Chereads / Elegi Cinta Asha / Chapter 10 - Perjumpaan Kembali 1

Chapter 10 - Perjumpaan Kembali 1

Akhir musim gugur di Jerman, tampak remaja akhir tahun mengeratkan syal yang melilit lehernya agar udara yang mulai dingin tidak mengganggu aktivitasnya di luar.

Terlihat remaja yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus di wajahnya, mengantri untuk membeli tiket kereta.

Tak terasa beberapa hari lagi akan memasuki libur musim dingin. Tidak bisa pulang ke negara asalnya dan kedua orangtuanya pun sibuk dengan bisnis mereka masing-masing, sehingga tidak bisa menjenguknya di sini. Angga memutuskan untuk menikmati liburannya sendirian saja. Menyiapkan bekal untuk selama di perjalanan ke dalam ranselnya. Hari ini tujuan utamanya adalah perpustakaan yang ada di kota B. Kemudian berlanjut ke museum dan tempat-tempat sejarah lainnya yang ada di kota B.

Selama perjalanan di dalam kereta, ingatannya melayang ke pertemuannya terakhir dengan Asha di bandara. Gadis pujaan hatinya akhirnya luluh juga meski perasaannya datang terlambat.

'Gue gak tau saat lo di sana lagi musim apa. Tapi kabarnya di sana ada empat musim, ya. Moga hadiah ini berguna buat lo, ya. Gue spesial kursus kilat ma nenek gue biar bisa bikin ini. Dipake, lho, ya!'

Itulah isi surat yang ditulis Asha bersamaan dengan syal yang dikenakannya saat ini. Syal merah maroon, yang dirajutnya sendiri. Cukup rapih untuk seorang pemula.

Hari-hari dilalui mereka berdua sejak saat itu seperti hari-hari biasanya. Tidak ada kelanjutan dari hubungan mereka. Meski di akhir pertemuan Asha terlihat tidak rela melepas kepergiannya, namun urung mengakui perasaannya yang kini dia rasa.

Ingatan Angga menerawang jauh ke waktu di mana dia secara pribadi datang menemui Haryanto, papanya Asha. Kala itu dia meminta ijin agar merestui hubungan mereka. Tapi seperti sudah pernah dikatakan berkali-kali oleh Asha. Bahwa papanya tidak akan mengijinkannya berpacaran.

Angga yang nekat, sempat mengutarakan niatnya melamar Asha sebelum dirinya pergi ke Jerman. Namun Haryanto beralasan tidak baik apabila mereka bertunangan terlalu lama, apalagi hubungan jarak jauh rentan terjadi kesalahpahaman. Mereka berdua masih muda, dan Asha juga sudah keterima di universitas. Tidak mungkin baginya mengikuti Angga ke Jerman dan menangguhkan kuliahnya.

Tak jauh berbeda, tanggapan kedua orangtua Angga. Mereka pun menginginkan Angga fokus kuliah dahulu, kemudian bekerja. Apalagi pendidikan Angga sudah diarahkan untuk satu saat bisa bekerja di salah satu perusahaan papinya. Dengan otaknya yang cerdas tidak menutup kemungkinan karir Angga bisa berkembang pesat dan memimpin salah satu perusahaan papinya kelak.

Tak terasa kereta pun tiba di tempat tujuan. Angga pun turun.

***

Tiga tahun kemudian ....

Dengan perasaan bahagia, Angga yang sudah lulus Sarjana dengan nilai sempurna Summa Cum Laude, sedang bersiap-siap menuju sebuah restoran bersama keluarganya. Untuk merayakan kelulusan dan kepulangannya kembali ke Indonesia. Sebelum nanti kembali ke Jerman meneruskan S2nya.

Mereka tiba di restoran dan langsung menuju tempat yang sudah direservasi sebelumnya. Sambil menunggu pelayan mencatat pesanan mereka. Angga berbincang-bincang sejenak dengan kedua orangtua juga kakak dan kakak iparnya. Beserta kedua putra mereka.

Dari kejauhan tampak dua pasangan yang tak asing bagi Angga. Keduanya terlihat sangat akrab. Benar-benar sangat akrab. Lama tidak jumpa, Angga memutuskan menghampiri meja mereka.

"Nia, Arman. Lo makan di sini juga?" sapa Angga yang membuat keduanya terkejut sesaat.

"Angga ... kapan balik?" Arman yang lebih dulu tersadar.

"Kemarin malam. Apa kabar lo bedua?"

"Baik," jawab Nia dan Arman bersamaan. Yang membuat mereka saling melempar senyum.

Angga yang merasa ada sesuatu yang janggal langsung menebak, "Lo bedua jadian, ya?"

Nia seketika menunduk malu, sedangkan Arman dengan bangga menarik tangan Nia dan memamerkan cincin yang melingkar di jari manisnya.

"Lo bedua dah nikah? Kok, gue gak dapet kabar apa-apa, ya?"

