Lelaki itu benar-benar bajingan. Tidak ada lagi yang bisa dipikirkan Luna kecuali kalimat itu, bagaimana bisa dia meninggalkan Luna di kursi tinggi yang berada di dapur dengan selimut tebal yang menutupi tubuh telanjangnya.
Sementara itu, para pelayan mulai berdatangan satu demi satu. Oh, bahkan Luna tidak bisa menghitung berapa jumlah pelayannya, mereka berbaris rapi menunggu perintah. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa mereka begitu patuh pada Allard, dan diam-diam mempertanykan berapa gaji yang bisa diberikan lelaki itu untuk seluruh pegawainya.
Luna semakin merapatkan selimut ke tubuhnya, meskipun tatapan mereka tidak tertuju padanya, tetap saja ia merasa malu. Mereka menunggu kehadiran Allard, tadi lelaki itu pergi entah kemana, ia juga tidak tahu dan tidak mau tahu.
Sialnya lelaki itu pergi tanpa membawa Luna serta, seolah-olah memang berniat meinggalkannya di dapur dengan tubuh telanjang dan hanya berbalut selimut. Saat lelaki itu melangkah pergi ia juga turun dari kursi, tetapi tubuhnya langsung berhadapan dengan lantai marmer yang dingin.
Membuat lelaki itu mengumpat pelan sebelum kembali menaikkannya ke kursi serta mengancam akan memotong jari jemari kakinya, sebelum memtuskan pergi meninggalkannya. Luna tidak ingin menjadi lemah, ia tidak ingin ditindas. Kedua orangtuanya mati karena tidak bisa melawan lelaki itu, dan ia tidak ingin hal yang sama terulang kembali pada orang-orang terdekatnya.
Seolah waktu berjalan sangat lambat, akhirnya Allard keluar. Tumit sepatu pantofelnya yang berbunyi ketika bersentuhan dengan lantai terasa mengintimidasi, dan tanpa sadar membuat bulu-bulu halus di lengan Luna meremang.
Sejak tadi Luna tidak terlalu memperhatikan bagaimana penampilan lelaki itu, dan sekarang saat melihatnya berjalan menghampiri para pelayan, wajahnya luar biasa tampan. Dengan rambut acak-acakkan, tubuhnya tinggi menjulang, hidungnya mancung berdiri tegak dengan menantang. Dada Luna berdebar, iblis sialan yang tampan!
Lupakan soal wajah, kelakuan lelaki itu tidak akan bisa dimaafkan. Ia masih dapat melihat lelaki itu menyunggingkan senyum tipis sebelum membalikkan tubuh menghadap para pelayannya. Memberikan ultimatum dengan suara yang berat.
Ketika lelaki itu menghampirinya, Luna memasang ekspresi dingin. Jika saja tatapan bisa membunuh, maka tubuh Allard sudah hancur berkeping-keping. Nyatanya tatapan tajam Luna tidak berpengaruh apapun pada lelaki itu.
Dengan sikap santai Allard mengeluarkan pisau lipat kecil dari sakunya, membuka lipatan pada pisaunya lalu mengarahkan ujung pisau tajam itu ke mata Luna. "Aku bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika pisau ini mengenai bola matamu," katanya santai.
Luna menelan ludah dengan gugup, tetapi tatapan matanya tidak gentar. Menyala terang bagaikan kobaran api, lebih baik ia buta daripada harus melihat wajah Allard. Tentu saja Allard bisa menebak bahwa Luna memang berniat memberikan matanya, gadis ini menantang dengan kurang ajar.
Menipiskan bibirnya, Allard berkata kalem. "Ah, tidak terlalu mengasyikkan jika melihatmu buta. Aku lebih suka melihat mata itu bergairah di atas ranjang," ia berbisik, "bagaimana jika aku meninggalkanmu di dapur ini sampai matahari terbit? Akan ada banyak bodyguard serta pelayanku yang berjenis kelamin pria yang berlalu lalang."
Matanya menyusuri penampilan Luna. "Tentunya kau tidak mau dalam keadaan seperti ini, 'kan?"
"Ku-kurang ajar!" Luna berteriak dengan suara tertahan. Ia sadar meskipun tampak tidak peduli, tetapi para pelayan itu pasti memperhatikan interaksi mereka secara diam-diam.
Tiba-tiba kedua mata Allard menggelap. "Ceritakan masa kecilmu, kenapa mereka bisa menjadi orangtuamu? Dan kenapa kau merasa nyaman bersama mereka!?" Allard membentak hingga membuat Luna mengkerut.
