Chereads / Elegi Cinta Asha / Chapter 7 - Detik-detik Perpisahan 2

Chapter 7 - Detik-detik Perpisahan 2

"Good luck, ya, Sha!" doa Angga, ketika 'melepas' Asha menuju ruangan tempat dilaksanakannya UMPTN, di sebuah gedung di Universitas B.

Pagi hari di bulan Juli itu, tepat sebulan lagi, sebelum keberangkatan Angga ke Jerman, Angga sengaja menjemput Asha sejam sebelumnya, di rumahnya. Kemudian meminta ijin kepada Haryanto agar membolehkannya mengantar Asha. Beruntungnya, Haryanto mengijinkan. Ini kali pertama, Angga mendapat ijin pergi berdua saja dengan Asha.

Haryanto, selama mengawasi putrinya belajar dengan Angga dan teman-temannya, diam-diam menilai sikap dan kepribadian anak itu. Yang ternyata, sangat santun dan rendah hati, meski menurut cerita putrinya, Angga berasal dari keluarga berada. Ayahnya seorang pengusaha sukses, yang memiliki banyak perusahaan, dan cabangnya tersebar hampir di seluruh Indonesia dan beberapa di luar negri. Sedangkan ibunya, pemilik butik terkenal, yang juga memiliki bebarapa cabang, di beberapa kota besar.

Angga menanti Asha, dengan setia melewati ujiannya. Sesekali terlihat serius membaca buku berbahasa Jerman.

"UMPTN, DONE!" teriak Asha semangat dari balik punggung Angga. Senyum merekah terlukis di wajahnya. Membuat Angga lagi-lagi terkesima. Jantungnya berasa berdebar lebih cepat. 'Ada apa ini ...,' batinnya.

***

"Iya, Pa, Asha langsung pulang, kok, abis ini. Makasih, ya, Pa. Love you, muach ...," ucap Asha girang, dari balik bilik telepon umum.

Ah, andai saja Asha punya telepon genggam, tidak akan serepot ini untuk meminta ijin Haryanto. Karena telepon umum di kampus Universitas B rusak, jadi Asha harus jalan sedikit keluar kampus menuju Wartel.

Yup! Di masa itu, telepon genggam, apalagi telepon pintar, masih terbilang barang mewah. Hanya kalangan menengah ke atas yang memiliki. Bahkan Angga, yang berasal dari keluarga berada saja tidak diberi fasilitas itu, oleh kedua orangtuanya, padahal,mereka mampu. Alasan utamanya, mereka ingin mendidik anak-anak mereka menjadi orang-orang yang mandiri, tidak manja, yang hanya menengadahkan tangan saja.

"Gimana? Dapet ijin?" tanya Angga, tetiba merasa gugup, perutnya ntah mengapa menjadi mulas. Jantungnya juga berdebar lagi.

Asha mengangguk sambil tersenyum. Seketika Angga merasa beban di hatinya terlepas. "Mau ngajak kemana? Emang punya duit?" tanya Asha tak tahan untuk tidak menggoda.

Hari ini bagi Asha terasa indah, karena satu bebannya terlepas sudah. Tinggal menunggu hasil UMPTN keluar. Tapi dia cukup yakin bakal lulus dan bisa masuk Universitas A yang diidamkannya. Meski nanti bakal terpisah dengan sahabatnya, Nia yang berbeda jurusan. Semua ini tak lepas dari jerih payah Angga yang sabar mengajarinya, meski ia tahu dalam hatinya, Angga melakukan ini karena ada maksud.

"Lo laper, 'kan, mesti. Kita cari tempat makan dulu, yuk. Lo mo makan apa? Gue traktir!" ajak Angga.

"Duh, yang duitnya banyak, gaya banget, deh!" Makan di kantin aja, yuk, yang murah meriah," tawar Asha yang langsung disetujui Angga.

Di kantin, ternyata sudah ramai oleh para calon mahasiswa yang tadi mengikuti UMPTN, hal ini membuat Asha kecewa, karena bangku dan meja sudah terisi penuh.

Angga yang melihat ini langsung mengajak Asha makan di tempat lain. "Makanan kesukaan lo apa, Sha?" tanyanya.

"Gue gak milih-milih, siy, apa aja doyan. Kalo lo?"

"Lo doyan makan, Sha?" alis Angga terangkat dan pura-pura menilai Asha, dari ujung rambut hingga ujung sepatunya. "Gak keliatan, Sha!" lanjutnya (lagi-lagi) pura-pura terkejut.

"Halah, bilang aja, lo mo ngatain gue cacingan, ya, 'kan?!" dengus Asha (ikutan pura-pura) marah.

Angga seketika terbahak. "Maksud gue muji, lo tuh,tetep langsing, meski makan banyak. Ya dah, mau makan ayam goreng, gak? Kita makan di pecel lele pinggir jalan, mau gak?"

"Hayuklah! Hari ini gue milik lo," ucap Asha sambil tersenyum jahil dan berlari meninggalkan Angga.

"Lo bilang apa, Sha??? Gue gak denger!!!" bohong Angga, sambil ikut berlari mengejar Asha.

***

"Kan, gue bilang apa. Enak pake motor lagi. Mobil, klo macet gini, mana bisa nyalip coba," gerutu Asha, sambil melipat kedua tangannya di depan dada, bibirnya dimajukan, matanya lurus melihat mobil-mobil di depannya, yang belum juga bergerak sejak 20 menit lalu.

