gue egois sendiri dengan tujuan gue. Ini bukan salah Iqbal melainkan gue sendiri yang termakan permainan gue sendiri,"
"Menyesal adalah hal biasa, jadi saat lo takut mengambil keputusan karena menyesal. Lo adalah satu dari sekian banyak orang pengecut," Kania memutar bola matanya malas.
Kania melirik kakaknya yang berusaha membijakinya dengan pendapatnya. "Dimana dady dan momy? Lo akan pergi tanpa pengawasanan mereka dan pamit ke mereka?" Tania melirik adiknya dengan tajam.
"Lo pikir gue harus selalu mendapat perlindungan dari mereka dan yang lainnya? Gue bisa pergi dan menjauh enggak cuma dari mereka melainkan dari lo juga,"
"Gue enggak butuh lo untuk membantu gue, enggak seperti gue yang membantu lo. Jadi lo tenang aja, gue bisa jaga diri gue sendiri," ucap Tania meyakinkan dirinya sendiri, Kania yang mendengarnya hanya bisa tertawa kecil sedikit terkekeh.
"Oh ya?" tanya Kania seakan-akan meremehkan kakaknya sendiri. "Lo terlalu manja untuk bisa kabur dari rumah, dan gue sangat yakin hanya dua hari aja lo akan pulang lagi. Gue bisa menjaminnya," sambung Kania membuat kakaknya terpancing, dia marah sangat.
"Gue pikir lo tulus ke gue Kan, dan ya. Gue menyayangi lo sangat tulus. Dari lo yang lelah hidup, selalu dimarahi sama momy dady, gue memberi semua tabungan untuk menghidupi lo di sana justru seperti ini balasan lo ke gue?" Kania memutar bola matanya malas.
"Lelucon," sahut Kania tidak berterimakasih sedikitpun. "Semua yang lo lakukan juga karena kasihan?"
"Lo memberi gue segalanya karena belas kasihan lo, bukan kasih sayang seorang kakak ke adiknya. Gue peka soal itu,"
°°°
"Apa gue harus memintanya Tuan Pengecut?" tanya Kania pada Iqbal yang masih diam saja walaupun keduanya sedang dalam perjalanan menuju Amerika untuk segera dipindahkan dan memulai harinya yang baru dimana mereka termasuk siswa siswi terpilih yang berhasil lulus sebelum teman-teman mereka menginjakkan kakinya sebagai pelajar juga di sana.
"Apa lo sangat-sangat menginginkan hal menjijikan ini?" tanya Iqbal diluar dugaan Kania yang sangat mengharapkan hubungan ini sangat manis dan baik-baik saja. Melihat Iqbal yang sangat membencinya, bukankah baik Kania atau Tania.
Keduanya memiliki nasib yang buruk?
"Iya, sangat. Gue sangat-sangat menginginkannya," jawab Kania tanpa memiliki wjaah sedikitpun itu tidak megerti soal seperti ini.
"Apa lo sangat sejalang ini Kan? Jangan, apa lo benar-benar mengemis perasaan seperti ini? Perasaan gue masih sama, tanpa mengatakan banyak hal lain dan ya. Bukankah lo berpikir jelas? Gue membenci lo dan mencintai Salsha," jelas Iqbal mengatakan pada Kania yang melihatnya hanya memutar bola matanya malas.
"Ada cinta dan yang hubungan harus dipaksakan akan terbentuk sebuah cinta, dan apa lo berpikir sesuatu yang keras tidak bisa berlubang?" tanya Kania bertanya pada Iqbal yang tersenyum miring mendengarnya.
"Apa lo lupa? Selain gue batu, gue bisa menjadi air. Tapi perasaan, kenangan, rasa sakit, trauma dan hubungan gue. Semuanya benar-benar membuat gue marasa jika. Gue hanya harus menjdi laki-laki sejati," Kania terkekeh mendengarnya, tidak banyak bucara tapi tersenyum mendapatkan banyak hangat walaupun belum jelas dia mendapatkan ketulusan Iqbal tidak sama sekali atau iya.
"Ayo berpacaran, dari awal. Lupakan masalalu lo dan gue, dan anggap gue hanya Iqbal yang sekarang," ucap Iqbal membuat Kania tersenyum lebar mendengarnya. "Terimakasih," ucap Kania setelah senang mendengarnya.
"Usaha dan kerja keras gue enggak sia-sia ternyata, dan ya,"
"Terimakasih atas ajakkan ini, gue menerimanya. Dan ayo, berpacaran ulang," Iqbal terkekeh mendengar bagaimana Kania sangat bersemangat dengan ini.
Tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluar untuk pulang. Jika orang itu tersesat, bukan tidak ada jalan pulang. Melainkan dia yang terlalu naif pada dirinya sendiri.
"Lo sangat menantikan hal seperti ini ternyata," sahut Iqbal membuat Kania menaikan satu alisnya baik. "Iya,"
"Sangat, dan gue juga menantikan ini sangat lama. Mengharapkan hal baik dari lo, dan gue juga ingin memperbaiki apa yang sudah rusak oleh gue. Maaf ya?" minta Kania serius pada Iqbal membuatnya tertawa datar mendengarnya.
"Oh!" jawab Iqbal pelan dan tidak banyak bicara lagi sama sekali. "Gue senang lo ingin memperbaikinya, dan soal hubungan ini. Jangan terlalu berharap, gue masih mencintai Salsha, sampai selamanya maybe?" Kania menganggukan kepalanya pelan, serius berbicara dan mendengarkan.
"Gue siap sekali mengubahnya, tenang saja. Gue akan melakukan sebisa gue," jawab Kania dengan keyakinan tegas dirinya sendiri menjawabnya dengan serius agar Iqbal berhasil melupakan Salsha dan perasaannya.
"Silahkan," jawan Iqbal tanpa bicara. "Dan, saat lo gagal. Jangan memaksanya," sambungnya membuat Kania terdiam tidak banyak bicara namun sedikit berpikir terlalu jauh.
"Tidur, lima jam lagi kita akan sampai," ucap Iqbal menyuruh Kania untuk diam dan mulai tidak banyak bicara, memilih diam. "Apa lo enggak akan berbicara ke gue sebagai pacar baru lo?"
Iqbal menghela nafasnya berat. "Mimpi indah--"
"Sayang,"