Chereads / Elegi Cinta Asha / Chapter 4 - Masa Remaja 4

Chapter 4 - Masa Remaja 4

Melalui hari ini, terasa begitu lama, yang menemani mereka berdua, di dalam ruang inap, hanya suara mesin monitor jantung dan alat bantu pernapasan. Terbesit rasa tidak tega, di hati Asha, melihat kondisi papanya saat ini. Tak terasa, air mata jatuh membasahi pipi Asha yang putih. Marisa yang melihatnya, hanya bisa menghiburnya, dengan mengelus punggungnya.

Asha, adalah anak semata wayang Marisa dan Haryanto. Meski Haryanto sibuk dengan pekerjaannya, tetapi setiap akhir pekan, selalu menyempatkan diri mengajak Asha dan istrinya berlibur.

Menyaksikan papanya sekarang, hanya tertidur, membuat Asha mengenang masa-masa indah, saat mereka berlibur ke banyak tempat. Baik di dalam maupun di luar negri.

***

Tepat pukul 2 siang, ada yang mengetuk pintu ruang inap papanya. Mamanya beranjak dari sofa dan membukakan pintu. Dilihatnya, sahabat anaknya dari balik pintu, bersama anak laki-laki yang kemarin datang ke rumahnya.

"Eh, Nak Nia dan Angga. Mari masuk." Marisa mempersilahkan keduanya masuk.

Asha yang melihat kedatangan mereka berdua, menarik senyumnya sambil memberi kode kepada Nia, sahabatnya sejak TK.

"Apaan sih, Sha! Gue tau dari Angga, kalo bokap lo, masuk rumah sakit. Jadi, gue pengen jenguk, bareng Angga. Nggak ada apa-apa, kok," jelas Nia menghindar tatapan Asha.

Angga yang melihat interaksi keduanya lalu menanggapi, "Gue masih mau usaha ma lo, Sha!" Yang langsung diplototi Asha, dan seketika membuat Nia tertawa.

Asha kemudian mengerutkan keningnya, 'Angga tau dari mana, ya?' batinnya.

"Kemarin, mama yang kasih tau,"—menangkap raut wajah bingung Asha—"udah pada duduk dulu, dong. Mau minum apa?" tanyanya kemudian kepada Nia dan Angga.

"Jus jeruk, boleh,"

"Wah, gak usah, Tante!"

Angga dan Nia menjawab berbarengan. Asha dan Nia kemudian sama-sama memutar bola matanya.

"Gak sopan lo, Ngga!" bisik Nia.

Marisa tertawa melihat tingkah 3 remaja di hadapannya ini, "Gak apa-apa, kok, Nak Nia. Kebetulan ini ada minuman ringan rasa jeruk. Nak Angga mau ini aja, gak apa-apa?" Seraya menyodorkan dua minuman itu ke hadapan Angga dan Nia.

"Terima kasih, Tante," ucap Angga, "dah terima aja, siy, tadi lo sendiri yang bilang pas di jalan, haus," lanjutnya kepada Nia.

"Hehe, iya ... makasih ya, Tan."

***

"Sha, gue balik dulu, ya, moga bokap l lekas siuman dan sehat lagi." ucap Nia ketika berpamitan, "Tante, maafin Nia, ya, udah dateng gak bawa apa-apa, tapi malah ngerepotin makan minum di sini," lanjutnya ke mamanya Asha. Kemudian memberi kode kepada Angga, agar anak itu juga ikut pulang.

"Eh, gue belakangan aja. Ada hal penting yang mau gue omongin sama Asha," ucap Angga yang langsung mendapat tatapan sinis dari Asha.

"Bentar aja, Sha," menatap Asha sekilas, "Boleh, 'kan, ya, Tan?" seraya menatap Marisa, meminta ijin, yang langsung diiyakan.

***

"Buruan, lo mo ngomong apa?" tanya Asha, ketika mereka berdua di luar ruangan. Tadinya, Angga ingin mengajak Asha ke kafe yang ada di rumah sakit, tapi Asha menolak, dengan alasan tidak mau jauh-jauh dari papanya.

