Waktu berjalan cepat. Matahari yang tadinya ada dilangit, sekarang digantikan bulan dengan cahaya lembutnya. Seperti biasa, aku hendak membaca novel. Tapi teringat kejadian tadi pagi, aku segera memeriksa jadwal untuk besok. Aku memutuskan belajar sebentar untuk persiapan ulangan Matematika besok lusa. Belum juga sampai satu jam, kantuk mulai menyerangku. Namun tak jadi, aku mendengar suara ribut-ribut dilantai bawah.
"Bi Inem! Genta sama Disha mana?" itu suara papa yang bertanya ke Bi Inem.
"Non Disha sudah tidur di kamarnya tuan, kalo den Genta masih belum pulang," Bi Inem menjelaskan ke Papa. Genta, dia adalah kakak ku. Kak Genta sekarang kuliah di salah satu Universitas negeri terbaik dikota kami. Beda dengan ku, kak Genta berani terang-terangan menentanh papa dan mama. Kak Genta akhir-akhir ini memang sering pulang larut malam. Entah kemana dia! kak Genta tak memberitahu siapapun, termasuk aku. Sebenarnya aku lebih akrab dengan kak Genta karena ia selalu mengerti perasaanku. Kak Genta lebih mengerti aku dari pada orang tuaku sendiri.
"Kemana Genta pergi larut malam begini, anak itu semakin lama semakin susah diatur, kerjaannya kelayapan," Papa marah-marah. Sudah terbiasa aku mendengarnya.
"Sudahlah pa, tidak usah terlalu memikirkan Genta, toh dia sekarang sudah dewasa, papa harus ingat darah tinggi papa, ayoo pa istirahat dikamar! papa pasti capek, nanti mama buatin teh hangat buat papa," terdengar suara mama berusaha menenangkan papa.
Sudah tak terdengar lagi percakapan antara mama dan papa. Sepertinya mereka berdua sudah pergi ke kamar mereka. Aku hanya bisa menghela napas mendengarnya. Kemudian berusaha memejamkan mataku, padahal tadi aku sudah mengantuk. Tapi tiba-tiba rasa kantuk ku hilang begitu saja. Aku menatap keluar jendela mendongak menatap langit yang ditaburi bintang-bintang. Terlihat indah. Terlintas dipikiranku akan jadi apa aku nanti setelah lulus? harus bagaimana aku nanti? haruskah aku menuruti kemauan papa dan mama untuk mengambil jurusan hukum saat kuliah? tak bisakah aku menentukan pilihanku sendiri? haruskah aku meniru kak Genta yang memberontak ke papa dan mama? memikirkan hal itu membuatku sedih dan menghela napas berkali-kali.
Papaku, dia bekerja sebagai jaksa dan menduduki jabatan tertinggi di kejaksaan. Sedangkan Mamaku dia bekerja sebagai notaris. Semua keluargaku kuliah dujurusan hukum. Papa dan mama menginginkan anak-anak mereka mengikuti jejaknya.
Tapi aku tidak suka bekerja di kejaksaan atau apapun itu yang berhubungan dengan hukum atau politik. Sebelumnya Kak Genta juga di paksa mama dan papa untuk kuliah dijurusan hukum. Tapi seperti yang terlihat, kak Genta menolak dan memilih menentang papa dan mama. Akibatnya kak Genta harus membiayai kuliahnya sendiri tanpa biaya sepeser pun dari papa dan mama. Hanya Kak Ellin yang mengikuti jejak papa dan mama. Sekarang dia bekerja sebagai pengacara yang hebat. Rata-rata kasus yang ditanganinya bisa dimenangkan.
Papa dan mama sangat memuji-muji kakak ku yang satu itu. Kak Ellin sekarang sudah berkeluarga, dia tinggal dengan suaminya diluar kota. Suaminya pun seorang pengusaha sukses. Kehidupannya lebih dari kata baik. Bahkan sekarang kak ellin tengah mengandung. Lengkap sudah kebahagian mereka. Tinggal aku yang harus memikirkan nasibku kelak.
Kubaringkan tubuhku diatas kasur. Memikirkan semua itu membuat rasa kantuk disertai lelah mulai menyerang. Ku tatap langit-langit kamarku. Perlahan-lahan aku mulai terlelap dan akhirnya jatuh tertidur dikasur yang nyaman ini.
Keesokan harinya, mentari menyambut indah pagiku. Kicauan burung dipagi hari, cukup menjadi musik untukku. Setelah bersiap-siap, aku turun ke bawah untuk sarapan. Setidaknya setiap sarapan papa dan mama tidak pernah meninggalkannya. Kami selalu sarapan bersama. Kecuali ada hal yang sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Papa sudah duduk dikursi meja makan. Mama membantu bibi menyiapkan sarapan kami. Aku juga mengambil duduk di depan kursi mama tanpa berkata apapun. Sedangkan papa duduk dikursi utama meja makan sambil menikmati kopi dipagi hari.
"Disha! mulai sekarang kamu harus mempersiapkan dirimu untuk ujian masuk universitas dis, kamu harus bisa masuk ke fakultas hukum, jangan sepeti kakak kamu Genta yang bisanya menentang papa dan mama, kamu harus mencontoh kakak kamu Ellin! lihatlah dia, sekarang sudah sukses kehidupannya juga sangat baik," Papa berbicara panjang lebar yang cukup untuk merusak moodku dipagi hari. Mama sejak tadi sudah duduk didepanku. Dan kali ini ikut-ikutan membela papa.
