Aku berjalan menuju kantin, sudah sejak tadi perutku meronta minta diisi. Duduk berjam-jam dikelas membuatku lapar. Apalagi setelah membantu Miss Jenny membawakan tumpukan buku tugas anak-anak ke ruangannya.
Kantin sesak dipenuhi banyak siswa dari berbagai kelas. Bahkan meja kantin hampir penuh. Aku celingukan mencari sosok Fara yang katanya tadi mau ke kantin. 'Mana sih Fara?!' kataku dalam hati. Aku masih tidak menemukan sosok Fara di kantin ini. Atau jangan-jangan Fara sudah tidak ada lagi di kantin. Dasar Fara! tega amat ama temen sendiri! Menyerah tak menemukan sosok Fara, aku akhirnya langsung membeli sebungkus roti sandwich dan sebotol air putih.
Lalu beranjak hengkang dari kantin, karna disini tak ada tempat duduk untukku. Aku memilih pergi ke taman belakang sekolah. Disana biasanya jarang dilewati siswa sekolah ini. Aku duduk di sebuah kursi dibawah pohon besar di taman ini.
Ketenangan adalah hal yang kusukai. Menikmati semilirnya angin, dan melepas sebentar beban seolah ikut terbawa angin. Aku menikmati makan siangku sendiri, sambil memperhatikan beberapa siswa yang berlalu lalang lewat didepanku. Beberapa aku tidak kenal dengan mereka, tapi aku sering melihat wajah-wajah mereka disekolah ini. Aku memang bukan murid populer disekolah ini dan aku juga tak tertarik dengan itu. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Sudah cukup bagiku berpura-pura didepan mama dan papa.
Ku keluarkan ponsel dari saku bajuku. Disaat sendirian seperti ini menulis diary ataupun membuat cerita di ponselku sambil mendengarkan lagu dari head set adalah pilihan yang tepat. Setidaknya dengan begini aku bisa jujur kepada diriku sendiri. Menulis semua keluh kesahku dalam sebuah cerita.
Beberapa menit telah berlalu, terdengar suara bel memanggil seluruh siswa agar segera masuk ke kelas. Sandwich sudah tandas tak tersisa mengisi perut yang tadinya keroncongan.
Sekarang aku sudah berada dikelas. Terlihat Fara sudah duduk santai dikursinya. Aku segera menghampirinya lalu duduk disebelahnya.
"Ra kamu tadi kemana aja sih? aku cariin kamu dikantin tau gak, atau jangan-jangan kamu tadi gak ke kantin ya," Ucapku sebel.
"Hehehe maaf deh Dis, aku tadi ke kantin kok, tapi aku pergi lagi, aku lupa ada PR kimia dari Bu Dian, jadi aku langsung ke kelas buat ngerjain," jelas Fara.
"PR kimia?" gumamku mengingat-ngingat. Fara mengangguk sebagai jawaban.
"Astaga Ra! aku juga lupa kalo ada PR kimia dari Bu Dian, gimana dong!" sambungku panik. Kok bisa sih aku lupa kalo ada PR Kimia dari Bu Dian! Kemarin aku terlalu asik membaca novel sampai-sampai aku tidak ingat kalo ada PR kimia. Buru-buru aku mengeluarkan buku PR kimia dan segera mengerjakannya saat ini juga. Belum juga selesai membaca soalnya, Bu Dian sudah memasuki kelas dan hendak memulai pelajaran. Astaga! Bagaimana ini? Aku melirik Fara meminta bantuan.
"Ra bagaimana dong, aku belum selesai buat PRnya nih, kamu sih gak ngasih tahu aku kalo ada PR kimia," kataku berpura-pura menyalahkan Fara.
"Ya mana aku tahu, kirain kamu udah ngerjain PRnya dis," Fara menatapku dan mengedikkan bahu. Bukan salah Fara juga sih, aku nya aja yang kelupaan gara-gara keasikan baca novel kemarin malam. Sekarang aku harus menerima apapun konsekuensinya. Menyontek punya Fara juga tak sempat. Yasudahlah aku pasrah!
