Chereads / Pelangi Kehidupan Mona / Chapter 6 - Gubuk Baru

Chapter 6 - Gubuk Baru

Rano yang menyetujui ide adiknya bergegas membuat pengait jerami dari carang bambu. Yaitu ranting bambu yang bengkok. Ia mengumpulkan beberapa carang bambu, mengikatnya jadi satu dan kemudian digunakan untuk mengumpulkan jerami dengan gerakan mengayun. Dengan pengait ini, Rano dan Mona aka mengumpulkan jerami lebih cepat.

Dari kejauhan, Mona melihat adik laki-lakinya membawa keranjang dan pengait jerami. Rano terlihat sempoyongan karena keranjang yang dibawanya seukuran dengan badannya.

"Kak, biarkan aku membawa keranjangnya. Kamu bisa membantuku dengan membawa pengaitnya agar kamu tidak jalan sempoyongan."

"Dik, apa kepalamu masih sakit? Jika kepalamu masih sakit, aku akan pergi mencari rumput sendirian".

" tidak usah khawatir, kepalaku hanya sakit sesekali. Aku akan meminum obatnya siang nanti, dan lihat saja aku akan sembuh dalam beberapa hari."

Rano mengambil alih keranjang jerami dari tangan adiknya. Ia kemudian membenarkan jaket ang adik sebelum mulai mengumpulkan jerami.

"Kak, ayo kita mencari jerami di tengah sawah. Di sana pasti banyak jerami, keranjang ini akan segera penuh. Ditambah dengan ranting kecil, ibu pasti bisa menggunakannya sebagai pengganti kayu bakar untuk memasak."

Mona mulai mendengar perut kakaknya keroncongan. Jelas saja, mereka tidak punya apapun untuk dimakan pagi ini.

Rano menggandeng tangan adiknya. Dalam ingatan Mona, tempat yang didatanginya bersama sang kakak ini adalah sawah yang sudah masuk kawasan desa tetangga. Untuk mencapainya, Mona dan kakaknya harus melewati areal keramat, areal sepi yang banyak didapati kuburan tak bernama.

"Kak, ada banyak kuburna disini. Apakah kau berani melewatinya?".

Mona sebelumnya mungkin tidak percaya dengan arwah dan hantu. Namun, pengalaman spiritualnya di alam arwah sampai akhirnya menyusup ke raga yang baru memaksanya percaya.

Rano tidak peduli dengan perkataan adiknya. "Mona, ini kuburan tanpa nama, tidak ada yang tahu siapa yang meninggal dan dikubur di dalamnya. Jika memang mereka gentayangan, harusnya mereka sudah bereinkarnasi sejak lama. Jangan takut, ada kakak laki-lakimu disini. Dan lihatlah mona, disana ada parit kering. Pasti banyak jerami, ayo kumpulkan dan kita segera pulang "

Mona tidak bisa menceritakan siapa dirinya dan bagaimana sejatinya alam arwah, jadi dia hanya bisa mengikuti Rano dan mengumpulkan jerami dengan pengait yang telah dibuat sebelumnya.

Ada beberapa kuburan yang tandus di kedua sisi parit, namun sudah rusak.Gerbang makam di bagian depan makam juga sudah roboh.

Rano mengambil pengait jerami dan mulai menyapu rumput dengan cepat. Mona mengikuti di belakang dan memasukkan jerami ke keranjang. Tak lama kemudian mereka berhasil mengisi penuh keranjang yang dibawa. Rerumputan itu ringan dan tidak berat sehingga mereka bisa menjejalkan jerami lebih banyak dengan menekan jerami yang ada di keranjang.

"Rano, ayo kita angkat bersama, kamu tidak akan kuat membawanya sendirian."

Rano sempat keras kepala. Ia mencoba mengangkat keranjang yang penuh jerami itu sendirian. Namun, akhirnya ia menyerah dan menyetujui usul adiknya. Rano menyisipkan tongkat di tengah keranjang sehingga keranjang itu kini punya pegangan untuk diangkat bersama-sama.

"Dik, bisakah kita mengangkat keranjang ini bersama? Jika tidak bisa, mari kita meminta bantuan kak Eka untuk membawanya pulang."

"Tidak, ini hanya sekeranjang jerami. Kita pasti bisa mengangkat dan membawanya pulang."

