Kelopak mata cantik itu bergerak-gerak sebelum terbuka sepenuhnya. Nampaknya cahaya jingga yang menerobos melalui celah jendela mengusik tidurnya.
"Kau sudah bangun?"
Suara yang tak asing itu menyapa pendengaran Eunbyul. Membuat wanita itu lantas mendudukkan dirinya di atas dipan. Dia menjawab sekenanya lalu bertanya sudah berapa lama dirinya tidur, ah, atau lebih tepatnya pingsan. Dan kalau mengingat-ingat penyebab dirinya pingsan, dada Eunbyul pasti akan kembali bergemuruh. Kembali merasakan sakit di ulu hatinya. Yang ujung-ujungnya membuat air mata menetes.
Melihat itu, si pria lantas pamit. Sadar, kalau si wanita membutuhkan waktu untuk sendiri. Salahnya dirinya juga sih tadi yang membicarakan kondisi wanita itu dengan sang adik sembarangan. Pada akhirnya hanya menyakiti wanita ini.
Moon Eunwoo menoleh setelah merasakan sentuhan di jari kelingkingnya. Wanita itu baru saja meraih dan menggenggam jari kelingking miliknya dengan telapak dinginnya.
"Mau kah kau tetap di sini?" Pinta wanita itu. Dengan mata yang penuh harap dan berkaca-kaca. Katakanlah dirinya kurang ajar karena meminta hal yang lebih. Tapi sungguh... Dia butuh seseorang untuk tetap berada di sisinya sekarang. Hatinya baru saja di jatuhkan-rusak-- berkeping-keping. Dia butuh sandaran.
Seolah dapat membaca pikiran Eunbyul. Eunwoo lantas memeluk wanita itu. Membawa kepala wanita itu agar bersandar di perutnya. Kemudian kedua lengannya memeluk erat lengan juga kepala wanita itu.
"Menangislah," kata Eunwoo. "Kau membutuhkannya. Menangislah sebanyak yang kau mau!" Sambil mengelus rambut hitam wanita itu dan menepuk-nepuk punggungnya pelan.
Ucapan pria itu bagiakan magic. Tangisan Eunbyul kini semakin menjadi-jadi. Tubuh, terutama bagian atasnya bergetar hebat. Dirinya bahkan sudah tak peduli dengan harga dirinya. Persetan dengan citra wanita tangguh dan hebat yang pernah dijunjungnya tinggi-tinggi.
Sungguh! Eunbyul merasa lelah atas hidupnya selama ini; ketidakadilan yang diterimanya sebagai lady, yang diakhiri dengan percobaan pembunuhan terhadap dirinya juga kisah cinta yang berakhir tragis. Telah menyerahkan segalanya pada pria itu, namun harus kehilangan pria itu sekaligus calon bayinya untuk selama-lamanya.
Mau menyesal... Rasanya sudah terlambat. Eunbyul jadi teringat dengan ucapan sang kakak. Sesuatu yang paling jahat daripada perbuatan para ibu dan saudari tirinya; cinta. Dia telah datang lalu merenggut segalanya.
Cukup lama Eunbyul dan Eunwoo dalam posisi seperti itu. Tanpa suara dan hanya sentuhan Eunwoo yang membuat hati Eunbyul menghangat dan tenang.
Tangisan wanita itu sebenarnya sudah berhenti sejak beberapa waktu lalu. Tapi entahlah... Keduanya terlalu nyaman dalam kegiatan itu.
Eunbyul yang akhirnya bisa merasakan pelukan hangat seseorang. Merasa kembali dilindungi dan dicintai. Cinta dalam artian, merasa bahwa kehadirannya masih diterima dan diharapkan setelah semua yang dialaminya. Ada alasan kuat dibalik keengganan Eunbyul dari tempat itu. Sebenarnya diam-diam dia telah mencari informasi tentang kerajaan asalnya, kakao. Dan yang didapatkannya hanya rasa sakit hati. Dirinya telah dinyatakan wafat karena kecelakaan dan status bangsawannya yany dicabut karena telah mencoba menyelakai saudari tirinya. Nama baik Eunbyul hancur. Dirinya mati dengan membawa stampel buruk.
Awalnya Eunbyul ingin memberitahu whoosik perihal dirinya yang masih hidup. Namun harus kembali menelan pil pahit karena sang kakak sudah menikah dan hidup bahagia dengan wanita lain. Secepat itu melupakan kematiannya?
Juga pria brengsek itu! Lee Taehyung... Mungkin dia sudah hidup bahagia di sana. Menyedihkan sekali hidupnya.
Sementara Eunwoo... untuk pertama kalinya memeluk seorang wanita. Maksudnya wanita dalam artian hubungan pria-wanita sungguhan. Bukan wanita yang ia anggap adik, teman, sahabat atau saudara.
Jujur saja, salah satu alasan kenapa ia masih membiarkan wanita ini berada di sisinya... Eunwoo telah jatuh cinta padanya. Ya, jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sayangnya, wanita ini sepertinya sudah menjadi milik seseorang. Kekasih? Suami? Entahlah. Dan katakanlah bahwa dirinya jahat dan egois. Memanfaatkan lupa ingatan si wanita untuk menahannya agar tetap berada disisinya.
