Setelah naik bus, kondektur datang untuk mencatat tiket. Mona dan anak-anak lainnya aman pergi bersama ibunya. Saat ini, tiket setengah harga untuk anak-anak belum ada. Jadi, hanya Dewi yang harus membayar 25 ribu, sedangkan anak-anak lainnya gratis.
Ibu dan empat anak itu berangkat ke kota hampir dua jam yang lalu. Tidak mungkin. Mobil yang mereka tumpangi tidak mungkin tersesat. Tapi mereka tak peduli lagi kini mereka sampai dimana, yang penting mereka bisa sampai di kota.
Ketika mereka sampai di kota, mereka tahu jika selama ini mereka jauh dari kota. Mereka tinggal di kabupaten yang paling jauh dari kota.
Keempat anak itu dengan penuh rasa ingin tahu melihat hal-hal baru di depan mereka, gedung-gedung tinggi, jalan lebar, jalan-jalan bersih, pejalan kaki yang terburu-buru, mobil-mobil yang ngebut, semuanya berbeda dengan pedesaan mereka.
Mona memandang kota tua dengan tatapan nostalgia. Benar-benar berbeda. Setelah bertahun-tahun, kota tua seperti itu akan benar-benar berubah. Jika kamu ingin melihatnya lagi, kamu harus pergi ke museum.
Dewi memimpin anak-anak keluar dari terminal. Suasana kota yang ramai membuat Dewi dan yang lainnya sedikit bingung.
Mona memandang setiap orang yang lewat. Nenek berkata bahwa orang dengan alis tebal dan mata besar pada dasarnya adalah orang baik, jadi dia melihat seorang pria berkacamata panjang dan mengejarnya, "Paman, tolong tunggu."
Iskandar, yang sedang dalam berjalan berhenti tiba-tiba. Dia menoleh ke belakang dan melihat sumber suara yang memanggilnya masih kecil. Pakaiannya ditambal dengan tambalan, tapi rapi dan bersih. Meski bajunya sudah usang, anak itu jelas punya harga diri. Mona menatapnya dengan murah hati, "Paman, bisakah Anda memberi tahu saya cara pergi ke pasar kota untuk menjual hasil tani?
iskandar sangat antusias dan memberi tahu anak-anak rute yang harus diambil, Jika dia tidak memiliki sesuatu yang harus dilakukan dengan terburu-buru, dia akan langsung mengantarnya.
"Paman, terima kasih, saya tahu bagaimana cara pergi, sampai jumpa".
Mona melambai ke Iskandar, berlari kembali ke Dewi, mengangkat wajahnya dan berkata dengan mata berbinar, "Bu, aku sudah tahu bagaimana kita akan pergi, aku akan membawamu ke sana."
Semua orang tidak mengerti situasi di sini, jadi mereka hanya bisa mengikutinya, dan menemukan halte bus yang dikatakan pria itu. Mereka menunggu bus yang bisa mengantar mereka.
Dewi masuk ke bus, memimpin keempat anaknya masuk. Bus di kota tidak lebih baik dari bus di pedesaan. Bus tersebut sudah penuh sesak dan tidak memiliki kursi. Mereka hanya bisa berdiri, sementara Eka yang sedikit lebih tinggi sudah mampu meraih pegangan dan kemudian memeluk saudara-saudaranya agar tetap berdiri.
"Sudah beli tiket?" teriak kondektur dengan marah sambil membawa tas karcis hitam. Bisa jadi pakaian yang compang-camping membuat kondektur memandang mereka sebagai pengemis, atau mungkin pikiran Mona saja yang terlalu jauh.
"Bu, beri aku dua puluh ribu, ayo beli tiket."
Dengan dua puluh ribu yang diberikan ibunya, Mona berjalan ke arah kondektur dan berkata, "Bibi, ini uang tiketnya."
Wanita itu melirik gadis yang compang-camping itu, dan dengan marah merobek sebuah tiket dan melemparkannya ke arahnya, tetapi Mona gagal untuk menangkap tiketnya dan jatuh ke tanah. Orang lain di sekitarnya justru mendengus menghina. Tindakan orang-orang itu membuatnya Sangat tidak nyaman.
Mona berencana untuk mengabaikan ini, tetapi ejekan dan penghinaan yang jelas di mata wanita itu membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Menahan amarah di hatinya, menatap ke mata wanita itu, dia berkata dengan tidak tergesa-gesa.
"Bibi, Kakek Herman memerintahkan untuk melayani orang-orang dengan sepenuh hati. Saya tidak tahu pasti, tapi sepertinya caramu melayani hari ini melanggar instruksi. Saya harus mengadukan Anda."
Sikap kondektur perempuan itu terhadap Mona dan keluarganya barusan sudah jelas. Tidak sepantasnya melihat penampilan gadis lusuh dan memeprlakukannya semen-mena.