"Selamat siang anak-anak!" salam Bu Dian membuka pelajaran siang ini.
"Ayoo anak-anak kumpulkan PR yang ibu berikan kemarin, tidak ada alasan tidak mengerjakan PR ya, ibu tidak mau menerima alasan apapun," sambung Bu Dian.
Semua teman sekelasku maju kedepan mengumpulkan PR mereka masing-masing. Sepertinya hanya aku yang tidak mengumpulkan PR hari ini. Oh tidak! aku harus bagaimana?
"Ra gimana dong," Aku melirik Fara meminta bantuan lagi. Tapi tak ada harapan, Fara pun tak bisa membantuku.
"Ya udah deh Dis mau gimana lagi, kamu terima aja konsekuensi dari Bu Dian dis." Aku menghela napas mendengar perkataan Fara. Bu Dian terlihat sedang menghitung buku PR yang terkumpul di mejanya. Memastikan sudah sesuai dengan jumlah siswa yang hadir dikelas. Terlihat dahi Bu Dian mengernyit,
"Masih ada dua siswa yang belum mengumpulkan tugas, siapa?" Pandangan Bu Dian menyapu seisi ruang kelas, mencari siapa yang belum mengumpulkan PR. Aku mengangkat tangan sambil menunduk takut-takut, "saya Bu," ucapku lirih.
Eh tunggu tadi katanya ada dua orang? siapa yang satunya lagi? aku melirik ke sekitarku, ternyata Dave juga mengangkat tangan. Kalo Dave sih tidak heran kalo tidak mengumpulkan PR. Dia mau mendengarkan pelajaran aja, sudah syukur. Dave, dia temenku dan Fara. Gara-gara Fara aku bisa akrab dengan Dave. Kami bertiga sudah seperti sahabat.
"Dave! lagi-lagi kamu tidak mengerjakan PR, seharusnya kamu sadar, sekarang kamu sudah kelas 12, waktunya kamu lebih serius buat belajar Dave, kamu bukan lagi siswa kelas 10 yang masih bisa santai-santai Dave!" tutur Bu Dian. Dave hanya mengusap-usap rambutnya. Seperti biasa dia selalu santai dalam mengahadapi situasi seperti ini. Seolah bukan masalah baginya.
"Dan kamu adisha! kenapa kamu tidak mengerjakan PR, padahal biasanya kamu selalu mengumpulkan PR tepat waktu," Bu Dian beralih menatapku heran. Aku hanya diam menunduk, mendengar penuturannya, tak tahu harus berkata apa. Masa iya aku harus bilang kalo aku lupa mengerjakan PR gara-gara keasikan baca novel! Bisa-bisa aku ditendang langsung ke luar kelas. Eh lebay amat yak!
"Yasudah kalian berdua berdiri di koridor depan kelas sampai saya suruh masuk." Dengan terpaksa aku melangkahkan kaki keluar kelas mengikuti Dave yang berjalan duluan didepanku. Saat diluar kelas...
"Huuft," 5aku menghela napas pasrah.
"Tumben Lo gak ngumpulin PR dis?" Tanya Dave. Aku melirik kearahnya, dia bersandar di dinding terlihat santai.
"Kemarin aku baca novel, jadi lupa deh kalo ada PR kimia," kataku menjelaskan alasannya. Dave hanya manggut-manggut saja. Aku mengikuti Dave bersandar di dinding sebelahnya.
"Udah santai aja kali, entar juga bakal disuruh masuk lagi," ucap Dave berusaha membuatku santai.
"Ini juga lagi coba kali, aku kan bukan kamu yang selalu santai dalam situasi apapun Dave," Dave melirikku sambil mengusap tengkuknya.
