"Nak, ibumu baik-baik saja, balut saja luka tanganmu dan segera kembali."
Restu dengan lembut menghibur, melihat ekspresi khawatir di wajah Rena.
"Ren, jangan lagi kamu mau mencuci baju bibi. Dia sudah dewasa, harusnya dia bisa melakukan itu sendiri. Jika ia menyuruhmu lagi, katakan saja padaku", kata Eka menyesal karena ia tak bisa melindungi adiknya. Eka tak habis pikir bagaimana bisa bibi dan neneknya saling mendukung untuk hal semacam ini.
"Kak, tidak apa-apa. Bukankah bibi hanya menyuruhku mencuci pakaian. Pekerjaan semacam itu tidak akan membuatku mati. Aku hanya sedih jika nenek dan bibi bertindak tak adil pada ibu dan adikku. Para tetangga bercerita jika nenek dan bibi memukuli ibu hingga hampir tewas. Coba kakak pikir, apakah ada dari anggota keluarga kita yang belum menjadi korban kekejaman mereka?"
Kata-kata Rena terdengar di telinga Restu, hatinya mulai sakit, tapi berkecamuk. Restu tahu jika anak-anaknya sering dihardik oleh paman, bibi, serta neneknya. Namun, Restu sadar sepenuhnya jika paman dan bibi anak-anaknya adalah saudaranya yang harus dihormati. Sedangkan nenek yang sering menghardik cucunya itu adalah ibu Restu yang sudah banyak berjasa. Di tahu jika iu yang sangat disayangi dan dihormatinya itu sudah berbuat tak adil. Di lain sisi ada istri dan anak-anaknya yang sudah hidup menderita bersamanya bertahun-tahun.
Restu harus menelan dilema hidup. Di saat yang sama ia merasakan kesedihan, mengapa ibunya memperlakukan keluarganya seperti ini. Padahal, ia juga anak lelaki di keluarga, anak lelaki yang tidak pernah sekalipun mengecewakan ibu dan juga saudara-saudaranya. Ia berusaha keras membahagiakan ibu dan saudaranya, tapi ia terus direndahkan. Sungguh sulit bagi Restu untuk menjadi anak lelaki yang baik sekaligus ayah dan dan suami yang baik untuk keluarganya sendiri.
"Ayah, Ayah harus menemukan beberapa tetangga atau orang dewasa jika Ayah meninggalkan kami. Kami tak menginginkan apapun, kami hanya ingin ada yang menjaga dan kami ingin hak kami. Jika nantinya kami harus hidup di gubuk, kami rela. Kami tidak pernah berpikir serakah atau berniat menguasai harta."
Restu terkejut, Rano yang belum sepenuhnya dewasa bisa berpikir bijak, apalagi soal harta. "Nak, jika kamu merasa lelah dan khawatir dengan masa depanmu, kamu tidak perlu mengeluhkannya sekarang, Ayah akan berusaha demi masa depan kalian."
Rano yang sedari tadi berdiri di samping ayahnya memerosotkan tubuhnya, posisinya berubah menjadi jongkok bersandar di dinding. Rano tertawa menyeringai, menertawakan perawakan Ayahnya yang sok tenang. "Ayah, menurutmu kami tidak tahu kesulitan yang sedang Ayah alami? Bukankah begitu, kakak?"
Eka dan Rena sepakat mengangguk dengan penuh semangat ketika mendengar pernyataan adik lelaki mereka. Keduanya berpikir meminta tolong kerabat di kampung untuk menjemput mereka sekeluarga. Sedikit merepotkan orang lain, namun inilah yang terbaik saat ini.
Mona yang sempat tak sadarkan diri akhirnya membuka matanya. Dengan pandangan yang masih buram, Mona melihat kerabat yang menjaganya. Semuanya terlihat bahagia melihat Mona kembali sadar.
Mona amat bahagia karena ruhnya hidup kembali di tengah keluarga seperti saat ini. Di kehidupan sebelumnya, Mona hidup di tengah keluarga broken home yang kemudian masing-masing orang tuanya memilih memulai hidup baru, memiliki anak dengan pasangan barunya masing-masing. Kenyataan ini membuat Mona di masa lalu hanya sebagai beban. Ia merindukan saat seperti sekarang, kehangatan dan kasih sayang keluarga.
"Yah, Bu, aku sudah tidak apa-apa, bisakah kita pulang setelah infus ini habis?."
