"Lo cantik, Sha," puji Angga saat melihat foto-foto polaroid mereka, sambil berjalan ke arah parkiran mobil. Yang dipuji pura-pura cuek. "Sayang, fotonya cuma ada satu-satu, ya. Lo mau yang mana, Sha?"
"Apa yang lo suka dari gue sih, Ngga?" Yang ditanya malah mengalihkan pembicaraan.
"Jujur. Gue juga gak tau. Cuman satu hal yang gue rasa, lo satu-satunya cewek yang cuek banget sama gue, dan ... galak."
"Masa sih? Galak gimana maksud lo?"
"Lha ... lo-nya aja masih galak gitu sama gue, setelah gue nyatain perasaan gue, padahal gue dah bantuin lo belajar, traktir lo makan ...."
"Eh stop, stop, stop, .... Jadi gak ikhlas, niy?" sewot Asha seraya memajukan bibirnya, cemberut.
"Hehe, ikhlas, kok. Tapi mulai hari ini kita berdamai, ya. Jangan ngambek terus."
"Gak janji," yang ditanggapi dengan kekehan Angga.
***
Setibanya di rumah Asha, langit sore masih terlihat cerah. Setidaknya Asha tidak pulang hingga malam.
"Lo mau masuk dulu, Ngga?" tawar Asha
"Kenapa? Masih kangen, yah?"
"Duh, salah, deh, gue nanya."
"Gak sekarang, deh. Biar lo bisa istirahat. Kan, tadi katanya cape."
"Oke. Makasih, ya, Ngga." Baru saja Asha akan membuka pintu mobil, tangan Angga menariknya. "Apalagi, Ngga?"
"Bentar, gue masih kangen. Pengen liat muka lo." Yang langsung direspon dengan cubitan oleh Asha. "Sakit dong, Sha!" Suara Angga terdengar memelas dan teraniaya.
"Lagian lo genit, ah! Geli gue"
"Kan, genitnya sama lo, doang, Sha."
"Bodo!"
"Igh, kok, gitu, siy."
"Gitu gimana? Dah, ah, gue turun, yak. Daripada ntar jadi ribut. Thanks, ya, Ngga," Asha mengalah.
Asha kemudian turun. Angga menantinya hingga Asha benar-benar sudah masuk ke dalam rumahnya. Kemudian baru melajukan mobilnya.
***
Malam itu Asha tidak bisa tidur. Teringat kata-kata Angga tadi siang. Soal perasaannya kepada Angga.
'Lo mulai suka, ya, ma gue!' Seolah kata-kata itu terekam di alam bawah sadarnya dan diputar berulang-ulang.
"Ugh. Dasar Angga kepedean!" monolognya. "Bisa-bisanya dia nebak jitu gitu! Hmfttt." Sambil menutup muka pakai bantal.
'Tapi maaf, ya, Ngga. Gue gak bisa baikin lo. Meski lo selalu baik sama gue. Karena gue takut. Takut jatuh cinta sama lo, saat lo jauh nanti," renung Asha sedih.
***
Tak jauh berbeda dengan Asha. Angga pun malam ini tidak bisa tidur nyenyak. Berkali-kali ditatapnya foto-foto dia dan Asha tadi siang. Karena Asha beralasan itu 'hadiah' dia untuk Angga karena sudah banyak membantunya ketika belajar, Asha tidak mau mengambil satu foto pun. Meski sebetulnya Angga sendiri yang membayar semua foto-foto itu. Eh, jadi gimana tuh, ya?
Ditatapnya foto yang terakhir diambil. Saat mereka berdua saling menatap. 'Gue makin jatuh cinta sama lo, Sha! Gue harap kita berjodoh. Gue bakal buktiin gue bisa jadi orang sukses sebelum melamarmu, Sha,' batinnya mulai menerawang ke masa depan.
***
Dua pekan berlalu begitu saja, sejak terakhir mereka bertemu dan pertama kalinya mereka bisa jalan berdua dengan ijin orangtua mereka.
Sejak itu pula mereka tidak lagi bertemu. Angga yang mulai disibukan dengan berbagai keperluan untuk ke Jerman, sesekali menyempatkan diri menelepon Asha, melalui telepon rumah. Itu pun tidak bisa lama-lama. Karena mesti diinterupsi Haryanto, papanya Asha. Ah, andai mereka berdua punya telepon genggam. Betapa bahagianya.
