Wanita tua itu memohon pada putranya untuk melakukan sesuatu untuknya hari ini, jadi dia terus saja berbicara tentang saudara lelakinya yang tidak punya tempat tinggal.
"To, kamu kamu anak pertama, kamu harus bantu ibu mendapatkan ide. Keluarga pamanmu tidak bisa tidur di jalan ketika pindah ke desa ini. Keluarga kita bisa malu. Bagaimana Menurutmu?" Nenek memancing pembicaraan, berharap solusi dari Broto sesuai dengan keinginan hatinya .
Broto menyipitkan matanya dan mengepulkan asap rokoknya, "Bu, kondisi keluarga kita semua sama-sama sedang sulit. Ibu selalu menuntut kita melakukan sesuatu. Tanpa diminta, jika kita memang mampu kita pasti akan membantu"
Wanita tua itu dengan ragu-ragu bertanya, "Mengapa kamu tidak membangunkan rumah untuk pamanmu? Mereka butuh 3 kamar karena memiliki 3 putra. Jadi, mereka tidak mungkin menumpang, harus dibangunkan rumah sendiri."
Bima, anak kedua nenek segera berdiri dari tempat duduknya, "Bu, bagaimana jalan pikiranmu? Restu, anak ketiga keluarga kita sendiri aja belum punya rumah. Kenapa ibu justru meminta kita membangunkan rumah untuk orang lain?", Bima tidak bisa menahan amarahnya.
Nenek langsung menatap Bima dengan tajam. "Bu, bukankah kita diundang kesini untuk berdiskusi. Jadi, kita harus mencapai kesepakatan. Ibu tidak bisa memaksakan pendapat ibu. Kecuali jika ini punya uang untuk membangunkan mereka rumah, barulah ibu bisa memberikan mereka tempat tinggal."
Istri Broto, Ida mulai jengah mendengarnya. "Bu, bukankah Restu itu juga belum punya rumah? Mengapa kamu tidak ingin membangun rumah untuk anakmu? Jika kamu ingin membangunkan rumah untuk Restu, kami tidak akan melarangmu. Bahkan, kami akan membantu semampu kami. "
Rini, istri Bima merasa harus ikut bicara. Ia tidak boleh membiarkan kakak iparnya itu sampai tersudut. Pendapat kakak ipar itu benar. "Bu, ini adalah masalah yang serius. Membangun rumah bukan perkara main-main. Kami masih punya banyak hal yang harus kami kerjakan. Kami harus bekerja keras untuk hidup kami. Jadi, kami belum bisa membantu apa-apa"
Rini menepuk pundak suaminya, menarik tangannya dan bergegas pulang tanpa menengok lagi ke belakang.
Ida melihat Rini dan Bima pergi. Ia kemudian berinisiatif mengajak Dewi berpamitan dengan alasan khawatir meninggalkan anak-anak di rumah, "Bu, aku khawatir meninggalkan anak-anak sendirian di rumah. BUkankah begitu Wi? Jadi, Kami pamit pulang dulu."
Ida menggandeng Dewi pergi. Nenek hanya diam, tapi tak lama Dewi mendengar nenek mengumpat. Tapi, mereka bisa apa? keluarga mereka tak memiliki uang untuk membantu paman, Apalagi paman pernah berniat menjual Restu untuk membayar hutang.
Setelah Dewi dan Restu sampai di rumah, anak-anak sudah tertidur. Restu dan Dewi menyusul, mereka membaringkan tubuh dan membicarakan banyak hal yang telah mereka lewati setahun terakhir. Restu menghela nafas dan berkata, "Masalah yang harus kita hadapi saat ini adalah keluarga paman yang tak punya tempat tinggal dan ibu memintaku menyumbang dana untuk membangunkan rumah yang bisa ditempati paman dan keluarganya. "
Restu berpikir, kenapa ibunya bisa sampai hati memintanya membangunkan rumah. Padahal, bukankah ia, istri, dan anak-anaknya juga patut dikasihani karena belum memiliki rumah yang layak.
Sebelum Dewi memejamkan matanya, ia sempat berbicara pada Restu, "Restu, maafkan aku jika kamu tidak suka mendengarnya. Tapi, menurutku ibumu benar-benar tak punya hati".
Esoknya, anak-anak mencari ranting dan jerami. Hari ini mereka sengaja tidak pergi ke gunung. Mona ingin tahu bagaimana cara kerja tim produksi yang menanami ladang luas dan mempekerjakan ayah ibu mereka di ladang.
"Kak, ayo kita pergi ke ladang untuk bermain.Kita bisa mencari benih, siapa tahu benih itu bisa ditanam di kebun kita."