Meski Mona mengatakan dirinya sudah tidak apa-apa, nyatanya kepalanya masih terasa nyeri. Mona masih butuh waktu lama untuk pulih. Tapi, keluarganya tidak punya banyak biaya. Jika nantinya mereka harus hidup berpisah dari sang nenek, kemungkinan mereka hanya akan diberi uang saku sedikit. Membawa Mona pulang sekarang setidaknya bisa menghemat pengeluaran karena mereka masih butuh banyak uang untuk keperluan lainnya di masa mendatang.
Dewi Khawatir dengan kondisi Mona. Ia kemudian meminta dokter memeriksanya lagi.
"Dokter, kepalaku sudah tidak sakit lagi, aku ingin pulang hari ini. Bisakah kau mengizinkan aku pulang?"
Dokter dengan sangat hati-hati menyentuh kepala Mona yang bengkak, "Nak, benjolan di kepalamu belum hilang. Jadi, lebih baik jika kamu dirawat di sini satu hari lagi."
Mona meraih tangan dokter dan berbisik di telinga dokter yang kini dipanggilnya kakek itu. "Kakek, keluargaku tidak memiliki uang. Hari ini keluargaku berhutang untuk biaya pengobatanku. Jadi, bisakah aku rawat jalan saja? Tolong resepkan obat dan aku akan pulang. Jika nantinya ada masalah, aku akan menelpon kakek dan kembali kesini"
Dokter tua itu hanya bisa membalas ucapan Mona dengan menghela napas. Ia sedikit heran karena Mona yang masih kecil sanggup berpikir dewasa.
"Silahkan ditebus dulu obatnya. Pastikan Mona meminum obat dengan rutin. Harusnya tidak ada masalah lagi."
"Terimakasih, dok". Restu buru-buru menuju loket obat. Dewi dan anak-anak menunggu hingga bungkusan obat kecil disodorkan melalui loket obat.
Segera setelah obat di tangan Restu, perawat diperintahkan mencabut jarum infus. Restu juga dipesan oleh dokter agar kembali untuk mengontrol keadaan ona setelah obat habis.
"Ayah, ayo kita pulang" Mona jarang menikmati cinta ayahnya, dan bertingkah seperti bayi sebelumnya.
"Oke, ayo pulang bersama Ayah.
Restu memeluk putrinya dan keluar dari rumah sakit bersama anak-anak. Dia melihat kembali nama rumah sakit itu sebelum benar-benar pergi. Dia melihat plang nama rumah sakit yang menggunakan nama tokoh besar.
Mona yang berada di gendongan ayahnya hanya diam. Namun, ia begitu mengamati lingkungan barunya. Orang-orang di jaman ia hidup sekarang berpakaian sangat sederhana. Warna-warna yang digunakan juga didominasi warna gelap, hanya ada sedikit corak. Beberapa orang yang ditemui Mona di jalan juga terlihat sangat renta. Sementara benda yang ada di rumahnya juga tidak jauh beda. Baju-baju keluarganya juga sudah banyak yang ditambal dan lusuh. Meski demikian, semua baju keluarganya dijamin bersih karena Dewi selalu menjaga kebersihan keluarganya.
Menghirup udara segar khas pedesaan, Mona merasa makin hidup. Ia punya banyak harapan dengan kehidupan barunya kali ini.
Letak rumah sakit tempat Mona usai dirawat tak jauh dari tempat tinggal mereka. Mereka hanya perlu berjalan kaki setengah jam untuk segera sampai di rumah.
Sesampainya di rumah, kerumunan tetangga yang sebelumnya menyaksikan kekejaman bibi dan nenek di pekarangan sudah bubar. Mona melihat ada beberapa pot di pekarangan yang ditumbuhi rumput mati dan ditimpa dedaunan kering. Beberapa rantung kecil juga berserakan di tanah. Jelas tidak ada seorangpun di rumah saat itu. Mereka kemudian bergegas menyapu daun kering dan mengumpulkan ranting untuk menyalakan api.
Mona paham betul jika menyalakan api dengan ranting dan daun adalah cara sederhana untuk memasak dan menghangatkan badan. Mona yang ada di kehidupan saat ini memang masih 7 tahun. Namun, di kehidupan sebelumnya, ruhnya sudah punya umur hampir 20an. Mona pernah ada di kehidupan bersama seorang nenek yang bercerita banyak hal, termasuk bercerita puluhan kali tentang memasak dengan membuat api di luar rumah.
