Happy Reading and Enjoy~
Allard mengerutkan dahinya ketika melihat makanan di nampan habis tanpa sisa. Jika tidak salah Joan baru saja mengalami kebangkrutan, itulah yang menjadi penyebab Luna meminta agar dirinya menikahi gadis itu.
Sebelum itu tentunya kehidupan Luna berkecukupan, tetapi kenapa penampilan gadis ini seperti orang miskin yang kelaparan.
Bahkan dalam keadaan sakit, yang biasanya kebanyakan orang tidak berselera untuk makan.
Nafsu makan gadis ini tidak berubah. Tatapan Allard beralih ke perut rata Luna yang terbalut selimut, bertanya-tanya bagaimana perut sekecil itu bisa menampung banyak sekali makanan.
Merasa dirinya diperhatikan, gadis itu mendongakkan wajahnya. Langsung memberikan tatapan sengit, meskipun Allard masih bisa melihat ada ketakutan di sana. Sikap Luna yang seperti itu membuat Allard menyeringai.
"Apa begitu sikapmu pada orang yang telah memberimu makan?" tanyanya dengan nada ringan.
"Aku tidak akan makan darimu jika kau membebaskanku, intinya aku tidak punya pilihan. Jika ada pilihan yang lebih baik, aku tidak akan makan sesuap pun dari rumahmu!"
"Menarik sekali. Apa ini orang yang telah memintaku menikahinya? Kenapa sikapnya tidak tahu berterima kasih seperti ini. Hei, wanita, aku tidak tau apa yang merasuki pikiran kolotmu. Wanita lain akan merasa dirinya beruntung mendapatkan lamaran dariku dan tinggal dalam rumahku."
"Wanita manapun tidak akan senang jika kado pernikahan ke-kepala orangtuanya!"
Mengangkat kedua bahu ringan seolah tidak perduli, Allard berujar.
"Well, itu hadiah terindah yang pernah kuberi untukmu."
"Bajingan kurang ajar!" Luna melempar gelas kaca kosong yang berada di hadapannya dengan sigap, beruntung Allard bisa menghindar sebelum gelas itu mengenainya.
Bunyi pecahan kaca memenuhi ruangan, gelas itu mendarat tepat di pintu kaca menuju balkon. Kedua bahu Luna naik turun, emosi wanita itu terlalu menggebu-gebu. Membuat tubuh Allard bereaksi dengan gairah yang memanas.
Ia membalas tatapan permusuhan Luna dengan pandangan tajam, sebelum memutuskan untuk melangkah mendekat. Gadis itu panik, melempar apapun yang berada di hadapannya.
Piring-piring makanannya yang sudah kosong, pisau, garpu, sendok, dan beberapa benda-benda kaca lain yang berada di dekatnya.
Allard menghindar dengan tangkas, ia menghentikan gerakan gadis itu yang membabi buta. "Diam!" bentaknya kuat.
Luna langsung berhenti memberontak, kedua matanya berkaca-kaca, tetapi dengan keras kepala menampakkan keberaniannya. Allard menahan diri agar tidak mencongkel bola mata gadis kecil ini.
Bola matanya seperti kucing, bersinar ingin mencengkram lawan, tapi tidak memiliki keberanian sehingga memutuskan diam di tempat.
"Kau semakin liar sekarang, ya." Ia mendekat, menjilat daun telinga Luna. Membuat tubuh gadis itu membeku.
"Kenapa? Kau takut? Mana keberanianmu yang tadi?"
Dengan lemah Luna mendorong tubuhnya.
"Siapa yang takut padamu!"
Allard mengerutkan dahinya, menatap heran tubuh Luna yang nampak kecil di pelukannya.
"Kemana makananmu tadi? Bahkan mendorongku saja kau tidak bisa."
Ia menunduk untuk mendaratkan kecupan ringan di dahi Luna yang panas.
"Jika kau berhasil membunuhku, aku akan memberikan semua kekayaanku padamu, tapi jika kau tidak berhasil sampai kapan pun, jangan salahkan aku jika tubuhmu menjadi bahan mainanku selamanya."
Ia menegakkan punggungnya, menggendong tubuh Luna ke ranjang.
"Anggap saja itu hadiah dariku karena kau berhasil membunuh seorang Allard. Bukan hanya membalaskan dendammu padaku, kau juga menjadi orang kaya mendadak. Kau bisa melangkah kemana pun kau mau dan membuat pria mana pun bertekuk lutut padamu …."
Kenapa ini? Mengapa kalimat akhir serasa berat diucapkan. Allard tidak suka dengan pikirannya. Ia mati dan berada di tempat yang gelap, sementara gadis ini bisa berkeliaran dengan pria mana pun sesukanya.
"Untuk menghormati kematianku, kau dilarang menikah dengan orang lain. Siapa pun itu."
