Restu berusaha mengejar istrinya yang membawa Mona ke rumah sakit. Namun, ia tak berhasil menemukan istri dan anaknya. Ia kemudian memutuskan mencari ke rumah sakit terdekat dan menemui Dewi sedang menggendong Mona.
Mona sangat beruntung karena di kehidupan barunya ia berada di jaman yang masih mengedepankan etika. Dokter masih merawat pasien dengan etika profesional, mengedepankan yang terluka dan mementingkan menyelamatkan nyawa tanpa mensyaratkan biaya. Oleh karena itu, Dewi berani membawa tiga anaknya ke rumah sakit tanpa sepeserpun uang di sakunya.
Dokter langsung menangani Mona ketika mendapatinya digendong oleh wanita bertubuh kurus dan menangis. Dokter jaga yang sudah tua tersebut memang tak tahu apa yang sudah terjadi. Namun, ia tetap sabar memeriksa Mona dan ibunya.
"Apa yang kalian lakukan, gadis cilik ini terluka parah, kenapa kalian hanya memegangnya? Cepat bawa ke UGD, jangan sampai nyawanya tidak tertolong. Ia butuh penanganan segera", ucap dokter sesaat sebelum menangani Mona.
Dokter bekerja cepat. Ia seolah tidak mengijinkan Dewi bertanya apa yang sedang terjadi dengan Mona. Dokter menulis resep di lembaran kecil dengan cepat dan memberikannya kepada perawat. Dokter juga menginstruksikan perawat lain untuk segera memasang infus di tangan Mona.
Setelah botol infus digantung dan dokter sudah tidak sesibuk sebelumnya, Restu memberanikan diri bertanya, " Bagaimana keadaan Mona, dok?".
Dokter membalas Restu dengan tatapan tajam. "Apa saja yang kalian lakukan, kenapa bisa sampai seperti ini? Bukan hanya gegar otak saja, saya curiga ada kerusakan pembuluh darah, jadi saya memasang infus sesegera mungkin agar tidak terjadi peradangan. Untung saja tulang rawan di belakang kepalanya tidak patah. Jika tulang rawan tersebut patah, bisa saja Mona mengalami cacat permanen."
Kepala Mona membengkak. Sangat jarang pasien yang selamat dengan kondisi seperti ini, bahkan dokter yang sudah lama bertugas di rumah sakit itu pun hanya menemui pasien dengan kondisi serupa bisa kembali pulih. Kini, Mona harus menanggung semuanya. Hanya ada rintihan kecil dan lelehan air mata yang bisa diisyaratkannya.
Restu yang baru saja bicara empat mata dengan dokter kembali ke ruang perawatan Mona dengan lesu. Ia memandangi Mona yang sedang tergeletak tak sadarkan diri. Jelas sekali Restu merasa bersalah. Ia memegang tangan Mona dan membelai wajah putri kecilnya itu.
"Dewi, aku benar-benar tidak tahan melihat Mona", Restu berkata singkat, tidak tahu lagi apa yang bisa ia ucap.
Kedua belah pihak sama-sama berharga untuknya. Dia tahu apa yang sudah dilakukan ibu dan adik perempuannya, tapi tetap saja ibu dan adiknya adalah orang berjasa dalam hidupnya. Di lain sisi, istri dan anaknya sudah disakiti oleh ibu dan adiknya. Sungguh Restu ingin melukai dirinya sendiri untuk melampiaskan emosinya.
Dewi memandang putrinya yang sedang tak sadarkan diri. Ia tahu jika suaminya sedang menyesal dan dilema. Tapi tetap saja Dewi tidak bisa memaafkannya.
"Restu, kurasa kau sudah tahu bagaimana kelakuan keluargamu. Jika bukan karena Mona yang menghalangiku, aku mungkin sudah dibunuh oleh adikmu. Jika tidak hari ini, adikmu pasti akan mengulangi rencana pembunuhannya lain hari. Setiap hari di rumah itu, aku disiksa. Apakah kamu tidak curiga jika saudara dan ibumu telah merencanakan semua ini? Mereka sengaja menyusun rencana agar kau mabuk, datang ke rumah dengan pikiran kacau, dan mencari-cari kesalahanku, dan membuat semua ini terjadi. Coba pikirkan, jika kau tidak mabuk hari ini, bisakah semua ini terjadi? Entah Mona bisa selamat atau tidak, pada akhirnya aku akan tetap pulang ke kampung halamanku. Aku tidak keberatan tinggal disana. Tapi, yang aku pikirkan adalah biaya hidupku dan anak-anakku. Jika tinggal di kampung, aku tidak akan lagi diganggu keluargamu."
Dewi selama ini diam bukan berarti ia tidak punya batas sabar. Dewi sadar jika ia harus hidup berdampingan dengan keluarga suaminya yang tidak punya nurani. Ditambah lagi, kondisinya sedang tak sehat sehingga melawan sama seperti ia memaksa dirinya melakukan sesuatu yang sudah jelas-jelas ia tak mampu. Dewi mencoba bertahan demi anak dan suami. Namun, tetap saja ia tak bisa jika harus terus-terusan diperlakukan tak manusiawi.
Sekarang, Dewi tidak hanya kedinginan karena tidak memiliki rumah untuk tinggal. Hatinya juga sedih, pikirannya kalut. Jika semua ini terus berlanjut, Dewi tak tahu lagi bagaimana cara bertahan hidup.
"Ayah, nenek meminta kita untuk pindah hari ini, kemana keluarga kita akan pindah?" Eka bertanya dengan nada sedih.
