Chapter 2 - Satu.

Dua orang anak laki-laki hendak meninggalkan asrama. Hari libur akhirnya datang. Ini adalah jatah libur terlama yang pernah mereka dapatkan, dan tentu yang telah ditunggu-tunggu. Mereka mengambil sepeda yang berbaris rapi di lapangan parkir bersama dengan motor dan mobil.

Salah seorang di antaranya terkenal dengan ciri khas rambutnya yang berantakan. Gaya rambutnya dipotong shaggy meski tidak terlalu panjang tapi juga tidak pendek.

Untuk ukuran pelajar yang masih dalam tahap mengumpulkan ilmu apalagi di sekolah yang terkenal dengan kedisiplinannya yang ketat, penampilannya bukanlah contoh yang baik. Untung yang ditempatinya menuntut ilmu tidak seperti akademi-akademi kepolisian lainnya. Selain disiplin, penguasaan kompetensi, peraturan mengenai penampilan tidak terlalu ketat. Jika tidak, ia pasti sudah lama ditendang keluar dari sekolah.

Untuk perawatan rambut sendiri, sebenarnya ia adalah orang yang cuek. Teman-teman satu kamarnya sangat menghapal kebiasaannya yang jarang menggunakan sampo untuk membersihkan rambutnya. Dia bilang sengaja karena dengan begitu rambutnya bisa kaku dengan sendirinya tanpa menggunakan gel atau minyak rambut.

"Ken, habis dari toko buku jadi ke rumahku, kan?"

Anak laki-laki yang baru bertanya adalah teman sekaligus musuh berkompetisi Ken sepanjang masa. Dani. Dibanding Ken, penampilannya lebih mirip polisi di masa depan. Potongan rambut ABRI yang super pendek. Tingginya 175 cm, 3 cm lebih pendek dari Ken. Proses pembentukan ototnya yang lebih cepat membuat badannya lebih padat berisi dibanding Ken.

Dani memiliki gigi taring yang panjang, kecil, dan runcing. Gigi yang memudahkannya mengunyah makanan jenis apapun. Juga, gigi yang suka ia pamerkan saat geram dan merasa ingin mengoyak seseorang dengan gigitannya. Yang jika tertawa membuatnya terlihat mirip vampir namun terkesan manis.

Selain karena rambut berantakannya, Ken adalah pelajar yang juga terkenal dengan kemampuannya yang menonjol di antara teman-teman seangkatannya. Adu analisa yang sekolahnya adakan setiap tahun selalu bisa diselesaikannya dengan baik, paling awal. Untuk dua tahun terakhir ia adalah jawara tak tergoyahkan.

Pertunjukan adu analisi yang terakhir kali sekolah adakan dihadiri oleh Wakil Kepala Badan (Wakaba) Reserse Kriminal Pusat dan Brigadir jendral dari Pusat Indonesia Automatic Finger Print Identification System (Pusinafis). Kasus yang harus dipecahkan juga memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Pertunjukan analisis yang ditunjukkan Ken sangat membanggakan sehingga secara khusus ia direkomendasikan untuk menjadi penyelidik pembantu. Sebuah pencapaian yang menggembirakan untuk usianya yang baru di tahun kedua masuk akademi.

Kedua petinggi dari Badan Reserse Kriminal pusat itu ingin kemampuan Ken dapat dipoles dengan baik sehingga akan sangat berguna untuk proses penyelidikan kedepannya. Karena kemampuannya menganalisa, Ken kemudian ditempatkan sebagai penyidik pembantu di unit Inafis.

Selama turun langsung ke lapangan, ada banyak hal baru yang dipelajarinya. Secara langsung bisa mengerti bagaimana membaca TKP, mempelajari karakter pelaku, menyelidiki sebuah kasus, menyelidiki tanda-tanda yang muncul, dan memecahkan banyak persoalan. Bagi Ken semua yang ditemuinya seribu kali lebih efektif dibanding duduk dan mendengar penjelasan dalam ruangan.

"Jadi dong! Mumpung libur, kita jadi bisa main sampai puas," seru Ken.

Rencana main sampai puas saat libur sudah direncanakan lebih dari seminggu yang lalu. Maklum sekolah mereka sangat ketat. Selain keluar untuk hal yang sangat mendesak, mereka dilarang meninggalkan asrama.