Senyumnya mengembang. Yah, begini lebih baik.
"Jika kau mati dan seluruh hartamu untukku, kau tidak punya hak mengaturku lagi. Aku bebas melakukan apa pun tanpa pengawasan darimu, dan bebas menikahi siapa pun."
Tanpa tahu apa yang bergemuruh di dalam hatinya, Allard mencengkram dagu Luna kuat.
"Kau pikir aku semudah itu dibunuh olehmu? Huh, ternyata percaya dirimu besar sekali."
Ia tertawa meremehkan. Tatapannya mencela secara terang-terangan.
"Jangan bermimpi terlalu tinggi, wanita. Sampai kapan pun usahamu akan berakhir sia-sia."
Dengan gerakan kasar Allard melepas dagu Luna yang mungil, hingga membuat tubuh gadis itu terdorong ke belakang.
"Lihat saja nanti, kau tidak bisa meremehkanku!"
Allard ingin membalasnya, tetapi ponselnya berdering. Mendengus kesal, ia melirik nama yang tertera. Arthur sialan, pasti ini berita penting.
Sejauh yang diingatnya lelaki itu tidak pernah menelponnya jika tidak memberitahu hal penting, dulu Arthur juga pernah meneleponnya sewaktu meniduri kembarannya.
Ia memilih menjauh, tidak ingin Luna mengetahui apa pembahasan mereka.
"Cepat katakan," ujarnya tanpa basa basi.
Tidak seperti biasanya jika Arthur menanggapi kalimat Allard yang terdengar sinis dengan kekehan, kali ini suara lelaki itu tampak kacau.
Yang terdengar hanya erangan parau, membuat Allard mengerutkan dahinya.
"Cepat katakan sebelum aku mematikan telepon ini," ucapnya sembari menggeram.
"Aku butuh bantuanmu, datang ke tempat biasa." Suara Arthur tertahan, seolah-olah lelaki itu menahan sakit yang amat sangat.
Allard mengerutkan dahinya, ia tahu dimana tempat biasa itu. Tempat awal pertemuan mereka yang terasa menggelikkan, dan jika merasa ada masalah yang tidak dapat diselesaikan mereka memilih datang ke kelab itu.
Jjika sudah seperti ini maka masalahnya benar-benar serius. Ia melirik Luna yang memeluk tubuhnya sembari meringkuk. Pandangan matanya tertuju pada lantai yang berserakan, menghela napas pelan ia berjalan menghampiri Luna.
"Ada urusan penting yang harus kukerjakan, sebaiknya kau …." Ia mengarahkan dagunya ke lantai, memberi isyarat dan kembali mengingatkan perbuatan gadis itu.
"Panggil pelayan dan suruh mereka membersihkannya. Aku ingin ketika pulang nanti kamar ini sudah bersih seperti sedia kala."
Tau Luna tidak akan menyahuti omongannya, ia berjalan keluar tanpa perlu repot-repot melihat respon gadis itu. Ini masih dini hari dan Arthur benar-benar kacau. Masalah besar apa yang dihadapi temannya itu.
Akibat jalanan sepi, tidak perlu menunggu waktu lama untuk sampai di kelab langganan mereka. Allard membuka pintunya, pandangannya langsung tertuju pada Arthur yang sudah mabuk.
Lelaki itu mengangkat gelas kosong yang berada di tangannya ke arah Allard sembari menyengir dengan wajah bodoh.
Allard mendengus kesal, menghampiri temannya dengan langkah berat.
"Kali ini apalagi?" tanyanya sinis.
"Ara …"
Seharusnya Allard sudah bisa menebak ini bukan masalah serius. Pusat kehidupan sahabatnya yang malang ini hanya tertuju pada kembarannya, Arabella Caroline.
Beruntung akhir-akhir ini budak yang dibelinya mampu membuatnya mengalihkan perhatiannya dari Ara.
Ia merebahkan dirinya di sofa, menuang wiski ke dalam gelas kosong lalu meneguknya hingga kandas.
Jika dilihat dari pandangan luar, mereka lelaki sukses yang mampan dan diminati. Siapa yang sangka dibalik itu semua ada dosa yang tidak bisa ditutupi.
"Kenapa dengan kembaranmu itu?" Ia memilih untuk bertanya.
Arthur menjambak rambutnya sendiri dengan frustrasi. "Dia hamil," ucapnya parau.
Allard mengangguk, matanya tampak takjub.
"Bagus, itu berita gembira, bukan? Kenapa kau bertindak seolah-olah besok kiamat."
Arthur mengalihkan tatapannya dengan sorot marah. "Kau lupa dengan apa yang terjadi pada kami."
"Maksudmu?" Tanya Allard bingung.
"Kemungkinan dia mengandung anakku."
Bersambung...