"Kemarin, Nia nyatain perasaannya ke gue ...," ucap Angga terus terang, sambil menatap lekat wajah Asha. Ingin melihat reaksinya.

"Trus?" tanggap Asha datar.

"Ya gue tolak."

"Kenapa?"

"Lho, kok, malah nanya kenapa?"

"Jadi, ini yang lo bilang hal penting, yang mau lo omongin ke gue?" Asha langsung beranjak, namun pergelangan tangannya ditahan oleh Angga.

"Bentar dulu, Sha! Masih ada yang mau gue omongin. Please, jangan pergi dulu." Asha kemudian duduk kembali.

"Gue gak apa-apa, kok," ucap Asha cepat.

"Maksud lo?"

"Ya, kalo Nia suka sama lo, dan lo juga suka. Jadian aja. Ngapain kudu laporan sama gue, dan lagi, lo sama dia hari ini barengan juga dateng ke sini. Jadi, kenapa kudu bilang juga sama gue soal itu."

"Cemburu?" goda Angga sambil menyeringai.

"Duh, Angga, lo kepedean banget, sih! Nyesel deh gue, waktu lo nawarin gue balik bareng waktu di GOR. Gue kira, lo ikhlas nolongin gue."

"Kenapa jadi bahas yang itu? Gue mang tulus nawarin,!kok. Anak cewek, pulang malem sendirian. Kan, kasian."

"Oh, jadi karena kasian, ya? Wah, gue dah salah paham, dong, ya."

"Yup!"

"Gue kira, karena lo naksir gue, hahaha ...."

"Itu juga, siy," kekeh Angga.

"Dah, ah. Lo mah, bahas yang gak penting gini. Gue mo masuk lagi aja." Asha langsung beranjak dari duduknya, dan berjalan menuju ruang rawat inap papanya. Baru dua langkah Asha berjalan, dihentikan oleh ucapan Angga.

"Gue keterima di Universitas A, di Jerman."

Asha kemudian membalikan badannya, menatap Angga. "Selamat, kalo gitu."

"Kita bakal lama gak akan ketemu, Sha," keluh Angga.

"Ya udah, lo kuliah di sini aja, mang gak bisa?"

"Bokap gue yang minta. Gue gak bisa nolaklah,"—jeda sejenak dan menghela napas—"gue cuma mau bilang, waktu gue di sini gak lama, dan bakal gue manfaatin, buat bisa ketemu lo, sering-sering. Jadi, siapin diri lo, ya. Gue pulang sekarang, pamitin gue ke mama lo. Moga papa lo lekas sehat."

Asha termenung beberapa saat, namun langsung menganggukan kepalanya. "Tapi, gue gak bisa janji. Papa-mamaku gak, 'kan ijinin gue pacaran, Ngga."

"Its okey. Gue gak butuh status pacar lo. Gue cuman pengen deket aja ama lo," ucap Angga kemudian, dan langsung beranjak pergi meninggalkan Asha, yang terdiam.

"Tapi, gue gak mau para fans lo tau!" tukas Asha akhirnya, yang langsung disetujui Angga.

***

Tiga pekan sudah, sejak Haryanto, papa Asha dirawat. Masih belum ada perkembangan, dan Asha sudah kembali ke sekolah. Menjalani masa-masa persiapan ujian kelulusan. Yang cukup menyiksa bagi Asha. Dengan kemampuan akademisnya yang pas-pasan Asha akhirnya mengikuti beberapa les tambahan, yang makin banyak menyita waktunya, sesekali, masih menemani sang mama di rumah sakit. Bergantian jaga, sambil belajar untuk EBTANAS, yang tak kurang dari sebulan lagi.

Kesibukannya, membuatnya lupa, akan ucapan Angga yang lalu. Dan Angga sendiri pun, meski terbilang memiliki otak yang cerdas—untuk menghadapi EBTANAS, dan sudah ada kepastian akan melanjutkan kuliah di mana—jadi tidak perlu mengkhawatirkan kelanjutan studinya, masih disibukan dengan survey mencari tempat tinggal saat di Jerman nanti.