Rencananya Ken akan menginap di rumah Dani. Mereka akan begadang semalam suntuk dan bermain PS sampai pagi. Kemudian bangun siang di keesokan harinya. Orang tua Dani sedang dinas ke luar kota semalam tiga hari. Ken sendiri tidak memberi kabar ke rumah kalau sekolah mereka libur seminggu, jadi ia tidak akan dicari.

Setelah dari rumah Dani, Ken akan pulang sebentar untuk meng-absen wajahnya di rumah, sekedar menampakkan dirinya pada ibu sebelum kembali ke asrama. Anak laki-laki memang akan lebih merindukan saat bermain bersama teman-temannya dibanding pulang ke rumah.

Baru memilih-milih buku, sebuah panggilan masuk ke ponsel Ken. Panggilan pekerjaan.

"Ada kasus," kata Ken setelah panggilan terputus.

"Bukannya jadwalmu libur?"

"Memang libur, tapi ini panggilan darurat."

Ada dua kasus yang datang bersamaan, sementara tim dari unit Inafis sedang kekurangan anggota. Beberapa petugas senior ditugaskan untuk membantu melakukan identifikasi kecelakaan sebuah pesawat terbang sejak tiga hari yang lalu.

Sebuah pesawat sempat menghilang dari radar dan putus kontak selama 15 menit sebelum dinyatakan hilang. Seorang saksi mengatakan melihat benda jatuh di sekitar perairan Kalimantan. Seketika itu juga tim SAR diturunkan untuk memulai pencarian. Karena semua petugas di unit Inafis sibuk, Ken dipanggil untuk membantu proses penyelidikan kasus lain.

Ken sampai di TKP bersama petugas identifikasi lainnya.

Olah TKP dilakukan. Beberapa petugas mulai berkeliaran di TKP dan sekitarnya. Ken mengambil kamera dalam tas peralatan dan memulai tugasnya. Ia yang bertugas sebagai juru foto mengambil beberapa gambar. Petugas lain meletakkan nomor-nomor untuk menandai keberadaan suatu barang, juga memberi batas, yang lainnya bertugas mengumpulkan sidik jari, dan seorang petugas lagi tengah memeriksa kondisi mayat korban.

Sembari menjalankan tugasnya sebagai juru foto, mata Ken tetap awas. Memerhatikan setiap detail yang ada di TKP. Tidak ada sudut-sudut yang terlepas dari pandangannya.

Kasus mengenai dugaan bunuh diri. Korban, Santoso 39 tahun. Dua hari yang lalu baru terkena PHK di tempatnya bekerja di sebuah perusahaan farmasi swasta.

Bintik-bintik pendarahan pada mata dan wajah yang terlihat sembab dan lebih gelap jelas menyerupai tanda-tanda mati lemas. Berdasarkan kekakuan mayat, korban telah meninggal lebih dari sejam yang lalu.

Orang yang pertama kali menemukan korban adalah istrinya, Sulastri 35 tahun. Ia yang baru pulang dari pasar histeris sebab tiba-tiba melihat suaminya sudah tergantung. Para tetangga yang mendengar teriakan Sulastri, yang kemudian datang dan salah satunya memanggil ambulans dan menghubungi kantor polisi.

Menurut keterangan Sulastri, suaminya sudah berubah pendiam dan menjadi lebih pemurung setelah diberhentikan dari pekerjaannya. Depresi.

"Ini pembunuhan, Pak," Ken berbisik pada petugas Reserse dari unit kriminal umum.

"Saya juga berpikir ada yang mencurigakan, tapi mana boleh kamu langsung bilang ini pembunuhan tanpa bukti," balas petugas berpangkat AKP yang memimpin penyelidikan. Yusuf, kanit Reserse kriminal umum Polres Selatan.

"Tapi Pak ini memang pembunuhan," tegas Ken. "Jika benar bunuh diri, jejak tali penjerat seharusnya serong, tapi ini lurus menandakan leher korban dijerat dari belakang sampai mati atau lemas lebih dulu sebelum digantung. Kemungkinan saat korban tertidur sambil duduk di sofa." Ken menunjuk sofa tua yang masih meninggalkan bekas seseorang sebelumnya pernah duduk di tempat itu dalam waktu lama. "Dan tinggi pijakan ke tali yang digantung terlalu tinggi. Tidak sesuai dengan tinggi badan korban."