"Bentar lagi, siy. Gue gak tau lo dah balik. Kalo tau, gue bawain undangannya sekalian buat lo. Sepekan lagi. Kudu datang, ya," tutur Arman.

".... Asha apa kabar?" tanya Angga akhirnya. Yang awalnya sejenak ragu untuk bertanya. Karena selama tiga tahun mereka benar-benar putus kontak. Mereka sama-sama tidak mengetahui kabar masing-masing.

"Panjang umur, tuh, anak," ucap Nia sambil menggerakan dagunya ke arah belakang Angga.

Angga seketika membalikkan badannya. Dilihatnya Asha yang mengenakan long dress berwarna merah muda, berjalan melewati dirinya. Benar-benar tidak sadar ada Angga berdiri di sana mematung. Perasaannya mengatakan ada yang berbeda dengan Asha-nya.

"Maaf, ya, lama nunggu," tutur Asha kemudian duduk.

Nia kemudian melirik Arman ragu-ragu.

"Asha?" tegur Angga yang seketika membuat Asha menolehkan kepalanya.

"Angga?!" Terdengar terkejut. Melebihi reaksi Nia dan Arman tadi.

"Apa kabar, Sha?"

"Ba—baik, Ngga," jawabnya gugup.

Diperhatikannya wajah Asha lekat. "Kamu gemukan, ya, sekarang?"

"Ya, iyalah, wong, lagi hamil ...," Nia spontan menjawab menanggapi yang kemudian mendapat cubitan dari Arman. 'Ampun, Nia ... masih aja suka keceplosan ngomong,' sesal Arman membatin.

"Hamil?" Angga mengangkat kedua alisnya terkejut. Asha hanya bisa menunduk.

"Asha?" Angga bergegas menghampiri Asha yang mencoba menghindar.

***

Dua tahun sebelumnya ....

Rasanya baru kemarin Asha menangis di hadapan Angga, saat dirinya akan pergi ke Jerman. Perlahan, perasaan itu menjadi lebih tenang. Mulai terbiasa lagi, seperti sebelum Angga tetiba menghampirinya untuk memberinya tumpangan, awal semua kehebohan itu.

Tak dipungkiri hari setelah Angga pergi, di beberapa malam, selama hampir sebulan, Asha menangis. Yang keesokan paginya matanya menjadi sembab. Kuliahnya terlantar. Hal ini tentu membuat khawatir Marisa dan Haryanto, orangtua Asha.

Tak ingin anak semata wayangnya berlarut-larut dalam kesedihan, sehingga membuatnya tak lagi semangat untuk pergi kuliah. Asha harus bangkit dan menyelesaikan kuliahnya tepat waktu, bekerja, lalu mengejar cita-citanya yang lain. Marisa mencoba menghubungi Nia dan juga Arman. Mencari tahu informasi orangtua Angga.

Mereka cukup membantu dengan memberikan nomor kontak Darwin Darmanto. Haryanto kemudian menghubunginya, sekedar bertanya tentang kabar Angga. Dan menceritakan sedikit tentang keadaan putri kesayangannya. Namun, hal ini ditanggapi berbeda oleh kedua orangtua Angga. Mereka tidak ingin ada hal-hal yang bisa membuat konsentrasi putranya terganggu. Dan meminta dengan hormat agar Asha menjauhi Angga.

Meski kecewa, Haryanto menerima permintaan mereka. Tho, sejak awal memang Haryanto belum rela melepas putrinya untuk menikah dengan Angga. Jadi semua tergantung pada putrinya. Semoga kesedihannya bisa terobati oleh waktu.

***

Selama masa orientasi mahasiswa, sebetulnya ada kakak tingkatnya yang sempat mendekatinya dan menyatakan perasaannya. Namun ditolaknya saat itu juga. Alasan yang digunakannya saat itu, papanya tidak akan mengijinkan lelaki mana pun, menjadi pacar atau kekasihnya.

Di tahun berikutnya, saat Asha sudah berdamai, karena tak lagi bisa berhubungan dengan Angga, tak punya alamat surat, email, bahkan nomor kontak Angga. Pada jaman itu, belum ada media sosial seperti kita sekarang.

Lelaki itu tetiba datang ke rumahnya dan langsung mengutarakan maksudnya. Ingin dekat dengan Asha.

Haryanto masih ingat jelas dengan pertentangan orangtua Angga terhadap putrinya. Akhirnya mengajukan syarat, jika lelaki itu sudah lulus dan memiliki pekerjaan untuk menafkahi putrinya kelak, dia boleh mencoba datang lagi.

Bak gayung bersambut. Lelaki itu lulus dan memiliki pekerjaan yang sekiranya cukup untuk membiayai putrinya. Saat itulah dia datang kembali ke rumah untuk meminta Asha.

Asha yang sudah diberitahu sebelumnya, hanya menurut, ketika lelaki itu datang mengutarakan maksudnya. Asha masih meminta waktu, paling tidak sebulan.

***