Eunbyul menjauhkan kepalanya dari tubuh Eunwoo. Sudah merasa baikan. Lalu mendongak-- mentapa wajah tampan pria itu dari bawah. Sementara Eunwoo juga membalas. Menyunggingkan senyum kecil untuknya.
Namun suasana sendu itu hancur dengan kedatangan seseorang.
"Hyung!" Monbin datang-datang langsung membuka pintu. Tanpa permisi pula. Membuat Eunwoo dan Eunbyul langsung menjauhkan diri.
Monbin awalnya kaget saat menjumpai posisi sang kakak dengan wanita itu yang terlihat errr-- intim. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan itu.
"Ada apa?" Tanya Eunwoo dengan nada dingin.
Monbin terkesiap. Lalu mengatakannya tujuannya kedatangannya. "Kau dalam maslaha besar, hyung!" Adunya.
"Ayah sudah tahu keberadaan wanita itu."
Oh, sebuah kesialan lain yang sepertinya harus dihadapi oleh Eunbyul dan Eunwoo tentunya.
Astro. Sebuah bangunan yang bisa dikatakan paling besar ukurannya di wilayah Aroha. Sebuah rumah panggung dengan bahan utama kayu dengan atap berbentuk segitiga yang terbuat dari kayu pula. Katakanlah sebagai tempat tinggal kepala suku Aroha sekalius balai persidangan.
Dari luar, bangunan itu menampakkan suasana alami dan menyejukkan, apalagi letaknya di tengah-tengah hutan dan dikelilingi rumah-rumah gubuk yang lebih kecil. Namun tidak dengan suasana dingin sekaligus tegang yang ada di dalamnya.
Dimana duduklah Moon Fantiago, sang kepala suku Aroha di kursi kebesarannya. Sedang menyidang pria dan wanita yang kini duduk bersimpuh di depan mereka. Pria yang merupakan putra bungsu keduanya, sebelum Monbin, Moon Eunwoo. Dan seorang wanita asing.
Fantiago begitu marah ketika mengetahui bahwa sang putra ternyata diam-diam menyembunyikan wanita asing. Tapi bukan disitu masalah utamanya, melainkan sosok asing yang kini dicurigai sebagai mata-mata maupun hal lainnya. Kehadiran wanita itu telah diketahui warga Aroha. Dan mereka menolak. Meminta agar sang kepala suku segera mengusir atau kalau perlu membunuhnya saja.
"Katakan siapa dirimu!" Fantiago berkata dipenuhi ketegasan. "Dan apa tujuanmu datang ke sini?"
"Ayah, bukankah sudah ku bilang kalau aku menemukannya terluka parah di pinggir hutan dan dia lupa ingatan." Eunwoo memberi pembelaan.
"Diam!" Sentak sang kepala suku. Membuat tubuh Eunbyul bergetar dengan hebat. "Aku tidak bertanya padamu, Moon Eunwoo. Mungkin dia memang lupa ingatan, tapi dia masih punya mulut untuk berbicara. Jadi cepat katakan, siapa dirimu?!"
"Aa--kuuu--" Eunbyul tergugu. Sungguh pita suaranya seperti terjepit. Susah sekali untuk bicara. Sementara kedua tangannya bergetar hebat.
"Aku tidak--tahu." Akhirnya berhasil mengucapkan sebuah kalimat.
"Benar kau tidak ingat apa-apa? Atau hanya berpura-pura lupa ingatan?" Fantiago masih belum menyerah.
Eunbyul sangat ketakutan sekarang. Dia tak tahu harus berkata jujur atau meneruskan kebohongannya.
Diamnya Eunbyul membuat Fantiago tersenyum tipis. Wanita ini mau bermain-main rupanya.
"Apakah kau tahu nama wilayah ini?"
Eunbyul hanya mengangguk.
"Jawab pakai mulutmu!" Tandas Fantiago.
"Y--ya, tuan. Aroha. Aroha nama wilayah ini."
"Informasi apa aja yang kau ketahui tentang Aroha?"
Eunbyul tak langsung menjawab. "Tidak terlalu banyak," cicitnya tak terlalu yakin.
"Sebutkan!"
Eunbyul kemudian menyebutkan apa saja yang ia ketahui tentang wilayah ini. Berbekal dari sedikit pengetahuan dari buku yang pernah dibacanya juga cerita Eunwoo selama ini. Dan satu lagi yang entah dari mana asalnya... Yang jelas, hal terakhir yang disebutkannya membuat semua orang yang ada menatapnya dengan terkejut. Tak terkecuali Eunwoo.
"Dia seorang mata-mata!"
Baru seruan itu membuat Eunbyul tersadar... Bahwasanya dirinya baru saja melempar boomerang. Membuat dirinya harus berakhir di sebuah penjara sambil menunggu keputusan apa yang akan mereka ambil.
Hanya karena satu hal...
Menyebutkan sebuah nama tarian spirit, blue flame.
Sebenarnya apa blue flame itu?
Kenapa mereka sampi mengatainya seorang mata-mata?