"Asha ...," panggil Nia, seraya mencoba mengejar Asha. "Please, berenti, Sha, gue bisa jelasin."
Asha kemudian berhenti ketika dirinya sampai di sebuah bangku taman, tak jauh dari sekolah. "Duduk!" perintahnya gusar.
Nia menurut. "Sha, maafin gue."
"Kenapa minta maaf?"
"Gue cuma mau bantu Angga, Sha."
"Bantuin apa? Bukannya lo bilang, lo suka sama dia? Trus lo bantuin apa?"
"Angga pengen, sebelum ke Jerman, nyatain perasaannya, Sha."
"Di depan umum kaya gitu? Konyol banget siy!" Asha menghela nafasnya sejenak. "Untung bokap nyokap gue udah pulang. Gue gak abis pikir, kenapa lo bedua bikin drama kaya gitu." Nia hanya menunduk.
"Trus, lo gak mikirin perasaan lo sendiri? Aneh!"
"Gue udah ditolak, Sha. Di hati Angga cuman ada lo."
"Gue juga udah nolak dia."
"Tapi bukan berarti lo gak suka Angga, 'kan? Lo nolak dia karena orangtua lo, 'kan, yang larang pacaran."
"Dia nyuruh lo nanya begini juga?"
"Nggak. Angga cuman minta tolong gue buat duet lagu itu. Dia pengen liat reaksi lo aja."
"Reaksi apa maksudnya?"
"Saat dia utarain perasaannya. Cuman itu, Sha."
***
Sementara di aula, Angga yang melihat Nia dan Asha keluar. Ingin ikut mengejar mereka. Namun baru saja dia turun dari panggung. Ada yang mencekal lengannya.
"Angga, ikut kami sekarang." Terdengar suara tegas seorang pria. Angga kemudian mengikuti dua orang di depannya. Pria dan wanita separuh baya.
Setelah aksi drama mencengangkan Sang Primadona, yang sempat ricuh oleh fansnya Angga, bu Mira, selaku koordinator acara pun turun tangan. Acara kemudian dilanjutkan kembali dengan hiburan yang lain. Giliran Arman dan kawan-kawannya yang unjuk kebolehan di atas panggung.
Setelah menjauh dari keramaian, wanita itu buka suara. "Jelaskan pada mami, ada apa ini, Ngga?" tanya Arumi, maminya Angga.
"Kamu ini baru saja lulus, malah bikin ulah." Darwin Darmanto, papinya Angga menanggapi omongan maminya.
"Namanya anak muda Mi, Pi," dalih Angga.
"Kamu kuliah dulu yang bener, deh, gak usah mikir cinta-cintaan segala," tukas Arumi.
"Iya Mi. Angga gak, 'kan, pacaran juga, kok. Asha juga gak diijinin pacaran sama papa mamanya. Angga cuman pengen Asha tau aja, klo Angga suka sama dia."
"Kamu ini. Pintar tapi bodoh!" sesal Darwin. "Kalo kamu bersikap kaya gitu, apa gak bikin teman kamu malu?"
"Iya Pi, Angga ngaku salah. Angga tadi mau ngejar dia, kok. Mau minta maaf."
"Ya udah sana!" usir Darwin.
"Beneran, Pi?"
"Iya, hanya minta maaf, gak ada yang lain!"
Angga pun bergegas mencari Asha dan Nia. "Makasih, Pi!"
***
Angga akhirnya menemukan Nia dan Asha, sedang duduk di sebuah bangku taman. Tampak keduanya sedang berbicara serius.
"Sha, ... maafin gue." Asha dan Nia sama-sama menolehkan kepalanya.
"Gue gak mau ada drama lagi kaya tadi!" tegas Asha sambil beranjak dari situ. Namun dicegah oleh Angga.
"Sorry, Sha, gue gak ada maksud bikin lo malu tadi. Beneran gue jatuh cinta sama lo. Bukan sekedar drama cari perhatian. Tanya aja Nia." Yang langsung dibenarkan oleh Nia.
"Angga, lo tau Nia yang suka sama lo. Tapi lo tega, ya, nyatain cinta sama gue. Sampe minta bantuan Nia—"
"Gue gak apa-apa, kok, Sha. Gue sadar rasa suka gue cuman karena kagum aja, sama kaya fans Angga yang laen. Gak lebih dari itu. Makanya gue mau bantu. Lo, 'kan, sahabat gue," sela Nia.
