Happy Reading and Enjoy~
Ketika Allard kembali, pria itu membawa nampan beserta berbagai macam makanan lezat. Aromanya membuat perut Luna semakin sakit dengan rasa lapar yang menyengat. Jika orang lain sakit dan tidak berselera untuk makan, berbeda halnya dengan Luna yang nafsu makannya tidak menurun.
Mulutnya terasa berair bahkan sebelum ia menyentuh makanan yang dibawa Allard. Lelaki itu meletakkan nampan yang dibawanya tepat dihadapan Luna, ia menatap kehadiran Allard tanpa berkedip hingga lelaki itu duduk di pinggir ranjang. Saat melihat apa-apa saja yang tersaji, tubuhnya melemas.
Tatapannya menajam seolah-olah Allard sudah gila, sementara Allard yang mendapat tatapan seperti itu hanya bisa menaikkan alisnya sebelah, dengan santai lelaki itu berujar. "Apa yang kau tunggu? Makanlah, bukankah perutmu sudah berbunyi sejak tadi."
Mengabaikan kalimat Allard yang membuatnya malu, telunjuknya terjulur ke arah makanan yang berada di nampan. "Aku tidak sakit parah, kau tidak perlu membawakanku makanan dengan menu sayuran, sup, oh bahkan bubur itu!"
"Tidak sakit?" Tanya pria itu meremehkan. "Apa perlu aku menggendongmu lalu mendudukkanmu di depan meja rias?"
"Tubuhku yang sakit bukan diriku, dan selera makanku cukup baik sehingga kau tidak perlu memberiku makanan orang sakit seperti itu."
Kening Allard berkerut, pertanda bahwa pria itu tidak menyukai cara Luna menolak makanan yang dibawanya. "Aku sudah berbaik hati mengambilkanmu makan, dan sekarang kau bersikap manja dengan menolak kebaikanku?"
Ia mencengkram dagu Luna. "Kau tau aku tidak sebaik itu. Diam dan makanlah!"
Luna tidak menyukainya, ia membenci pria ini dengan seluruh hatinya. Di dorong dengan frustrasi yang menyiksa ia berteriak. "Sudah kubilang tidak mau! Aku tidak selera dengan seluruh sayuran, sup, bubur dan buah yang kau bawakan!"
"Jangan memancing amarahku, wanita." Allard menggeram diantara kedua giginya yang merapat.
Luna melirik pisau buah dan garpu yang berada di atas nampan, mewanti-wanti benda tajam mana yang akan diambilnya terlebih dahulu. Allard sendiri paham ke arah mana tatapan Luna tertuju. Sehingga ketika Luna memutuskan mengambil garpu dan melayangkan ke arahnya, Allard langsung menghentikan gerakannya.
Lelaki itu mencengkram pergelangan tangan Luna dengan erat, matanya menyala tajam. "Aku tidak tau kau sekarang senang membunuh, jika kau memang merasa lebih baik dengan membunuh orang, maka aku dengan senang hati memberi manusia yang pantas mati untuk kau bunuh."
"Hanya kau yang ingin kubunuh, kucincang, lalu daging-dagingmu kuberi pada anjing yang kelaparan," katanya sembari menghentakkan pergelangan tangannya.
Luna membungkus tubuhnya semakin rapat dengan selimut tebal, mengabaikan rasa perih yang menyelimuti. Dengan keras kepala menjejakkan kedua kakinya ke lantai, ingin memasak sendiri untuk mengisi perutnya yang kelaparan.
Sama halnya seperti tadi, kedua kakinya masih belum bisa menopang bobot tubuhnya. Luna terkulai lemas, tubuhnya seperti daging tanpa tulang. Ia mendengar Allard mendengus kasar. "Wanita tanpa otak."
Allard menggendong tubuhnya di bahu pria itu, ia mencoba memberontak sebisanya, tapi tetap saja pukulan dan rontaannya sepelan bayi. Tidak memberi pengaruh apapun bagi Allard yang kekar. Lelaki itu membawanya ke dapurnya yang mewah, mendudukkan Luna di bangku tinggi yang berada di sana.
Allard menekan bel yang berada dekat dengan meja tempat Luna duduk, jika tidak salah itu adalah bel untuk memanggil pelayan. Pelayan Allard sendiri berada di sebelah kastilnya, mereka tinggal di dalam satu rumah, jika siang hingga sore para pelayan itu ke kastilnya. Namun, jika malam tiba mereka kembali ke rumah yang sudah disediakan untuk beristirahat.