Tak jauh berbeda dengan Asha, Nia pun harus fokus dengan pelajarannya. Mereka berdua bertekad, harus lulus dan sama-sama diterima di universitas.

Seperti biasa, sepulang sekolah, Asha menyempatkan diri untuk menjenguk papanya. Dan di sinilah Asha, menemani papanya, sementara mamanya pulang lebih dulu. Sibuk berkutat dengan soal-soal latihan yang diberikan oleh guru lesnya.

Terdengar suara ketukan di pintu, dan tak lama, pintu langsung terbuka, menampakan sosok remaja yang rupawan, yang selama beberapa waktu tidak mengganggu Asha. Dan ini memberi keuntungan buat Asha, karena jarang berinteraksi, para fansnya Angga tak lagi curiga padanya, namun mulai curiga dengan Nia.

"Lagi apa?" tanya Angga, sambil berjalan masuk. Terlihat membawa dua kantung di kedua tangannya. "Ini, buat lo. Moga lo suka martabak." Seraya menyodorkan kantung di tangan kanannya.

"Biasa, belajar buat EBTANAS. Gue, 'kan, gak kaya lo. Bisa nyantai. Kudu jauh-jauh hari belajarnya." Matanya masih serius menatap soal-soal di bawah.

"Sini, gue bantuin! Dijamin lulus." Seraya menepuk dadanya.

"Sombong luh!" dengus Asha, yang ditanggapi oleh kekehan Angga.

"Makan dulu. Nanti kita bahas bareng soalnya."

Mereka pun akhirnya makan dan setelahnya membahas soal-soal, yang sengaja Angga bawa tadi, saat akan menjenguk papanya Asha. Tak dapat dipungkiri, ternyata, Angga memang benar-benar pandai dan sangat sabar, saat mengajari Asha, hingga betul-betul paham dengan semua soal-soal yang Angga berikan.

Tak terasa, waktu dua jam telah berlalu. Saat mereka sedang serius membahas soal, Marisa datang. Otomatis membuat Asha terkejut, dan duduk menjauh dari Angga. Khawatir, mamanya akan marah, karena Asha duduk begitu dekat tadi, dengan Angga.

"Kenapa, Sayang, kok, kaget gitu, siy," usil mamanya, "Lanjutin aja, siy, klo lagi belajar mah." Seraya terkekeh geli.

Angga akhirnya pamit, setelah selesai menjelaskan beberapa soal yang tersisa. Dan berjanji, besok akan mengajari Asha lagi, setelah mendapat persetujuan dari Marisa.

Hari-hari Asha pun berubah, tiada hari tanpa Angga. Anak itu benar-benar memanfaatkan waktunya, untuk bisa selalu dekat dengan Asha, dan berharap Asha mulai membuka hatinya. Meski, Angga tahu hubungan mereka, tidak akan berlanjut lebih dari sekedar teman.

***

Hari kelulusan yang dinanti pun tiba. Asha menerima raport, kali ini hanya sendiri, karena mamanya masih harus menemani sang papa. Yup, tepat dua bulan sudah, papa Asha di rumah sakit, dalam keadaan koma.

Pulang dari mengambil raport, Asha langsung ke rumah sakit, ingin memberi kabar gembira kepada kedua orangtuanya.

Asha tiba di depan pintu kamar papanya dirawat. Sayup-sayup, terdengar suara yang begitu familiar di indra pendengarannya. Suara yang selama dua bulan ini tak lagi didengarnya. Dengan gemetar, tangannya membuka pintu itu, dan dilihatnya, papanya setengah berbaring, sedang diperiksa oleh dokter.

Meski rona wajahnya masih terlihat pucat, dan tirus, tapi, wajah itu mengurai senyum, yang begitu dirindukan Asha.

Menyadari putrinya datang, Haryanto, menolehkan kepalanya, menatap Asha. Asha yang begitu bahagia, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Hanya bisa menangis, karena bahagia. Diciumnya tangan papanya dan dipeluknya erat.

"Asha kangen, Papa!"

"Papa juga, Sayang"

***