"Lo kebelet pipis, Sha?" tanya Angga jahil.

"Kagak! Kenapa jadi nanya itu? Igh, privasi tau!" sungut Asha.

"Nah, nyantai aja kali. Nikmatin, dong. Kapan lagi coba, bisa lama-lama berduaan sama gue gini." Angga terlihat menaik turunkan alisnya.

"Kepedean, igh!" ujar Asha, tapi ucapan Angga tiba-tiba menghilangkan sedikit kesal di hati Asha.

"Nah, gitu, dong! Biar dulu itu gue kata 'lo cantik klo lagi marah', tapi kalo lo senyum tambah cantik, Sha. Bikin gue brasa jantungan." Kata-kata terakhir sebetulnya cukup membuat Angga gugup. Apalagi melihat reaksi Asha, yang hanya diam, menatapnya tanpa ekspresi.

"Udah gombalnya?" ucap Asha akhirnya, setelah puas melihat Angga salah tingkah. "Dah, jalan, tuh, Ngga. Fokus, dong, ah!"

Angga terkekeh, kemudian mulai melajukan mobilnya. Hingga akhirnya mereka tiba juga di sebuah tenda di pinggir jalan yang menjual pecel lele.

***

"Mau lanjut kemana, Tuan Putri?" tanya Angga setelah mereka selesai mengisi perut mereka.

"Ngikut aja, deh. Macet di mana-mana gitu. Bikin bingung. Lo gak cape apa, nyetir macet-macet?" Pasrah Asha, sambil menyeruput minuman es jeruknya hingga habis dan berbunyi 'srooot' 'srooot' membuat Angga terbelalak. Baru kali ini, dia melihat Asha yang memang tomboy, begitu tidak tahu malunya. Tapi hal itu tidak membuatnya malu, bahkan makin membuatnya ... terkesima! Oh, apakah ini yang dinamakan cinta buta?

"Duh, Sha! Lo haus banget? Bilang, dong! Ta pesenin lagi, yah?" tanya Angga pura-pura panik yang langsung mengundang gelak tawa Asha.

"Serius, Sha!"

"Oke, boleh, hehe ...."

Mereka berdua pun tertawa bersama. Mungkin dalam pikiran para tamu yang juga makan di tenda ini, mereka adalah pasangan 'gokil'. Tertawa cekikikan, sama sekali tidak romantis!

"Tiba-tiba, kok, pengen makan rotbak ya, Ngga," kata Asha, setelah minumannya yang kedua datang.

"Serius? Lo belum kenyang?"

"Hehe ... anggap aja ngemil, siy."

"Lo ijin ma bokap mpe jam berapa, Sha?" Tetiba Angga teringat papanya Asha yang begitu melindungi anak gadisnya itu.

"Bokap cuman bilang, jangan pulang malem aja."

"Oh, klo gitu kita pulang pagi aja, Sha!" ucap Angga asal yang langsung diplototi Asha.

"Coba aja kalo berani," tantang Asha.

"Gak, deh! Gak berani gue, lawan calon mertua." Seketika membuat Asha tersedak minumannya dan hampir menyembur.

"Ngomong apa lo, Ngga?" saat akhirnya Asha bisa bicara lagi setelah kesusahan tadi.

"Hehe ... becanda. Dah, yuk, jalan lagi."

"Mau ke mana?"

"Hari ini, lo milik gue, 'kan? Jadi, lo ikutin aja gue, ya."

"Jangan macem-macem, Ngga!"

"Gak berani gue, Dan 4 gitu, hahaha ...." Seraya meninggalkan Asha yang kesal.

***

"Taman bunga?" Asha mengangkat alisnya bingung. "Serius Ngga, lo mo ngajak gue ke sini?"

"Bentar aja, gue pengen punya foto bedua sama lo. Biar gue bawa ke Jerman." Kontan membuat lidah Asha kelu.

'Kok, gue jadi nyesek, ya, dengernya,' batin Asha, yang langsung dienyahkan dalam pikirannya.

"Lo mo turun, gak?" Asha akhirnya tersadar dari lamunannya, tersenyum kaku 'Sejak kapan Angga sudah ada di depannya—turun dari mobil?' batin Asha, kemudian beranjak turun. Memperhatikan Angga menutup pintu mobilnya ketika Asha sudah berdiri di sampingnya.

Ketika itu dia baru menyadari badan Angga yang atletis—karena salah satu pemain basket yang tentu saja rajin berolahraga. Tinggi badannya mungkin hampir 2 meter, mengingat tinggi Asha yang 165 cm saja saat berada dekat begini harus menengadahkan kepalanya.

"Sha?" Lagi-lagi Asha melamun. "Ayo!" ujar Angga kemudian tersenyum, seraya mengulurkan tangannya untuk segera beranjak dari parkiran.

'Duh, kenapa lagi ini gue?? Sha, fokus, dong, lo, fokus!' rutuknya dalam hati. Melihat uluran tangan Angga masih di hadapannya, seketika membuatnya ragu. Namun hanya sebentar. Karena kemudian Angga menarik tangan Asha dengan tangan satunya yang bebas, agar Asha mau menggenggam tangannya.

Mereka pun jalan menuju loket untuk membeli tiket masuk.

Melihat tangannya ada di dalam genggaman Angga, perasaan aneh itu muncul, seperti ada kupu-kupu terbang di perutnya lalu perlahan naik ke jantungnya, 'Duh hati! Be strong, please!' jerit Asha dalam hati, lebih dari sekedar doa.

***