Restu datang membawakan makanan untuk anak dan istrinya. Dia merasa sangat bersalah karena tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk keluarganya.
Mona melihat ayahnya membawakan bubur nasi dan sayur bening dengan sedikit kuah. Di mangkuk terpisah ada oseng kubis tanpa minyak Melihat dua mangkok kecil yang dibawa ayahnya, Mona tidak memiliki nafsu makan. Apalagi ia hanya melihat dua potong kue kecil sebagai jatah makan ayah dan ibunya. Mona yakin jika dua potong kue tersebut tak akan cukup membuat ayah dan ibunya kenyang.
"Bu, aku ingin makan bubur sedikit. Setelahnya aku akan minum obat. Aku tidak ingin lainnya lagi. Aku akan mual jika makan terlalu banyak"
Dewi mendengar penjelasan dokter sebelumnya paham jika gegar otak yang dialami Mona memang menyebabkan mual. Jadi, dia tidak memaksa Mona makan. Dewi pun memakan sepotong kue dan menyimpan sepotong lainnya, berjaga-jaga kalau Mona tiba-tiba merasa lapar.
Mona berkata, "Bu, jangan simpan sepotong kue itu. Pasti rasa kue itu tidak akan enak dan akan terasa keras jika sudah dingin. Kenapa ibu tidak memakan semuanya saja sekarang?"
Dewi menyentuh wajah pucat putrinya dan berkata dengan sedih, "Nak, jangan berpikir konyol, bagaimana jika kamu lapar di tengah malam? Tidak ada lagi yang bisa dimakan di rumah."
"Bu, tidak usah khawatir, kami membawakan makanan untuk adik." Eko, Rena, dan Rano datang dengan roti berukuran sedang yang kini tinggal setengah.
Setengah roti, artinya setengah yang lain sudah dimakan ketiga kakaknya. Sekarang hanya tersisa setengah roti untuk Mona. Padahal, untuk ukuran dewasa, sepotong roti ukuran sedang belum cukup untuk membuat perut kenyang.
Mona tahu betul jika kakak-kakaknya belum kenyang. Mereka hanya memakan secuil roti karena setengah roti mereka makan bertiga.
Mona terharu, sedih tapi bahagia. "Kak, aku sudah kenyang, makanlah sisa roti itu. Lihatlah perutku sudah buncit".
Untuk meyakinkan kakaknya jika ia sudah benar-benar kenyang, Mona tidak ingin kakak-kakaknya kelaparan. Selain itu, Mona memang merasa mual, efek samping gegar otak sekaligus obat yang dikonsumsinya.
Dewi tersenyum dan memeluk anak-anaknya, "Eka, Rena, Rano, Putri Kecil ibu benar-benar tidak bisa memakan roti itu. Jadi,cepatlah kalian makan bertiga, roti itu tidak akan enak jika sudah dingin."
Anak-anak melihat ibu mereka, tersenyum lembut dan kemudian memakan roti yang sisa setengah dengan lahap.
Tak lama, Restu kembali. Sedari tadi Restu makan malam di meja makan bersama ibu dan saudaranya, membiarkan anak dan istrinya makan di dalam kamar. Bukan berarti Resti tega dengan anak istri. Buktinya, Restu berusaha menyembunyikan setengah roti di balik bajunya. Ya, Restu hanya memakan setengah jatah makan malamnya. Ia memilih menyimpan setengahnya untuk anak-anak dan istrinya, jaga-jaga jika ada yang terbangun tengah malam karena lapar.
"Dewi hari ini kamu dan anak-anak sudah cukup menderita. Aku akan pergi meminta bantuan tetangga, Keluarga ini benar-benar sudah kacau. Aku tidak sudi lagi meminta bantuan mereka."
"Ayah, sebaiknya kita membuat perjanjian tertulis. Kau tak ingin nenek mengusik lagi keluarga kita. Bahkan, jika nantinya kita hidup berpisah, aku tak ingin masalah nenek tetap membuat kita gelisah", Rano mengingatkan ayahnya.
Anak-anak melihat ibu mereka berkata demikian, dan kemudian mereka mengambil pancake dan memakannya dengan lahap. Setelah ketiga anak selesai makan setengah dari pancake di tangan mereka, Dewi memberikan sisa pancake kepada tiga saudara laki-laki dan perempuan. Makanlah secara terpisah.
Restu mengangguk, bak seorang pahlawan, Restu membalikkan badan dan menyeringai, "Bu, mengapa Ayah pergi dengan ekspresi wajah seperti ini?".
Dewi menggendong Mona yang keheranan melihat tingkah ayahnya. Ia meletakkan Mona dipangkuannya dan mencubit kecil hidung Mona. "Kamu pikir ayahmu kebal, bagaimanapun juga dia adalah ibunya. Jika Ayahmu menunjukkan kesedihan dalam raut mukanya, maka itu bukan Ayahmu."
Dalam waktu singkat beberapa tetangga dan perangkat desa yang diundang Restu datang. Proses pemisahan keluarga dimulai. Sebentar lagi Restu bukan bagian dari keluarga besarnya. Beberapa tetangga yang mendengar cerita lengkap pemisahan keluarga ini pulang dengan menggelengkan kepala.
Ketika Restu dan Dewi kembali ke kamar, anak-anak sudah tertidur pulas. Mereka kemudian bergegas menyusul tidur karena esok hari mereka harus pindah rumah.