Petugas yang memimpin penyelidikan terdiam, memikirkan semua kalimat Ken dengan matang.

"Tapi perjalanan dari pasar ke rumah memakan waku sekitar 20 menit. Pulang-pergi dan berbelanja bisa menghabiskan waktu lebih dari satu jam. Barang-barang yang berhambur di ruang tamu adalah bukti kalau dia pulang dengan kantong belanjaan. Alibinya kuat." Ken mencurigai sesuatu namun masih ada hal lain yang mengganjal. Ia berpikir, mencari celah.

Yusuf menggeleng "Tidak ada yang membuktikan bahwa dia belanja di pasar," katanya pelan. "Pasar tradisional yang dia maksud seharusnya becek karena pagi tadi gerimis, tapi sandalnya bersih tanpa percikan lumpur setetes pun."

Ken berpikir lagi. Diputar otaknya dengan susah payah.

"Telapaknya!" Ken berseru membuatnya menjadi pusat perhatian seketika. "Tenaga perempuan berbeda dengan laki-laki. Menjerat leher suami yang lebih gemuk, kemudian menarik tali untuk menggantungnya pasti memerlukan tenaga ekstra, ditambah lagi tali penjerat yang digunakan kasar. Karena itu, telapak tangan Ibu pasti lecet memerah, iya, kan?"

"Tangan saya memang memerah... tapi itu karena pagi tadi saat menarik tali untuk membuat jemuran di halaman belakang," Sulastri menepis tuduhan Ken.

"Kalau begitu," Yusuf menimpali "Bisa buktikan kalau Ibu benar-benar berelanja di pasar? Bisa Ibu memanggil salah satu penjual yang bisa memastikan alibi Ibu? Atau, kami sendiri yang harus memastikan itu. Memeriksa di beberapa swalayan terdekat yang mungkin Ibu kunjungi untuk berbelaja hari ini."

Roman muka Sulastri mulai berubah. Ia tertangkap basah karena meninggalkan jejak-jejak yang gagal ia samarkan. Menjadi pelaku kejahatan yang menghabisi nyawa suaminya sendiri, mebuatnya harus siap menerima sangsi dari tindakannya yang sudah siap menanti.

Kasus selesai dengan cepat. Polisi masih melakukan penyelidikan, tapi tugas Ken telah selesai.

"Sebelum melihat jejak tali penjerat dan tinggi pijakan yang janggal, dari mana kamu bisa yakin itu bukan bunuh diri?"

Selesai membuat laporan berita acara, Ken kembali ke rumah Dani seperti janjinya. Penyelidikan dilanjutkan oleh Yusuf dan petugas lain. Mereka melakukan pengumpulan barang bukti dan mendengarkan keterangan pelaku.

"Jika korban yang meninggal dalam rumah adalah suami, orang pertama yang harus dicurigai adalah istri. Begitu juga sebaliknya. Motifnya rata-rata cemburu atau perselingkuhan. Suami yang cemburu buta atau istri yang berulang kali diselingkuhi dan akhirnya meledak karena tidak tahan lagi," jelas Ken.

"Jadi itu benar? Motifnya karena dendam diselingkuhi?" tanya Dani lagi.

Ken mengangguk. "Katanya dia sudah lama tahu suaminya selingkuh. Dia pikir suaminya bakal berubah setelah di PHK. Tapi yang ada, penyakit tukang selingkuh suaminya enggak juga bisa sembuh."

Seperti biasa. Setiap Ken selesai dengan tugas lapangannya sebagai pembantu di unit Inafis, Dani pasti dengan cepat akan menagih Ken untuk menceritakan kembali kasus yang baru ditangani. Entah kasus itu sudah terselesaikan atau masih dalam tahap pengumpulan barang bukti.

"Kalau mau bertahan dengan suami yang tukang selingkuh seharusnya sampai akhir. Kalau memang enggak tahan seharusnya berpisah saja."

"Setiap orang, kan punya keadaanya sendiri," Dani menaggapi, berusaha bijak, sok mengerti.

"Keadaan? Itu cuma alasan," Ken menimpali sinis. "Keadaan seperti apa yang membuatnya lebih memilih menjadi seorang pembunuh."

***