"Dewi, tinggalah dulu bersama anak-anak. Aku akan berbicara dengan ibu."
Dewi kemudian mengajak anak-anak duduk di pojok teras yang kini menjadi tempat tinggal mereka untuk sementara. Semua hanya terdiam, namun tetap mendengar suara yang datang dari pintu sebelah.
Setelah beberapa saat, terdengar suara nenek meninggi. Semua tahu jika ayahnya pasti sedang dihina dan dicaci.
"Bu, aku tak tahu bagaimana Ayah bisa tahan bertahun-tahun hidup dengan keluarga seperti ini."
Rena mengerutkan bibirnya, ia melirik kepada Eko. "Kak, Ayah sudah biasa menerima cacian seperti ini. Tapi, aku tak mau jika kita nantinya juga terbiasa menerima cacian seperti Ayah."
Tak lama terdengar suara lain dari seorang lelaki tua. Mona memperkirakan jika suara tersebut adalah kakeknya, kakek yang belum ia pernah temui. Dalam ingatannya, kakek adalah orang yang baik dan berpikir bijak. Tapi, percuma saja karena tetaplah lelaki yang tidak bisa mengontrol tindakan istrinya.
Beberapa saat kemudian tidak lagi terdengar suara berisik dari dalam kamar. "Bu, kenapa jadi sepi? Mungkinkah nenek sudah berjanji memberi kita tempat untuk tinggal?".
Kepala Mona mulai sakit dan memutuskan untuk tidur. Mona tidak memiliki kekuatan untuk menanggapi situasi di sekitarnya. Ia harus istirahat secepatnya.
Rano merenggangkan pinggangnya. Ia yang sedari tadi memangku Mona mulai lelah. Ia memindahkan Mona yang sudah tertidur pulas ke pangkuan Eka. "Kak, jangan bermimpi nenek akan memberi kita tempat tinggal. Saya rasa, itu adalah hal mustahil. Bukankah begitu, Rena?".
Setelah berusaha membujuk ibunya, Restu kembali dengan wajah sedih. Ketiga anaknya yang masih terjaga menatap wajah ayahnya yang muram. Tanpa bicara, mereka tahu apa arti raut muka ayahnya.
"Restu, bagaimana hasilnya? Apa kata ibu?"
"Ibu mengizinkan kita tinggal disini, tapi hanya malam ini. Besok kita harus pergi. Ibu setuju memberikan kita 50 kilo beras enam mangkuk, lima piring, satu panci, satu spatula dan perhiasan perak seharga 500 ribu. Hanya itu harga yang boleh kita bawa, tidak ada lagi yang lain".
"Uang untuk naik bus dan makan anak-anak tidak diberikan? Bagaimana bisa kita bertahan hidup berenam?".
Dewi khawatir jika keluarganya tidak cukup sumber makanan untuk bertahan hidup. Apalagi, di kampungnya sekarang sedang paceklik. Pasti susah mendapatkan bahan makanan, apalagi pekerjaan.
"Ibu berkata jika adik laki-laki dan perempuan ku sudah dewasa, dan khawatir jika persediaan makanan di rumah tidak cukup. Jadi, ibu menyimpan beras lebih banyak di rumah dan hanya memberikan kita sedikit."
Dewi yang marah menyeringai mengejek, "Oh, jadi anak kita tumbuh besar tidak memerlukan makan? Mereka bisa tumbuh besar hanya dengan diberi air minum? Jika kita ingin anak-anak kita tumbuh sehat, kita juga butuh beras dan juga lauk".
Restu menatap wajah istrinya yang merah padam, "Ibu bilang jika di rumah tidak tersisa beras banyak. Harta yang tersisa juga tidak banyak. Jadi, biarkan aku berusaha mencari cara lain, aku akan berusaha menghidupi kalian."
Rano langsung menimpali perkataan sang ayah yang seolah membela neneknya. "Ayah, jadi ketika kita kelaparan dan pingsan di depan kandang sapi, apakah sapi yang memiliki banyak susu bisa menolong kita?"
Restu tidak bisa menanggapi perkataan Rano. Ia tak tahu maksud sang ibu mengurangi jatah beras keluarganya, apakah sang ibu ingin ia berusaha lebih keras agar anak-anak tidak kelaparan, atau memang serakah dan tak ingin berbagi dengan keluarganya.