Mona benar-benar melebih-lebihkan kekuatannya. Ia yang masih berusia 7 tahun dan Rano yang masih 9 tahun tentu saja akan sempoyongan mengangkat keranjang yang penuh dengan jerami. Apalagi, beban berat harus mereka angkat tanpa sarapan pagi ini.

Keduanya berjalan gontai melewati jurang dengan sekeranjang rumput. Mona berjalan di depan dan Reno mengikutinya mengambil posisi di belakang. Namun di sepanjang jalan, Mona merasa beban di pundaknya semakin ringan. Ia menoleh kebelakang dan paham jika tongkat yang digunakan untuk memikul beban jerami bersama tidak imbang. Sang kakak membiarkan bagian tongkatnya lebih panjang sehingga ia memikul beban lebih berat dari Mona. Mona merasa bahagia memiliki saudara laki-laki yang sangat mencintai saudara perempuannya.

Ketika mereka sampai di rumah, gubuk sederhana yang akan mereka tinggali hampir rampung. Tidak ada yang istimewa dari gubuk itu, hanya batang pohon yang akarnya masih menancap di tanah yang dijadikan sebagai pondasi. Beberapa papan kayu kemudian ditata di atas batang pohon yang sudah ditebas ranting dan daunnya. Tidak ada paku, papan kayu tersebut hanya ditata dan diikat dengan kabel bekas. Papan kayu yang sudah tertata rapi ini kemudian ditutup dengan perlak plastik. Ementara itu, dinding gubuk terbuat dari anyaman bambu yang dibuat sendiri oleh Eka dan ayahnya. Tak lupa mereka menempatkan jendela di salah satu sisi gubuk. Jendela ini bisa dibuka dengan batuan ranting pohon sebagai penyangga.

Gubuk sudah selesai di bangun. Namun, kayu yang digunakan baru saja ditebang sehingga gubuk masih lembab. Ditambah lagi udara yang dingin membuat keluarga Restu membutuhkan banyak jerami dan ranting untuk membuat perapian. Untung, Mona dan Reno sudah mempersiapkannya sejak siang tadi.

Gubuk dibangun dengan cepat berkat bantuan para tetangga. Sebagai ucapan terimakasih, Restu mengundang orang-orang yang sudah membantunya untuk makan malam. Namun, undangan tersebut ditolak. Mereka tahu jika keluarga Restu sedang kesulitan sekarang, dan bahkan kekurangan bahan makanan. Jadi, mereka tidak mungkin menerima ajakan keluarga Restu meski sekadar untuk makan bersama.

"Restu, mari kita memasak. Kasihan anak-anak, mereka pasti lapar."

Sesaat sebelum mulai memasak, Dewi ingat jika tidak ada kayu bakar di rumah. Eka kemudian meminta ibunya tenang karena ia akan segera pergi menjari ranting dan jerami.

Tepat setelah Eka mengakhiri ucapannya, Mona dan Rano datang. Mereka berteriak girang sambil meminta tolong kakak tertuanya, Eka untuk membantu mengangkat sekeranjang penuh jerami dan beberapa ikat ranting.

Air mata Dewi mulai membasahi ujung matanya. Ia tak menyangka jika dua anak bungsunya sudah tahu bagaimana cara membantu keluarga tanpa perlu dikomando. Namun, Dewi kembali ingat jika Mona masih dalam kondisi sakit. Mereka juga pergi tanpa sarapan. Jadi, mengapa mereka melakukan pekerjaan berat?

Restu dan Dewi berlari menghampiri Mona dan Rano, mengambil alih beban jerami dan ranting di pundak kecil mereka. Dewi juga bercerocos memarahi Rano, "Rano, apakah kamu tidak berpikir, adikmu masih sakit. Bagaimana bisa kamu mengajaknya keluar rumah untuk mencari jerami dan ranting?"

"Sekarang, masuklah ke rumah bersama adikmu. Ibu akan memasakkan makanan untuk kalian sebentar."

"Bu, aku sudah hampir sembuh, aku tidak apa-apa", ucap Mona membela Rano yang mulai terlihat merasa bersalah.

Rano membuntuti adiknya masuk ke gubuk. Ia memperhatikan sekitar dan bertanya pada ibunya.

