Chereads / Pelangi Kehidupan Mona / Chapter 35 - Iri dan Dengki

Chapter 35 - Iri dan Dengki

Siang hari, Dewi kembali lebih awal karena ia harus memasak untuk adik laki-lakinya. Daging yang dibagikan kemarin sangat berguna. Bagaimanapun, anak-anak tidak memakannya kemarin, jadi mereka harus memakannya hari ini.

Tak lama kemudian baunya lezat daging datang dari dapur. Dewi membuat tumis babi dengan kol untuk makan siang. Dewi juga merebus kerang yang dibawa oleh adiknya.

Saat musim hujan baru saja dimulai seperti saat ini, banyak bekicot berkeliaran. Pasti bekicot itu sangat lezat dimasak bersama udang. Lagipula, udang-udang ini harus segera dimasak agar tak busuk.

Ketika dia melihat sepatu baru, Dewi merasa sedikit senang. Ia tahu suaminya tadi keluar untuk membeli sepatu untuk adik laki-lakinya. Ia merasa suaminya juga peduli dengan keluarganya.

Ketika Restu kembali, makanan masakan Dewi sudah siap. Restu ditinggalkan pada sesi makan kali ini.

Anak-anak menyapanya dengan gembira, "Ayah coba lihat, udangnya benar-benar besar. Ini enak."

Mona mengambil udang untuk ayahnya dan merangkak keluar. "Ayah, makanlah", Mona mengangkat tangan kecilnya dan menyuapkan udang ke mulut ayahnya.

"Yah, udangnya benar-benar enak."

Tak mau kalah, Rano juga memilih siput duri kuning yang gemuk, "Ayah, siput duri favoritmu gemuk, dagingnya pasti banyak."

Yang lainnya tertawa melihat kedua anak itu menjejali mulut Restu seperti sedang bermain.

"Baiklah anak-anak, kalian semua makanlah dulu, ayah makan sendiri nanti."

Hari ini ada hidangan daging, tetapi anak-anak tidak rakus. Mereka menyisakan daging untuk, ayah, ibu dan pamannya.

Dewi dan Restu melihat tingkah laku anak-anak mereka dan tersenyum. Anak-anak itu bijaksana, tetapi mereka tetaplah anak-anak. Mereka jarang makan daging. Hari ini Restu dan Dewi ingin anak-anak makan enak.

Makanan hari ini membuat perut anak-anak kenyang. Mona makan banyak sekali udang. Mulutnya sulit berhenti mengunyah udang yang lezat dan segar dengan daging gemuk.

Setelah makan malam, mereka berencana mengantar Wawan pulang.

Setelah sampai di rumah, Dewi menyerahkan uang untuk mengganti uang yang digunakan Restu untuk membelikan Wawan sepatu. "Restu, kamu meminjam uang untuk membelikan wawan sepatu pagi ini. Ini ambilah dan lunasilah. Oh iya, berapa biaya untuk membuat meja dan bak mandi kemarin?"

Restu tersenyum dan mengambil uang itu, lalu berkata, "Wi, mereka tidak butuh uang. Aku mendapatkan meja dan bak mandi itu dari orang yang baru saja pindah rumah. Kita bisa membalas mereka dengan mengundang mereka makan nanti".

Dewi mengambil barang-barang yang dibawa oleh adik laki-lakinya. Dewi menyisihkan beberapa meletakkannya di keranjang dan berniat memberikannya pada nenek.

Kali ini giliran Rena yang mengantar bingkisan ke rumah neneknya. Sementara 3 saudaranya yang lain enggan mengantar sesuatu ke rumah nenek.

Terakhir kali Eka memberikan sesuatu padanya, tapi nenek justru mengatakan pemberian yang dibawa Eka terlalu sedikit dan tidak cukup untuk nenek beserta keluarganya. Jadi, kali ini Eka menolak pergi.

Rena membawa sepanci makanan laut dan mengantarnya ke rumah nenek. Tetapi sebelum memasuki rumah, dia mendengar adik perempuan ayahnya mengeluh kepada nenek. Wanita manja itu mengeluh karena Aya Rena membelikan sepatu baru untuk adik iparnya pagi ini.

"Bu, lihat Kak Restu. Aku Ini adik perempuannya. Kenapa dia tidak membelikan sepatu untukku juga? Kak Restu membelikan sepatu baru untuk adik iparnya saat ia baru datang tadi pagi. Bu, aku juga ingin sepatu baru. "

Rena tidak terburu-buru masuk tetapi berhenti di luar pintu, dia ingin mendengar apa yang akan diadukan oleh bibinya.

Di dalamnya terdengar suara bulat dari wanita tua itu, "Kamu bodoh, kamu ingin memakai sepatu yang sudah dipakai adik Si Dewi itu? Jika memang Restu tidak membelikanmu sepatu tidak apa-apa, kamu masih bisa makan di rumah mereka."