Ke-kenapa dengan pria ini? Orangtua? Pertanyaannya sungguh aneh. Tidak hanya Luna, beberapa pelayan juga tampak kaget. Aktifitas yang sibuk dan berisik itu terhenti menjadi hening beberapa saat, sebelum akhirnya kembali seperti semula. Yah, jika mereka tidak ingin mendapat kemarahan Allard lebih baik menyingkir dan berpura-pura tidak tahu.
Luna tertawa gugup, ia semakin merapatkan selimut yang menutupi tubuhnya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Berhentilah bicara omong kosong!"
Ini kedua kalinya Allard mengatakan hal ambigu tentang orangtuanya, seolah-olah Daddy Joan dan Mommy Yessie bukan orangtua kandungnya. Luna tidak mengerti mengapa lelaki itu bisa berpikir seperti itu, ia sendiri tidak mengingat apapun, yang diingatnya hanya belaian lembut di rambutnya dan perlakuan manja dan sayang dari mereka.
Mengingat hal itu tiba-tiba saja hatinya dipenuhi perasaan sesak, ia rindu sekali dengan mereka. Terkutuklah Allard!
Andai saja ….
Ah, berhenti berandai-andai, yang harus dihadapinya sekarang adalah pria bejat ini dan juga cara agar membunuhnya, bukan terperosok pada kenangan masa lalu.
Allard mencengkram dagu mungilnya kuat, jika saja Allard menambah kekuatan tangannya mungkin ia berhasil meretakkan rahang Luna.
"Mulai sekarang kau harus ingat, wanita. Mereka yang kau anggap orangtua kandungmu itu bukan orangtuamu."
Luna langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menolak untuk mempercayai. Memangnya siapa Allard hingga mengatakan kalimat yang menyakitkan seperti itu, lelaki itu tidak lebih dari orang yang telah menggoreskan luka mendalam di dirinya.
Pasti lelaki itu ingin membela dirinya sendiri sehingga sanggup berbohong dengan mengatakan Daddy Joan dan juga Mommy Yessie bukan orangtua kandung Luna, iya, pasti begitu.
Geram dengan tingkahnya, Allard mendorong dahinya kuat, hingga membuat tubuh Luna hampir saja terjatuh dari kursi tinggi yang didudukinya. Jika saja ia tidak langsung menahan tubuhnya, mungkin ia sudah terjatuh mencium lantai.
"K-kau!"
Dalam sekejap yang terasa mencengangkan, Allard merubah wajahnya. Rahangnya tidak lagi menegang dan sikapnya yang dingin sedikit mengendur. Seolah-olah bukan pria ini yang tadi mendorong dahinya hingga ia hampir saja terjatuh.
Lelaki itu menundukkan tubuhnya untuk menggendong Luna sebelum berbicara dengan salah seorang pelayan yang berniat menghampiri mereka, pelayan itu berdiri sedikit jauh, tidak ingin mengganggu apa pun pertikaian yang terjadi.
"Antarkan semua makanan itu ke kamar."
Dahi Luna menyatu menjadi satu, berkerut mempertanyakan mengapa Allard merubah wajah dan ekspresinya di depan pelayan? Bukankah lelaki itu sendiri yang tanpa hati membangunkan mereka tengah malam seperti ini.
Tiba-tiba satu pikiran aneh terlintas di benaknya, ia menatap Allard dengan pandangan tak percaya. A-apa lelaki kejam seperti Allard mencintai pelayannya sendiri? Sayang sekali Luna tidak melihat wajah pelayan itu, jika saja ia bisa melihatnya, mungkin pelayan itu bisa membantunya untuk kabur dari sini. Allard tidak mungkin menyakiti orang yang dicintainya, kan?
Kedua mata Luna seketika berbinar dengan harapan yang mulai merekah, semua pasti ada jalan. Ia akan kabur dan menyiapkan racun paling ampuh untuk membunuh Allard. Tinggal menunggu waktu saja hingga semua dendam orangtuanya terbalas.
Daddy, Mommy, tunggulah, ia pasti membalas perbuatan Allard berpuluh-puluh kali lipat. Ia akan mencincang tubuh Allard lalu melemparnya ke sungai agar tubuhnya membusuk di dalam sana. Terima kasih Tuhan … telah menghadirkan harapan bagi jiwanya yang semu.
Bersambung...