"Maafin kita, ya, Sha," pinta Angga sekali lagi.
"Oke, gue maafin lo bedua. Tapi jangan lagi bikin ulah yang bikin gue malu!"
"Siap, Bos," ujar Nia seraya memeluk Asha.
Angga yang ingin ikut memeluk langsung diacungi kepalan tinju oleh Asha. Mereka pun tertawa bersama.
***
Sepekan sudah sejak drama fenomenal yang menghebohkan SMU A berlalu. Asha, Nia, Angga dan Arman kini menjadi akrab. Terlihat hari itu mereka merayakan pertemanan mereka di Kafe X.
Asha dan Nia memesan makanan dan minuman favorite mereka di Kafe itu. Sedangkan para lelaki memesan segelas kopi latte.
"Jadi, kapan lo berangkat, Ngga?" Arman mengalihkan topik pembicaraan yang sedang hangat dibicarakan oleh teman-temannya, Novel serial Harry Potter, karangan J.K. Rowling yang konon akan terdiri dari tujuh buku. Di Indonesia, baru keluar jilid pertama, sedangkan di negri asalnya sudah sampai jilid ke tiga.
Mereka berdiskusi seandainya novel itu difilmkan, bakal masuk Box Office karena banyak sekali penggemar Harry Potter ini dan mereka termasuk di dalamnya. Hanya saja, kesempatan untuk nonton bareng kecil, karena Angga tidak melanjutkan kuliah di Indonesia.
"Akhir September mungkin." Tetiba nada suara Angga terdengar lesu.
"Yah, cemen lo, ah, jadi lemes gini," goda Arman.
Nia yang paham maksud Arman melirik Asha yang dengan tenang menikmati milkshake coklat.
Yang ditatap, merasa, tapi tetap tidak mengalihkan pandangannya dari gelas yang kini tinggal seperempat isinya. "Jangan mulai lagi deh Niaaaa ...." Kemudian Asha meliriknya tajam. Membuat Angga dan Arman terkekeh.
"Abis ini kita jalan ke pantai, yuk," usul Nia.
"Gue gak ikutan, ah. Gak, 'kan, diijinin bokap. Lagian, gue masih kudu belajar buat UMPTN, 'kan. Lo betiga enak, udah pada keterima di universitas," tolak Asha.
"Gue ajarin, ya, Sha," tawar Angga semangat. Terlihat berbinar matanya.
"Gue aneh ma lo, Ngga. Cari modus mulu. Basi!" ledek Arman. Asha yang mendengarnya tergelak seraya menjentrikan jarinya seolah berkata 'Nah!'
Sepekan lalu, saat mereka sudah berdamai pasca insiden pernyataan cinta Angga di muka umum, dengan alasan—modus untuk 'menebus rasa bersalahnya', dia menawarkan Asha untuk pulang bareng bersama Angga dan kedua orangtuanya. Dan itulah pertama kalinya Angga mengenalkan seorang gadis ke hadapan orangtuanya. Respon mereka ketika itu biasa saja. Tidak melarang, tetapi bukan berarti setuju jika putra keduanya ini berpacaran sebelum selesai kuliah. Tapi setidaknya mereka menerima keberadaan Asha dengan baik.
"Tapi, waktu EBTANAS kemaren Angga memang dapet lampu ijo, lho, dari nyokapnya Asha. Buktinya diijinin hampir tiap hari ketemu buat belajar bareng—" ujar Nia polos dan seketika itu pula dia menutup mulutnya, karena keceplosan ngomong. Asha memutar bola matanya kesal.
'Sorry,' ujar Nia tanpa bersuara.
Angga masih menatap lekat Asha, seolah menanti jawaban dengan penuh harap. "Gue tanya bokap dulu, deh," jawab Asha akhirnya yang langsung disambut teriakan 'yes!' bak Kevin McCallister, di film Home Alone.
***
Dua pekan lagi UMPTN Asha tiba, terlihat Angga dengan sabar mengajari Asha di rumahnya. Ya! Papanya Asha mengijinkan Angga menjadi mentornya, untuk membantu Asha agar lulus UMPTN dengan gemilang—seperti janji Angga, saat datang ke rumah ini dan bernegosiasi dengan Haryanto agar mau menerimanya. Dengan satu syarat! Mereka tidak boleh berduaan saja saat belajar.