Rena agak gemetar sambil memegang baskom. Ia kemudian berbalik sambil membawa baskom di tangannya.

Ketika Rena memasuki rumah, Dewi dan Restu ada di rumah. Keduanya bingung mengapa Rena membawa makanan itu kembali.

"Ren, ada apa, mengapa kamu membawa makanan itu kembali?"

Ditanya soal baskom berisi makanan itu, mata Rena memerah. "Bu, kamu tahu apa yang dikatakan nenek pada paman tadi. Dia mengatakan jika Ayah tidak membelikan sepatu untuk paman, nenek meminta bibi untuk makan di rumah kita sampai ayah mau membelikan sepatu untuknya. Setelah mendengar itu, apakah aku masih sanggup mengantarkan makanan ini untuk mereka? "

Raut muka anak yang sedih membuat ibu merasa tertekan. Meski mereka masih memiliki uang untuk membeli sepatu, mereka harus berpikir apakah uang itu cukup untuk membangun rumah jika terus dibelanjakan.

Dewi bertanya kepada suaminya, "Restu, apakah saat kamu membeli sepatu, Samsul mengetahuinya?"

"Yah, dia ingin ikut denganku saat itu, aku menolaknya. Tapi, ibu memintaku mengajaknya pergi".

Apa yang bisa dikatakan Restu? Ini pertama kalinya aku membelikan barang untuk adik setelah bertahun-tahun menikah. Sebelumnya, Wawan juga sudah mengirim banyak barang untuknya. Jadi, tentu saja ia tidak bisa membalas hanya dengan sekedar ucapan terima kasih . Dewi menebak adiknya itu tidak bisa membeli sepatu karena sang ibu mengirimkan semua uang saat ia dan Restu kesulitan.

"Wi, biarlah abaikan saja Samsul. Lebih baik kita berangkat kerja sekarang. Anak-anak, jagalah rumah dengan baik. Jangan bukakan pintu ketika pamanmu datang."

Tetapi begitu mereka berdua ingin pergi ke ladang, Samsul tiba-tiba datang menghalangi jalan mereka. "Kak, aku ingin sepatu baru. Jika kakak buru-buru dan tidak punya waktu, kakak bisa memberiku uang, Aku bisa membelinya sendiri", Samsul meminta seolah kakaknya itu punya hutang padanya.

Sebelum Restu dan Dewi sempat menjawab, Mona yang berdiri di dekat pintu berkata, "Paman, maafkan jika aku lancang. Paman masih punya kakek dan nenek. Paman adalah tanggungan mereka, jadi mintalah pada mereka, jangan meminta pada keluarga kami karena itu bukan tanggung jawab keluarga kami. Ayah, ayah mau pergi ke ladang, kan?"

Paman memang tak tahu malu. Ia tak malu menyebutkan jika dirinya ingin sepatu baru. Dia tak peduli seberapa banyak barang yang telah diberikan oleh Paman Wawan kepada keluarga Restu.

Samsul tak pernah menyangka jika ia akan dihadiahi nasihat yang menampar oleh ponakan kecilnya. "Mati saja kau atau diam saja. Aku ingin sepatu baru. Aku memintanya pada kakakku dan ini tidak ada urusannya denganmu."

Ini adalah pertama kalinya Restu mendengar Samsul menghardik anaknya di depannya. Orang pedesaan memang begitu, tidak banyak bicara ketika marah tapi senang mengumpat. Dwi dan Restu tidak pernah mengumpat di depan anaknya. Jadi, anak-anak tidak akan mengumpat ketika marah, apalagi berbicara kotor. Tak ayal, Dewi dan Restu langsung mengerutkan dahi ketika mendengar Samsul mengumpat.

Eka yang ada di kamar mendengar keributan dan berjalan keluar, "Paman, lebih baik jika kau tidak mengumpat disini. Jangan lupa kita sudah berpisah keluarga. Keluarga kita tidak berkewajiban untuk memberimu makanan dan pakaian. Paman bisa segera pergi, kami tidak akan membelikanmu sepatu. Ayah, ayo cepat pergi, jangan sampai terlambat. Kita harus bekerja keras agar bisa mengumpulkan uang untuk membangun rumah. "

Setelah mendengarkan ucapan anak-anaknya, Restu tidak ingin berkata apa-apa lagi. Ia hanya setuju dengan ucapan anaknya kali ini, "Samsul, kami harus segera pergi. Kamu juga harus pulang sekarang." Dewi kemudian mengekori Restu, pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.

Suaminya tetap menunduk dan diam sepanjang jalan, Dewi tahu jika hati suaminya itu sedang kacau "Restu, kamu baik-baik saja?"

"Tidak apa-apa, aku hanya merasa tak enak hati. Dia benar-benar memarahi anak kita di depanku. Apakah dia sering marah seperti itu kepada anak-anak? Memikirkannya sangat membebaniku sekarang."