"Iya Disha, kamu harus dengar kata papa, mama tahu kalo kamu anak yang nurut sama orang tua," mama berkata sambil tersenyum padaku. Tiba-tiba aku kehilangan selara makan. Tapi aku mencoba terlihat biasa dan memaksakan menelan makanan dimulutku.
"Kamu jangan sampai mengecewakan papa Disha," kata papa lagi. Sejak tadi aku hanya diam mendengarkan perkataan papa dan mama. Aku terus makan sambil mengangguk-angguk seolah mendengar semua ucapan mama dan papa.
"Pa! Ma! disha berangkat sekolah dulu ya," pamitku pada papa dan mama. Aku tidak mau lagi lebih lama mendengar papa dan mama yang menceramahiku panjang lebar.
"Lho kamu sudah selesai dis?" mama menatapku heran. Aku hanya mengangguk saja.
"Yasudah kamu hati-hati ya!" sambung mama lagi.
Aku berjalan ke depan kompleks mencari angkot yang lewat. Beberapa menit kemudian angkot sudah ada didepanku. Aku masuk ke dalam angkot yang masih sepi penumpang. Aku menatap jalanan yang ramai dengan orang-orang yang berangkat kerja. Sejak tadi aku memikirkan perkataan papa dan mama. Rasanya membuatku frustasi! Tak terasa angkot sudah tiba didepan gerbang sekolahku. Aku turun dan membayar ongoks angkot ke mamang supir. Aku berjalan menuju gerbang sekolah, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku.
"Disha!" itu Fara. Aku menoleh sebentar tapi lalu melanjutkan jalanku lagi. Fara berlari ke arahku.
"Pagi Dis," sapa Fara saat dia sudah berada di sampingku, menyeimbangi langkahku. "Pagi juga Ra," aku membalas sapaannya.
Kami berjalan bersama menuju kelas 12 IPA3. Fara mulai membuka percakapan, "Eh dis! nanti setelah lulus kamu punya rencana apa?" Aku hampir lupa kejadian dimeja makan tadi, tapi sekarang Fara mengingatkan lagi akan hal itu. "Aku belum tahu dan aku tidak mau membahas hal itu sekarang Ra," jawabku.
"Kenapa dis? kita tuh sudah harus memikirkannya mulai dari sekarang dis, buat persiapan," ucap Fara. Fara benar, aku harus memikirkannya mulai sekarang. Tapi pagi ini mood ku sedang tidak dalam kondisi baik.
"Aku disuruh papa ambil jurusan manajemen bisnis, papa ingin aku bisa meneruskan perusahaan papa, tapi aku tidak mau dis. aku kan pengen jadi dokter. untung saja mama mendukung keputusanku," sambung Fara panjang lebar.
Ia beruntung punya mama yang selalu mendukung keputusannya. Papanya juga tidak terlalu memaksakan keinginannya. Dokter? itu hebat sekali, Fara memang cocok jadi dokter. Karakternya yang ramah bisa membuatnya menjadi dokter yang disegani oleh pasiennya. Fara memang pintar dikelas. Aku yakin dia pasti bisa masuk ke fakultas kedokteran. Masalah biaya pasti tak jadi masalah buatnya. Keluarganya cukup mampu untuk menguliahkannya di jurusan kedokteran, bahkan dikampus terbaik sekalipun. Hufft! aku menghela napas pelan. Lagi-lagi aku iri dengan Fara. Tapi aku bahagia kalo Fara bisa meraih mimpinya. Aku akan bangga punya teman seorang dokter.
"Itu hebat sekali Fara, kamu pasti bisa deh masuk ke fakultas kedokteran, aku yakin sekali," kataku mendukung Fara.
"Iya terima kasih ya dis kamu juga mendukungku"
"Iya sama-sama"
"Nanti kalo kamu sakit kamu dateng aja ke aku dis, entar aku kasih diskon ke kamu"
"Siapa pula yang mau sakit Ra, lagian kalo emang nanti aku sakit, gratislah untukku Ra masa cuma ngasih diskon sih," gurauku pada Fara.
"Yee itu mah mau kamu dis, tak ada yang gratis didunia ini dis," Kami tertawa renyah bersama. Tak terasa kami sudah sampai aja di kelas 12 IPA 3. Aku dan Fara sudah duduk di bangku kami masing-masing.
Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi. Seluruh siswa masuk ke kelasnya masing-masing. Di kelasku juga sudah ada guru yang akan memulai kelasnya pagi ini. Di awal pelajaran kami masih terlihat semangat dan segar, namun setelah beberapa jam berlalu. Satu dua siswa mulai menguap disusul siswa yang lainnya. Terlihat Dave yang bahkan sejak awal pelajaran juga tidak peduli. Entah bagaimana dia bisa masuk ke jurusan IPA 3 disekolah ini. Mendengarkan guru menjelaskan pelajaran sejarah membuatku menguap juga walau aku tidak mengantuk. Aku pernah membaca, bahwa menguap bukan disebabkan rasa kantuk saja melainkan karena kurang nya oksigen dalam tubuh kita. Jadi membuat kita otomatis menguap.
Akhirnya selesai juga, setelah berjam-jam duduk dikursi yang keras, sekarang aku bisa sedikit merilekskan tubuhku. Beberapa teman-teman juga terlihat sedang meregangkan otot-otot mereka. Saat hendak keluar kelas, aku dan Fara mendapat panggilan dari Pak Zen guru biologi. Kenapa pak Zen memanggilku dan Fara? Ada apa ya? Fara juga tidak tahu kenapa dia dipanggil pak Zen. Yang jelas nanti kita akan tahu saat sudah diruangan Pak Zen.