Kedua mata Luna membesar ketika satu pikiran terlintas dibenaknya, ia menatap Allard dengan pandangan tak percaya. Karena tidak ada siapapun di sini maka sudah bisa dipastikan bahwa hari sudah malam, bukan lagi pagi maupun siang, tapi mengapa lelaki itu memanggil pelayan? Terlebih saat ini Luna hanya mengenakan selimut untuk menutupi tubuhnya yang penuh memar.
"Apa yang kau lakukan!?" Tanpa sadar ia memekik. Lelaki itu malah terlihat tenang, bibirnya terangkat sedikit untuk memberikan senyuman miring yang sinis.
"Apa yang kulakukan? Tentu saja memanggil pelayan agar bisa membuatkanmu makanan yang kau inginkan. Bukankah kau menolak makanan yang tadi kubawa?"
Luna menipiskan bibirnya. "Tapi aku tidak ingin kau memanggil pelayanmu, ini sudah …" Ia mengedarkan matanya ke sepenjuru ruangan, melihat jam dinding besar yang menempel kokoh di tengah-tengah ruangan.
Matanya kian melebar ketika melihat angka yang tertera, ini sudah jam 2 malam. Apa lelaki itu sudah gila memanggil pelayannya di jam tidur seperti ini? Ia hampir saja melupakan fakta bahwa Allard memang manusia tanpa hati.
Mencoba peruntungannya dengan mencoba kembali melangkah, Luna berpegangan pada kursi yang didudukinya. Ingin melompat turun dari kursi berukuran tinggi itu, tapi ia ragu sebab yakin tidak akan bisa berajalan.
Melihat Luna yang bergerak gelisah dan mencoba untuk pergi, Allard berjalan menghampirinya. "Apa yang kau lakukan? Bukankah kau sendiri yang memintanya? Tunggu saja disini, mereka sebentar lagi datang dan, apa kau sudah kelaparan dan tidak bisa menahannya lagi?"
"Bukan!" Luna meninggikan suaranya. "Kau benar-benar tidak memiliki hati! Aku ingin memasak sendiri, aku tidak ingin membangunkan siapapun."
"Bodoh!" Allard mendorong dahinya dengan telunjuk pria itu.
"Untuk berjalan saja kau tidak bisa, jangan bersikap sok kuat, itu akan membuatmu tampak bodoh. Wanita yang tidak punya akal."
Oh, sudah berapa kali pria ini menghinanya?
"Pria arogan, bajingan, keparat! Aku—" Ucapannya terhenti, Allard memasukkan telunjuknya ke dalam mulutnya, mengobservasi seluruh isinya.
Luna ingin menggigit jari pria itu, tetapi rahangnya ditekan kuat oleh tangan Allard yang bebas. Telunjuknya beserta jari tengahnya masuk lebih dalam hingga menyentuh kerongkongan Luna, ia terbatuk. Matanya berair, sesuatu dalam perutnya bergolak ingin keluar, ia mencoba menjauhkan tangan Allard, tapi sayang lelaki itu bertambah parah.
Pria itu menekan belakang kepala Luna kuat, jari-jemarinya seolah ingin mencabut anak lidah yang tergantung di ujung tenggorokannya. Ketika Allard memutuskan menyudahi permainannya dan menarik tangannya dari mulut Luna, Luna langsung mendorong tubuh Allard kuat sebelum memuntahkan ludahnya yang terasa pahit.
"Masih ingin mengataiku? Aku bisa saja mencabut kerongkonganmu dengan mudah. Tapi sepertinya itu akan membuatmu sulit berbicara." Lelaki itu menggelengkan kepalanya, tampak tidak suka dengan idenya sendiri. "Aku lebih suka melihatmu berbicara dengan lancar."
Luna mengelap bibirnya, menatap malas dengan matanya yang sayu. "A-aku selalu percaya kau iblis, tapi wujudmu yang nyata dan bisa kulihat membuatku yakin bahwa kau setan!"
Alih-alih merasa marah, Allard terkekeh. "Hukumanmu masih kurang? Ada banyak hukuman yang belum kutuntaskan padamu, jika kau merasa ketagihan aku bisa menambahnya sekarang juga. Masalahnya kita akan menikah tidak lama lagi, dan itu akan menghambat pernikahan kita." Ia terdiam, mencoba berpikir. "Sebaiknya aku menahan amarahku kali ini, setelah pernikahan aku akan memberimu hukuman sesuka hati.
Bersambung...