Di sinilah mereka sekarang, Asha, Angga, Nia, Arman, dan juga Sesil. Ya, Sesil, adiknya Arman, merajuk ingin ikut ke rumah Asha. Alasannya, kangen dengan seniornya itu. Karna latihan Taekwondo sedang libur.
Meski Arman sudah diterima lewat jalur khusus di Universitas A, begitu juga Nia, tapi mereka demi solidaritas mau ikut 'membantu' Asha, agar bisa belajar dengan Angga.
Sesekali Marisa, mamanya Asha terlihat membawa beberapa kudapan juga minuman, yang tujuan sebenarnya adalah memantau atau lebih tepatnya memata-matai putri semata wayangnya belajar. Karena hari ini hari kerja, jadi hanya Marisa yang bisa mengawasi, biasanya Haryanto yang mengawasi mereka ketika belajar di akhir pekan.
"Kalo lo lulus, pengen dihadiahin apa, Sha?" tanya Angga saat mereka istirahat makan siang.
"Apa, yah? Masih bingung gue. Pengen mobil, gak bisa bawanya, hehe ...," jawab Asha asal.
"Masa, siy, lo gak bisa bawa mobil? Kalo motor, lo bisa?" tanya Arman.
"Motor mah si Asha bisalah! Kalo mobil, doi masih trauma keknya. Iya, 'kan, Sha?" jawab Nia cepat, yang langsung diplototi Asha. 'Duh, salah ngomong lagi, deh, gue,' batin Nia.
"Trauma kenapa, Sha?" tanya Angga mencoba terdengar simpati—padahal modus supaya ada alasan lain untuk mengajari Asha mengendarai mobil.
"—" Asha berpikir sejenak. "Tapi lo pade, jangan ngetawain, ya!"
Angga dan Arman spontan mengacungkan dua jari tanda bersumpah.
"Duluuu, gue sempet belajar ma sepupu gue. Gila aja, disuruh lewat gang sempit, yang cuman muat dua mobil, tok!" jelas Asha lamat-lamat.
"Gitu, doang, trauma?" seloroh Arman, yang langsung dipolototi Angga, merasa terganggu dengan interupsinya.
"Gang sempitnya gue bisalah lewat. Cuman"—Asha menghela nafas sejenak—"setelah itu lewatin belokan. Gue ampir masuk ke got yang mayan gede. Untung gak masuk. Bisa-bisa uang jajan gue dipotong papa, buat gantiin baret-baretnya atau penyoknya, tuh, mobil," lanjut Asha sedih.
Angga manggut-manggut, mengusap-usap dagunya sambil berfikir sejenak. "Yang penting lp selamat, gak kenapa-napa, 'kan, Sha. Kalo gue ajarin, mau gak?" Nia dan Arman langsung saling lirik, seolah berkata dalam diam 'Nah, 'kan, modus!'
Asha seketika tertawa sambil geleng-geleng. "Gak lagi, deh. Takut gue."
"Gak usah takut, 'kan, gue yang ngajarin. Dijamin lulus," ujar Angga menyombongkan diri.
Masih tertawa, Asha berkata, "Gue takut dimodusin lo, Ngga. Hahaha ...."
"Ah sial! Kebaca, ya," jawab Angga sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Sapa tau, klo lo bisa bawa mobil, 'kan, lo dibeliin mobil, Sha," bujuk Angga kemudian sambil mengerling nakal.
"Duh Aa, kita pulang aja, yuk," tiba-tiba Sesil menyela pembicaraan, yang sedari tadi hanya menjadi pendengar setia.
"Kenapa? Pengen muntah, yah, dari tadi denger Mas Angga membual," ledek Arman.
Nia, Asha dan Sesil kemudian tertawa. Sedangkan Angga mendengus, pura-pura merajuk.
"Bisa merajuk juga lo, Ngga. Ntar Asha kabur loh," ledek Arman lagi menggoda.
"Resek lo, Man!" jawab Angga cepat sambil memasukan suapan terakhir makan siangnya ke mulutnya.
***