"Eh dis! gue mau tanya boleh gak dis?" Dave menatapku.
"Kalo mau tanya, tanya aja kali, pakek ijin segala lagi, bukan gaya kamu banget tau gak," Ada-ada saja si Dave.
"Masa!? emang gaya gue kayak gimana?"
"Emmm kamu tuh cenderung sarkas kalo ngomong, gak ada sopan santunnya," kataku sambil cengingisan menatap Dave.
"Enak aja!" ucapnya tak terima.
"Tapi aku tahu kok kalo kamu orangnya baik Dave dan mungkin sedikit tampan lah untuk standar cowok," ucapku menambahkan sedikit pujian untuknya sambil cengingisan. Bukan hanya pujian sih, memang kenyataannya seperti itu.
"Oh ya?" wajahnya terlihat cerah mendengar ucapanku.
"Hmm," kataku sambil mengangguk. "Kamu tadi mau tanya apa?" tanyaku teringat ucapan Dave tadi.
"Eh anu, kenapa sih lo gak mau pacaran dis? eh bukan maksud apa-apa kok, cuma mau tanya aja, kalo Lo gak mau jawab juga gak papa," aku menoleh mendengar pertanyaan Dave yang tiba-tiba.
"Enggak kok gak masalah, lagian ini juga bukan sesuatu yang rahasia. emmm gimana ya Dave jelasinnya, kalo ditanya apa alasanku tidak mau pacaran ya,,, karna menurutku pacaran tuh buang-buang waktu tau gak, unfaedah. Lagian aku gak mau terikat sama seseorang yang belum tentu dia menjadi masa depanku kelak. Aku mau bebas, aku tidak suka ada seseorang yang mengatur kehidupan pribadiku. Tapi aku juga bukan yang menentang banget seseorang yang lagi pacaran, ini dari segi pandangku doang sih," Dave sejak tadi memperhatikanku berbicara panjang lebar. Dia hanya manggut-manggut saja. Entah dia setuju atau tidak dengan pendapatku ini.
"Dan satu lagi alasannya--," Dave menoleh lagi ke arahku.
"Aku tuh bukan tipe orang yang mudah berkomunikasi dengan cowok Dave, entahlah aku kadang kayak gugup gitu, aneh gak sih?" sambungku melanjutkan kalimatku tadi.
"Masa sih dis! tapi buktinya sekarang lo lagi ngomong sama gue," Dave menatapku heran.
"Emm mungkin itu pengecualian"
"Jadi berasa istimewa gue." Aku tertawa pelan mendengarnya.
"Mungkin gara-gara Fara juga aku bisa akrab sama kamu Dave, secara kamu kan sering main sama Fara otomatis aku lebih sering ketemu sama kamu juga," jelasku. Lagi-lagi dia hanya manggut-manggut saja.
Setelah obrolan beberapa menit dengan Dave, cukup bisa membuatku lebih rileks menjalani hukuman dari Bu Dian. Juga bisa menghilangkan kebosanan menunggu diluar kelas. Tak lama setelah obrolan kami berdua, Bu Dian muncul dari balik pintu, memanggil kami berdua agar masuk kelas untuk mengikuti pelajaran setengahnya. Untung saja ruang kelas kami kedap suara, jadi obrolanku dengan Dave tidak terdengar dari dalam kelas.
Tak butuh waktu lama, kelas Bu Dian sudah selesai. Di ganti dengan pelajaran lain. Aku memperhatikan dengan seksama setiap penjelasan dari guru. Mulai sekarang aku harus serius belajar kalo mau mendapat nilai yang bagus untuk masuk universitas. Hingga akhirnya bel berbunyi nyaring, pertanda kelas sudah usai, dan waktunya untuk pulang.
Aku berjalan keluar bersama Fara. Kami sesekali mengobrol sambil berjalan menuju gerbang.
"Eh dis! kamu entar naik angkot kan pulangya?" tanyanya.