Kondektur tidak menyangka anak-anak bisa bicara seperti itu. Gadis kecil ini kenal Pak Herman, jadi tidak mungkin ia membantahnya. Bagaimana jika ia diadukan kepada Pak Herman? Tapi, ia juga berpikir, bagaimana bisa gadis ini kenal atasannya?
Hari ini, kondektur itu serasa ditampar tangan gadis kecil; Wajahnya tiba-tiba saja dipenuhi senyuman. Mona paham jika senyuman itu hanyalah palsu.
"Nak, bibi tahu apa yang bibi lakukan tidak baik. Aku minta maaf padamu. Dimana kamu akan turun, bibi akan mengingatkanmu ketika bus sudah sampai."
Tidak ada alat untuk mengisyaratkan berhenti di tujuan di bus di era ini. Mereka mengandalkan kondektur untuk memberitahukan pemberhentian secara manual. Wajah kecil Mona juga tersenyum manis. "Bibi, kalau begitu saya ingin mengucapkan terima kasih banyak. Kita akan turun di pasar kota pusat pertanian, tolong beritahu kami jika sudah sampai. "
Perasaan penumpang di dalam bus campur aduk. Mereka tak lagi memandang Mona rendah, melainkan sebagai gadis yang tidak angkuh dan penuh sopan santun.
Seorang wanita tua berpakaian pantas dan memberi isyarat kepada Mona, "Mona datang dan nenek itu memeluknya, merengkuhnya agar Mona tak terjatuh karena berdesakan."
Mona sangat menyayangi nenek tua yang baik ini, mirip dengan neneknya di kehidupan sebelumnya.
"Terima kasih nenek, aku takut aku akan membuatmu lelah."
Wanita tua itu melambai pada ibunya, Dewi mengangguk pada Mona. Mona kemudian kembali dipeluk nenek, nenek itu takut guncangan bus membuat Mona jatuh.
Nenek itu mengangkat Mona dan memintanya duduk di pangkuannya. Nenek tua itu baunya sangat harum, mungkin ia sering mandi.
Mona bertanya pada nenek dengan senyum manis di wajahnya, "Nenek, kamu tidak lelah, biarkan aku turun jika kamu lelah."
Bagi gadis kecil dalam pelukannya, nenek tua itu memiliki wajah yang baik hati, "Baiklah anak-anak, nenek akan turun bersamamu."
Setelah kondektur dengan keras mengingatkan bus sudah sampai di pasar pertanian, Mona dan keluarganya turun. Nenek baik hati itu ikut turun bersama.
Mona berpikir bahwa wanita tua itu akan berpisah dengan mereka. Mona tidak menyangka bahwa mereka pergi ke tempat yang sama. Dengan bantuan wanita itu, mereka akhirnya menemukan tempat tujuannya.
Setelah mereka tiba di toko, Dewi meminta Eka dan yang lainnya menunggu di luar, dan membawa Mona toko bersama wanita tua itu.
Begitu dia memasuki ruangan, perasaan pertama Mona adalah toko itu sangat sepi, dan hanya ada dua orang yang duduk di dalamnya, satu lebih tua dan yang lainnya muda.
Ketika pemuda itu melihat wanita tua itu masuk, dia segera bangun dan berkata, "Bik Tatik, kamu di sini, Bagus, kakak perempuanmu yang tertua ada di sini."
Pria yang lebih tua melihat wanita tua itu dan segera keluar, "Kakak, mengapa kamu datang ke sini sendiri? Aku tidak pernah tidak bisa memenuhi permintaanmu, lagipula benda seperti itu tidak laku disini."
Bik Tatik juga sangat tidak berdaya, Ia telah menunggu waktu lama untuk mendapatkan ginseng. Namun, kali ini ia tidak bisa memilikinya.
"Selamat siang, bolehkah Aku bertanya?", Dewi mendekat dengan sedikit ragu.
"Kami akan melayanimu sebisa kami, apa yang ingin kau tanyakan?"
Dewi buru-buru melanjutkan kalimatnya, "bisakah kau membeli ginseng ini?"
Kedua saudara kandung yang berdiri bersebelahan sedang berbicara, dan mata mereka mulai bersinar ketika Dewi menyebutkan ginseng.
"Maaf, tempat kita umumnya tidak kaya akan ginseng, jadi barang ini tidak bisa kamu beli. Kalau mau menjualnya, kamu bisa pergi ke ibukota provinsi." Pemuda itu menjawab pertanyaan Dewi dengan sangat jelas.
"Bu, ayo keluar dulu."
Ginseng tidak bisa dijual disini dan harus ke tempat lain. Tetapi Mona baru saja mendengar beberapa percakapan antara kedua orang itu, dia berencana mencari toko lain untuk bertanya.