Rano menggelengkan kepalanya, "Mona, tidak apa-apa jika kesana untuk bermain, tapi kamu tidak bisa mengambil apapun. Semuanya milik tim produksi dan ada mandor yang mengawasinya."
Mona memang masih polos, ia kemudian berkedip dengan malu dan berkata "Kak, aku tidak ingin mengambil apapun, aku hanya ingin melihatnya."
Rano menuruti Mona pergi ke ladang, sementara Rena juga ikut bersama mereka. Eka, kakak tertua tidak bisa membiarkan adik-adiknya pergi sendiri karena takut mereka membuat ulah.
Ladang tempat kerja tim produksi itu sebenarnya tidak jauh dari rumah mereka, tepatnya di sudut barat laut jalan. Tapi, ladang tersebut sangat luas dan dipagar tinggi.
Saat pertama kali memasuki ladang, mereka mendengar lenguhan sapi. Di sebelah barat ladang memang ada deretan sapi dan kuda. Sapi dan kuda tersebut tinggal di kandang-kandang yang rapi, jauh lebih baik dibandingkan gubuk yang mereka tinggali. Sedangkan di sebelah kandang itu ada sebuah rumah permanen. Di rumah itu ada seseorang yang tinggal dan dibayar untuk mmeberi makan ternak serta menjaganya di malam hari.
Ada juga deretan rumah tepat di sebelah utara kandang ternak. Beberapa pintu terkunci dan hanya satu pintu yang terbuka. Rena berjalan paling depan kemudian menyapa seorang pria yang ada di dalam salah satu ruangan yang terbuka, "Paman Danu" .
Orang tua itu mengangkat matanya yang tersenyum, kemudian mengangguk ke arah mereka. Mona melihat bahwa kaki orang tua itu penuh dengan kabel besi, dan dia sedang menenun benda seperti jaring.
"Paman, yang kau buat itu sangat indah," Rena memuji setelah mengamati beberapa saat.
Orang tua itu tersenyum dan mengangkat kepalanya, "Nak, kalian tidak sibuk hari ini? Kenapa kalian main kemari?"
"Paman, adikku sudah lama tak kemari. Jadi kami membawanya kemari karena ia sangat ingin merindukan paman." Kata Rano dengan manis. Paman Danu yang mendengarnya ikut tersenyum simpul.
"Mona merindukan paman, datang dan bermainlah jika kalian memang ingin bermain disini, apakah kepalamu baik-baik saja, Mona?"
Semua orang di desa tahu apa yang terjadi dengan keluarga Restu, Jadi, Paman Danu juga tahu tentang kepala Mona dan kemudian menanyakannya.
Ada pria tua ini dalam ingatan Mona. Kakinya lumpuh. Dia berjalan di atas dua tongkat kayu kecil setiap hari. Namun, pria ini juga pandai dan terampil membuat jaring, keranjang, dan sebagainya.
Ada senyuman manis di wajahnya, "Paman, lanjutkanlah pekerjaanmu, kami akan bermain di sekitar sini."
Setelah meninggalkan Paman Danu, mereka terus berkeliling. Dalam ingatan Mona, ada tempat untuk menggiling makanan. Ada bunker beton tinggi di deretan belakang rumah. Mona ingin mencari tahu untuk apa bunker beton itu.
"Kakak, apa itu?"
"Itu lumbung, tempat semua biji-bijian yang dikumpulkan oleh tim produksi disimpan."
Rena memimpin kedua orang itu ke timur, dan beberapa baris bangunan melengkung muncul di depan matanya. Mereka penasaran karena ada dua puluh hingga tiga puluh bangunan berjejer. Mona mencondongkan tubuh untuk melihat dengan rasa ingin tahu. Di dalamnya ada banyak babi yang mengeluarkan suara berisi. Ukuran mereka sangat besar sehingga sepertinya sudah siap disembelih.
Melihat mata adiknya yang lesu, Rano bercanda, "Mona, apakah kamu ingin makan daging? Sebentar lagi pasti musim panen babi, dan mungkin saja ayah dan ibu akan mendapatkan bagian daging. Kita bisa makan daging setelahnya, benar? "Rano bertanya dengan sedikit wajah ke atas.
"Ya, kurasa. Kita akan segera makan daging."
Berbicara tentang daging, mata saudara perempuan dan laki-laki menunjukkan ekspresi kerinduan, dan air liur tidak tertahankan membuat mereka hanya bisa menelan ludah.
Mona tidak begitu mengerti ini. Ia hanya ada ingat akan ada pembagian daging untuk orang-orang yang bekerja dengan tim produksi. Tapi, Mona tak ingat jelas bagaimana aturan pembagian daging itu.
"Kakak, mengapa daging babi itu dibagi-bagi? Bisakah kita meminta lebih banyak?".