"Bu, tidak ada teko atau gelas di rumah. Bagaimana kita bisa minum ketika haus?"

"Tidak apa-apa. Setelah kita semua selesai makan, ini akan pergi ke agen air isi ulang, membeli galon dan mampir ke toko untuk membeli beberapa gelas plastik", ucap Dewi menenangkan.

"Restu, anak-anak sudah lapar. Bisakah kau membantuku mengambil air untuk memasak nasi?"

Restu beranjak keluar untuk mengambil air. Namun, belum lama Restu pergi, terdengar suara nenek yang tinggal di sebelah rumah lama mereka. Restu yang baru saja kembali mengambil air dikejutkan dengan kehadiran nenek yang dipanggilnya bibi itu.

Dewi melirik suaminya, "Bukankah kamu ingin meminjam ember air sekarang?"

"Emmm" jawab Restu dengan suara yang membosankan.

Dewi memahami perasaan batin suaminya saat ini, dan berusaha mencairkan ketegangan, "Restu, kamu tidak tahu orang seperti apa bibi ini sebenarnya. Jangan terlalu marah ".

Dewi mulai menyalakan api dan memasak. Karena tungku masih baru, asap mengepul dan memenuhi rumah. Anak-anak sampai harus keluar rumah dan menunggu diluar.

"Eka, apakah kamu sudah makan?" Bibi tua itu ternyata datang tidak dengan tangan kosong. Ia membawa keranjang di punggungnya dna merasa aneh kenapa anak-anak harus menunggu di luar rumah.

"Nek, kita belum makan. Ibu masih menyiapkan makanan untuk kami", jawab Eka jujur.

Bibi tua ini memang sudah menjadi penyelamat bagi keluarga Restu, Kemarin, ia membatu Dewi dan Mona yang hampir saja dibunuh Mulan dan ibunya. Dan sekarang, ia kembali datang, tak pernah lelah peduli dengan keluarga Restu.

"Nek, kamu mau kemana?" Mona menyapa wanita tua itu dengan hangat.

"Putri Kecil, apakah kau sudah sembuh? Jangan lagi kamu mau dibujuk nenekmu, jangan sampai mau diajak kembali ke rumah itu". Bibi tua itu kemudian berlalu memasuki gubuk baru keluarga Restu.

Dewi dan suaminya sedang memasak kala itu. Mereka mengalihkan pandangannya dari tungku yang masih berusaha dinyalakan, menyapu pandangan ke arah bibi yang sedang menggandeng tangan Mona.

"Bibi, kenapa berdiri di sana, masuk dan duduklah".

Melihat asap yang memenuhi ruangan, bibi tidak bisa menahan diri untuk tidak menggelengkan kepalanya. "Restu, wanita itu bukan lagi ibumu. Lihatlah apa yang sudah ia lakukan kepadamu. Lihatlah rumahmu saat ini. Kamu harus datang ke rumahku nanti, bawalah dua mangkuk untuk mengambil sayur. Kamu juga boleh memetik beberapa sayuran segar untuk dimasak. Anak-anakmu butuh nutrisi untuk tetap sehat. Bagaimana bisa kamu memberi mereka makan tanpa lauk? Dan ini, aku bawakan makan siang untuk kalian. Tungku baru akan sulit dinyalakan, apinya tidak akan bisa langsung digunakan untuk memasak. Jangan membuat anak-anak kelaparan".

Bibi memperlihatkan isi tas yang dibawanya. Ia juga mengeluarkan enam potong kue, dan meletakkannya pada dua piring berlukiskan bunga yang dibawa dari rumah. Ia juga membawakan sembako lain, seperti bumbu dapur dan minyak.

"Bibi, apa yang kamu lakukan? Jangan repot-repot, bawalah semua ini kembali."

"Restu, aku tidak punya banyak bahan makanan untuk kuberikan kepada keluargamu. Jika kamu tidak bisa menerimanya, maka anggaplah aku tidak memberinya untukmu, tapi untuk anak-anak. Aku tidak bisa lama disini, kamu bisa mengantar pringnya ke rumahku setelah kalian selesai makan."

Bibi tua itu tidak sempat duduk. Sepertinya ia memang terburu-buru dan langsung meninggalkan rumah.