Restu tidak bisa berkata, ia hanya bisa memberi pengertian kepada anaknya."Jangan dengarkan nenekmu, nenek hanya emosi saat bicara seperti itu. Kita tidak bisa pergi dari rumah saat kondisi seperti ini."
Restu memang bisa berkata bijak di depan anak-anaknya, tapi jika di hadapan ibu dan saudara-saudaranya ia hanya bisa mematung. Dengan sikar Restu, Dewi benar-benar kehilangan harapan untuk tetap bisa tinggal bersama dan berdamai dengan mertuanya.
"Restu, kedua kakak lelakimu dan juga ibumu telah membangun rumah dari hasil kerjamu, Kamu juga sudah lama memberikan uang untuk menunjang kehidupan mereka. Aku tidak akan mengungkit itu, tapi tolong katakan kepada ibumu jika mereka harus tetap membiarkan keluarga kita hidup tenang. Mintalah izin kepada mereka agar kita bisa hidup bersama, di rumah yang sama. Tidak hidup bersama untuk selamanya, tapi setidaknya sampai kita berhasil mengumpulkan uang untuk membangun rumah yang baru. Aku tidak meminta ibumu mengganti tabunganmu yang digunakannya untuk membangun rumah. Aku hanya ingin kita berusaha bersama. Aku tidak percaya jika ibumu sampai hati mengusir kami dan membiarkan kami tinggal di jalanan. Jadi, maukah kamu bicara dengan mereka?"
"Baiklah, aku akan kembali ke rumah. Aku akan bicara dengan ibu untuk meminta hakku sebagai putranya. Aku yakin dia tidak akan tega bertindak tidak adil. Dia mungkin hanya terbawa emosi. Kau yakin, ketika amarah hilang kita semua bisa kembali ke rumah. Jangan terlalu berpikir macam-macam"
Restu menoleh ke belakang, menyadari jika anak ketiganya menghilang, "Rano, dimana adikmu?"
Rano menggelengkan kepalanya. Dia tidak tahu dimana adiknya berada. Dia tidak melihatnya di halaman hari ini. Setelah diusir, keluarga Restu memang tidur di halaman rumah, berteman dengan dingin dan barang-barang mereka yang sudah di kemas asal-asalan.
"Ayah, aku mendengar nenek dan bibi menyuruh Rena mencuci baju di sungai tadi pagi. Tapi, setelah itu aku tidak lagi melihat Rena kembali.", Rano menjelaskan peristiwa yang terjadi tadi siang. Ingatannya kembali pada kekecewaan melihat bibi menyuruh Rena yang masih belia mencuci sendirian. Bibi bahkan mengatakan jika dirinya lebih tua, jadi Rena sebagai keponakan yang usianya lebih muda harus melayaninya. Apa yang dilakukan nenek saat itu justru membuat Rano makin jengah. Nenek hanya mematung seolah mendukung tindakan tak pantas yang dilakukan bibi.
"Jahat sekali, mereka meminta adikmu untuk mencuci pakaian di hari yang dingin seperti ini. Sebenarnya mereka ini keluarga atau bukan?"
Restu tidak habis pikir dengan adik perempuannya. Usia adiknya itu sudah tua, bagaimana bisa ia meminta Rena yang masih 11 tahun mencuci pakaian. Sungguh tidak masuk akal.
Namun, di depan anak-anaknya, Restu tetap saja membela Mulan, adiknya, "Mungkin bibi sedang tidak enak badan, kali ini Ayah akan bertanya langsung kepadanya."
Dewi tahu benar bagaimana Mona, tapi ia tak mau repot-repot bercerita pada suaminya. Setelah bertahun-tahun, Dewi tak percaya jika suaminya itu tak pernah tahu tabiat buruk adik perempuannya.
"Dewi, pergilah ke rumah sakit untuk mengobati lukamu. Obati luka di wajahmu dan pastikan tidak ada bekas luka" kata Restu agak licik. Ia ingin menutupi penderitaan Dewi di depan mertuanya.
Dewi memang memiliki wajah yang sangat cantik, bahkan lebih cantik dari saudara perempuannya. Jika sampai ada bekas luka di wajah Dewi, akan sulit bagi Restu untuk menjelaskannya di hadapan sang mertua.
"Kalau begitu, jaga anak-anak, aku akan pergi ke rumah sakit dan segera kembali". Dewi yang sedari tadi juga merasakan luka terbakar di wajahnya pergi ke rumah sakit. Ia tak tahu luka apa yang ada di wajahnya, tapi ia berharap jika luka di wajahnya bukan luka infeksi karena ia tak lagi punya banyak uang untuk membayar.
Begitu Dewi pergi, Rena berlari dengan terengah-engah, "Ayah, Mona baik-baik saja?"
"Jangan khawatir, Mona baik-baik saja. Kata dokter, Mona hanya memerlukan obat-obatan untuk menghilangkan peradangan di kepalanya."
Melihat putrinya berkeringat, Restu menggunakan lengan bajunya untuk mengusap dahi Rena. Restu melihat tangan kecil Rena merah dan bengkak. Restu menggenggam erat tangan Rena, berharap sedikit meringankan beban Rena, setidaknya membuat gadis itu merasa hangat.
"Ayah, tidak apa-apa. Aku tidak kedinginan. Ketika aku baru selesai mencuci pakaian, aku mendengar tetangga mengatakan Mona di bawa ke rumah sakit. Lalu, kemana ibu, kemana ia pergi?".
Rena sangat khawatir dengan keadaan ibunya. Ia tak melihat ibunya sejak ia pertama kali datang.