Keesokan harinya, kehidupan di desa sudah berjalan normal. Kamar sebelah yang dihuni keluarga besar nenek sudah mulai sibuk dengan perut kenyang. Sementara di kamar Dewi, semua orang masih merasa lapar. Tapi, tidak ada yang berani buka suara. Mereka tahu jika nenek tidak mungkin memberi mereka makan. Merengek lapar pada neneknya justru akan membuat mereka kecewa dan orangtuanya merasa malu.
Tadi malam adalah malam pertama Mona tinggal di sini. Merasakan hidup lagi setelah terlahir kembali dari kematian di kehidupan sebelumnya. Mona tidur dengan nyenyak malam itu dan bangun di pagi hari, di pelukan ayahnya.
"Sayang, waktunya bangun, hari ini kita akan pindah rumah."
Ini adalah pertama kalinya Mona tidur di pelukan orang asing. Ya, Ayah adalah orang asing di kehidupan Mona yang sekarang karena ingatannya masih sebagai Mona di kehidupan sebelumnya. Tapi, bagi pemilik jasad Mona kecil yang sekarang, tentu ayah bukan orang asing, Bahkan, Mona merasa jika tubuh kecil ini sangat dekat dan sering dininabobokan oleh ayahnya.
"Ayah, kita akan pindah ke mana?" Ketiga anak yang sudah bangun bertanya serempak.
Tidak ada tempat bagi mereka di rumah ini. Mereka telah diusir dan anak-anak bingung harus tidur dimana esok hari.
"Anak-anak, tenanglah, Ayah sudah memikirkannya. Kita akan mmebangun gubu sederhana di sekitar sini sebagai tempat tinggal kita sementara. Setelah ini, kita akan menabung dan membangun rumah baru, setuju?".
"Ayah, Ayah boleh mengajak kami tinggal di mana saja, tetapi bisakah Ayah membangun gubuk jauh dari rumah nenek?", Eka bergumam dengan enggan.
"Ayah, apakah barang-barang ini cukup untuk keluarga kita?", Mona meragukan barang-barang yang diletakkan di tanah tersebut cukup untuk semua anggota keluarganya.
Hanya ada 3 karung beras kecil, beberapa mangkok, piring, sendok, panci, spatula, dan tidak ada lagi barang berharga.
"Bocah bodoh, itu sebabnya ayah memilih membangun rumah di dekat sini, Kita bahkan tidak punya ember untuk menampung air. Kita harus tetap berada di lingkungan ini agar ada yang menolong kita. Keluarga ini benar-benar tidak lagi peduli kepada kita. Bahkan, mereka tidak menyertakan kain atau tudung saji untuk sekedar menutup makanan kita dari kotoran lalat."
"Ayah, bukankah Ayah punya jatah warisan tanah saat Ayah memutuskan memisahkan diri dari keluarga?" Mona sudah sering mendengar neneknya berbicara tentang pembagian warisan tanah dari sang nenek di kehidupan sebelumnya. Tanah itu sekiranya cukup untuk kehidupan mereka selama setahun mendatang.
"Ayah tahu. Ayah sudah meminta tolong perangkat desa mengurus pembagian tanah. Tapi, mereka baru bisa mengukur 2 hari lagi", jelas Restu yang didengarkan semua anggota keluarga.
Mona ingin mengatakan jika ia ingin ikut andil membangun gubuk. Namun, ayahnya sangat sibuk menyiapkan peralatan pertukangannya. "Oke, Mona, pergilah bermain bersama Rano."
Pagi hari itu mereka tidak punya makanan untuk sarapan. Jadi, Restu tidak punya rencana lain kecuali menyuruh dua anak terkecilnya bermain dengan perut kosong.
Dewi masuk ke kamar, "Restum aku berhasil mendapat pinjaman uang dari temanku. Kita bisa menggunakan uang itu untuk membangun gubuk dan sisanya untuk membeli makanan."
Mona dan Rano sedang asyik bermain. Keduanya sedari tadi memang diperintahkan bermain oleh Dewi dan Restu. Mereka masih terlalu kecil untuk membantu membangun gubuk.
Rano mengajak Mona berkeliling desa, tetapi semua orang sedang sarapan, dan hanya sedikit anak-anak yang bermain di luar rumah. Keduanya akhirnya hanya memilih berputar-putar, mengamati situasi desa.
Seluruh desa nampak arif dengan kehidupan lokalnya. Di desa ini ada ratusan keluarga yang tinggal di rumah-rumah di sepanjang jalan utama. Ada gunung di utara dan bukit pasir di selatan. Di bukit paling bawah ada sungai yang mengalir dari barat ke timur. Mona dapat melihat dengan jelas tanaman yang banyak tumbuh subur di bukit tersebut adalah jenis Sophora japonica , Jenis tanaman yang bisa dibingkai untuk dijadikan souvenir. Di seberang sungai terdapat lereng bukit, dan di lerengnya ada kebun buah-buahan. Sementara di balik kebun buah tersebut ia tak tahu ada apa lagi. Rano hanya tahu jika di balik kebun buah itu hanya ada waduk kecil yang digunakan untuk tadah air hujan. Semantara di bagian Timur desa adalah area persawahan dan di bagian utara Dia tidak tahu lagi apa yang ada di balik kebun buah itu. Ia hanya tahu di balik kebun itu ada waduk kecil untuk menampung air hujan. Sementara di bagian timur desa dipenuhi dengan area persawahan dan di sebelah barat merupakan tanah kosong yang rata-rata dimiliki keluarga kaya.
"Kak, kenapa kita tidak pergi mencari jerami dan ranting. Jika nanti ibu ingin memasak atau menghangatkan badan di malam hari, setidaknya kita sudah punya jerami dan ranting untuk dibakar."