"Iya, seperti biasa"
"Aku ikut dong, papaku gak bisa jemput nih, katanya masih banyak pekerjaan dikantor, pak Sudin juga lagi nganterin mama ke pasar," kata Fara. Yang aku tahu pak Sudin itu adalah supir keluarganya Fara.
Aku mencubit pipinya gemas, "Boleh dong Fara sayang! aku malah seneng ada temannya buat pulang bareng, yaudah yuk!" Ajakku pada Fara. Dan Fara tersenyum lebar sambil, mengaduh kesakitan karna pipinya aku cubit. Aku hanya tertawa renyah.
"Fara! Disha!" teriak seseorang dari belakang. Kami sontak menoleh ke sumber suara. Mendengar dari suaranya, sepertinya itu Dave yang memanggil kami berdua. Ngapain lagi tuh anak!
"Ada apa?" tanya Fara sarkas saat Dave sudah ada didepan kami.
"Santai dong Wee! lu nanya kayak mau ngajak perang tau nggak," Napas Dave tersenggal akibat berlari saat kesini. Aku tertawa melihat keduanya.
"Gue mau ikut kalian naik angkot dong," sambung Dave.
"Bukannya lo bawa motor ya?" ucap Fara.
"Iya gue emang bawa, tapi tiba-tiba bensin gue abis, itu pasti gara-gara Rio tadi deh yang minjem tapi gak diisi lagi bahan bakarnya," kata Dave. Entah itu beneran atau hanya alasannya saja aku tak tahu.
"Ganggu aja lo! gue kan mau pulang bareng Disha," ucap Fara.
"Yaelah gue ikut gak pa pa kali Ra, lagian Disha gak bakal keberatan juga kali, ya kan dis?" Dave menatapku meminta persetujuan.
"Eh iya kok gak masasalah lagian rumah kita searah juga kan."
Akhirnya kami sama-sama pulang naik angkot. Jarang-jarang kita bertiga bisa naik angkot sama-sama kayak gini. Kita bertiga menunggu angkot didepan gerbang, setelah dapat, kami langsung naik. Selama perjalanan, kami berbicara panjang lebar. Lebih tepatnya, lebih banyak diisi perdebatan antara Fara dan Dave. Aku hanya tertawa lirih memperhatikan mereka berdua. Kadang aku iri sama Fara yang bisa cepet care sama seseorang. Aku juga pengen bisa lebih santai dalam situasi apapun sepeti Dave. hufftt!
Fara lebih dulu turun dari angkot, meninggalkan aku dan Dave yang masih menunggu angkot mengantar kami kerumah kami masing-masing. Tiba-tiba terjadi suasana canggung diantara kami. Aku bukan Fara yang bisa selalu mengajak Dave berbicara panjang lebar ataupun berdebat karna hal sepele. Aku lebih banyak diam, dan sesekali merespon pertanyaan Dave atau gurauan darinya. Mungkin ini cukup memecah rasa canggung diantara kami. Angkot berhenti tepat didepan kompleks rumahku, selanjutnya aku yang turun dari angkot dan tinggal Dave yang ada didalam bersama dengan penumpang lain.
"Dave! aku duluan ya," pamitku pada Dave.
"Eh iya dis! hati-hati ya," aku hanya mengangguk lalu keluar dari angkot. Saat hendak membayar angkot, Dave menawarkan untuk membayar ongkos angkotku. Aku mau menolak tapi mamang supir angkotnya sudah melesat pergi meninggalkanku. yasudahlah!
Aku berjalan menuju rumahku yang lengang dan sepi seperti biasa. Orang tuaku terlalu sibuk untuk hanya sekedar duduk santai dirumah. Hanya ada Bi Inem pembantu rumah kami yang selalu cekatan membersihkan atau menyiapkan segala keperluan rumah ini. Kapan aku bisa punya keluarga yang hangat? Aku menghela napas memasuki rumahku.