Awal September. Angga sudah bersiap-siap menuju bandara. Ditemani kedua orangtuanya dan juga Arlan, kakak laki-lakinya yang sudah menikah dan memiliki satu orang putra. Bekerja sebagi staf di salah satu perusahaan Darwin Darmanto di bidang properti. Ya, hanya staf, meski papinya pemilik perusahaan itu, dia tetap mengajarkan pada anak-anaknya, bahwa semua harus dijalani dari bawah. Turut bersama Arlan, istrinya, bernama Naomi, wanita keturunan Jepang, yang kini tengah mengandung anak kedua mereka.
Angga berkali-kali melirik jam tangannya, ketika mereka tiba di bandara. Sesekali pandangannya menyusuri koridor bandara. Masih ada waktu beberapa menit sebelum pesawatnya lepas landas.
"Papi dan Mami duluan aja, deh, Angga di sini dulu," ucapnya kemudian karena melihat kedua orangtuanya yang juga akan ikut bersamanya ke Jerman tak sabar.
"10 menit, ya, Ngga. Gak lebih, nanti kamu ketinggalan pesawat," titah Darwin.
"Iya, Pi."
***
"Pa, cepetan, dong, nanti keburu telat ini," ucap seorang gadis dari kursi penumpang terdengar cemas.
"Sabar, Sayang," hibur sang mama.
"Maafin papa, ya, tadi salah belok, jadi harus muter agak jauh." Sambil tetap fokus menyetir.
Sang gadis menggigit bibir bawahnya, kebiasaannya ketika cemas. Dieratkannya kedua tangannya yang menggenggam bungkusan berwarna merah. 'Angga, tunggu gue, please,' pintanya lirih dalam hati, berharap bisa telepati dengan Angga saat situasi seperti ini.
Akhirnya, mobil tiba di tempat tujuannya. Tanpa menunggu kedua orangtuanya turun dari mobil, Asha bergegas berlari ke arah pintu keberangkatan internasional. 'Moga lom check in.' Doanya.
"Angga ...," teriaknya saat melihat sosok yang sudah dikenalnya. Pemuda tampan dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru, celana khaki.
Angga spontan mengedarkan pandangannya, ketika merasa ada yang memanggil namanya. Dilihatnya gadis pujaan hatinya berlari menuju arahnya. Mengenakan dress panjang 3/4 berwarna peach. Rambutnya yang terlihat mulai panjang melewati bahunya digerai begitu saja, membuatnya menari-nari mengikuti gerakan tubuhnya.
Hampir sebulan tidak bertemu dengan Asha. Melihatnya lagi saat ini .... Dadanya bergemuruh. Bibirnya kemudian menyunggingkan senyum. Tak ingin membuat gadisnya kelelahan, Angga berlari menghampiri.
"Maafin gue telat, Ngga," ucap Asha terengah, ketika akhirnya mereka berdiri berhadapan, hanya menyisakan jarak setengah meter. "Ini ... buat lo," ucap Asha seraya mengulurkan bungkusan kepada Angga.
Angga terdiam sesaat, mengamati gadis di hadapannya. Asha sepertinya sengaja berdandan hari ini, bagian ujung rambutnya dibuat bergelombang. Dengan gerakan sadar, dia mengulurkan tangannya. Menyelipkan helaian rambut Asha yang sedikit berantakan di balik kupingnya. Terlihat cantik sekali.
"Angga ...," panggil Asha lirih karena bungkusan itu belum juga Angga ambil.
"Boleh aku memelukmu, Sha?" pinta Angga setelah menerima hadiah dari Asha. Asha terkejut beberapa saat, kemudian mengangguk pelan. Angga maju selangkah, hingga tak ada jarak di antara mereka.
"Kamu tau, Sha, selama beberapa hari, dirimu memenuhi pikiranku," tutur Angga seraya memeluknya.
"Melihatmu hari ini makin membuatku jatuh cinta padamu. Ingin rasanya aku melamarmu, Sha, saat ini juga. Dan membawamu ikut denganku.
"Namun aku sadar, gak mungkin aku melakukannya untuk saat ini. Aku belum punya apa-apa sekarang. Aku gak mau kamu sengsara, Sha.
"Aku akan selalu mencintaimu, Asha. Apapun yang terjadi nanti. Tunggu aku, Asha. Akan kubuktikan, dirikulah yang pantas bersanding denganmu."
Asha tak sanggup berkata apapun, namun ia membalas pelukan Angga, yang membuatnya makin mengeratkan pelukannya.
Dirasakannya tubuh Asha bergetar, "Jangan nangis, Sha. Please?" pinta Angga dan mengurai pelukannya. Diletakkan kedua tangannya di bahu Asha. Ditatapnya lekat wajah Asha yang telah berurai air mata.
***