"Nia, jadi apa gue terima atau nggak ya lamaran Kak Bayu?" tanya Asha di Sabtu siang saat mereka janjian bertemu.
"Jujur sama perasaan Lo, Sha."
"Bingung."
"Memang perasan Lo ke Angga gimana sekarang?"
"Yang itu gue gak tau lagi Nia. Dah ampir dua tahun gue gak tau kabar dia. Sepertinya Angga hilang gitu aja dari muka bumi. Coba Lo tanya Arman dong. Dia kan sobatnya," mohon Asha.
"Emang klo Lo bisa hubungi Angga, Lo bakal nolak lamaran kak Bayu?"
"Tergantung Angga. Kalo dia masih cinta ma gue. Masa iya gue nerima lamaran orang laen siy Nia."
Nia mencoba membantu dengan menghubungi Arman, namun nihil. Tidak ada yang tahu informasi tentang Angga. Sepertinya info tentang Angga ditutup rapat-rapat oleh orangtua dan kerabat Angga.
Dan tepat satu bulan itu akhirnya Asha memutuskan menerima lamaran Kak Bayu. Selang dua bulan kemudian mereka melangsungkan pernikahan yang sederhana.
Undangan untuk Anggapun sengaja dititipkan Arman. Namun seperti dugaan Haryanto, baik Angga ataupun kedua orangtuanya tidak hadir. Padahal Arman sengaja mencantumkan nomor telepon genggam Asha, yang siapa tahu saat Angga tahu, bakal menghubunginya.
Nia yang saat itu sudah menjalin hubungan dengan Arman, menaruh curiga, jejangan undangan Asha tidak pernah diterima oleh Angga.
***
Di tahun berikutnya Asha dinyatakan positif hamil. Tinggal satu tahun lagi kelulusan dirinya, dan berharap kala itu sudah melahirkan anaknya dengan Bayu.
Usia kandungannya sudah berjalan 5 bulan. Namun karena perawakannya yang tinggi. Kehamilannnya belum begitu nampak, hanya saja wajahnya jadi terlihat lebih berisi.
Kala itu masuk sebuah pesan singkat ke telepon genggam Asha, yang memintanya untuk datang ke sebuah restoran. Nia dan Arman berencana memberikan undangan pernikahan mereka.
Nia dan Arman sama-sama sudah lulus tinggal menunggu wisuda saja. Berbeda dengan Asha karena sempat mengalami pendarahan di awal kehamilannya, mau tidak mau kuliahnya diundur beberapa bulan hingga kandungan Asha dinyatakan kuat.
***
Dan di restoran itulah Asha dan Angga akhirnya dipertemukan kembali.
"Hamil?" Angga menganggkat kedua alisnya terkejut. Asha hanya bisa menunduk.
"Asha?" Angga bergegas menghampiri Asha yang mencoba menghindar.
"Angga, biarin Asha duduk dulu deh. Lo juga duduk." Arman mencoba menengahi.
Akhirnya mereka berdua duduk. Asha di sebelah Nia, dan Angga di sebelah Arman. Sehingga Asha duduk tepat di hadapan Angga. Masih menunduk.
"Kamu udan nikah Sha?" Yang lalu diangguki Asha.
"Kapan?" tanyanya setengah percaya. Jantungnya berdetak sangat cepat seolah habis berlari marathon. Wajahnya memerah menahan segala emosi.
Belum Asha menjawab, terdengar suara yang menginterupsi memanggil Angga.
Arumi, maminya Angga yang sejak tadi mengamati putra keduanya yang tetiba pergi, datang menghampiri dan langsung menyuruh putranya untuk kembali ke mejanya.
Setelah berbasa basi menyapa Nia dan Arman. Matanya menyelidik ke arah wanita yang masih menunduk. Kemudian mereka pergi.
"Lo gak kenapa-napa kan Sha?" tanya Nia khawatir setelah Arumi dan Angga tak lagi berada dekat mereka.
"Abis ini gue pulang ya Nia, Man."
"Makan dulu Sha, kita udah pesenin makanan," tawar Nia.
"Tiba-tiba ilang nafsu makan gue, Nia."
"Dibungkusin aja ya," tutur Arman memberi saran dan langsung diangguki Asha.
Sambil menanti makanan Asha dibungkus, Nia menyerahkan undangan pernikahannya sambil memohon maaf atas kejadian yang tak terduga. Setelah itu Asha pamit tanpa menoleh sedikitpun ke arah meja Angga.
Angga diam-diam mengamati Asha yang beranjak dari restoran itu. Separuh jiwanya terasa ikut bersamanya. Hatinya terasa nyeri.
***
Sabtu pagi yang cerah terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di sebuah rumah yang masih terlihat sama seperti ingatannya dulu.
Ditekannya bel rumah itu dan terlihat bi Inah yang keluar dari dalam rumah. "Den Angga?" tanya bi Inah tak percaya. Yang langsung mendapat senyuman dari Angga.
"Kemana aja Den? Baru nongol lagi"
"Baru pulang Bi. Non Ashanya ada?"
"Eh ... anu ... anu Den ... " tetiba bi Inah tergagap.
"Ada siapa Bi?" tanya seorang wanita dari dalam rumah.
"Den Angga, Bu."
Seketika Marisa keluar rumah dan langsung menyambut Angga. "Angga? Hayuk sini masuk aja."
Di dalam Marisa mempersilahkan Angga duduk, lalu menyuruh bi Inah membuatkan minuman.
"Tumben pagi-pagi udah mampir ke sini. Udah selesai ya kuliahnya?" tanyanya ramah.
Angga yang melihat ada satu foto baru terpampang di salah satu dinding rumah tanpa basa-basi langsung bertanya, "Asha udah nikah ya Tan?"
Seketika raut wajah Marisa berubah agak suram meski tak berapa lama tersenyum kembali.
"Iya."
"Kapan?"
"Setahun lalu."
"—" Angga menghela nafas kasar.
"Ko gak ada yang kabari aku ya Tan?" seketika Marisa terlihat mengerutkan keningnya. Melihat kegusaran Angga.
"Tante titip undangannya ke Arman kok. Abisan tante sama om kan gak tau rumah Nak Angga."
"Masa Tan?" Angga tak percaya.
"Coba tanya Nak Arman. Masa Tante bohong."
"Asha ada Tan?" tanya Angga mengalihkan pembicaraan
"Lagi kontrol kandungan."
"Om ada?"
Marisa tersenyum. "Asha pergi ditemani papanya."
"Kok Om yang anter? Memang suami Asha kemana?" tanya Angga heran. Terbesit pikiran jahat berharap suami Asha pergi meninggalkan Asha.
"Masih tugas di luar kota. Besok baru pulang. Semalam perut Asha sakit. Tante kuatir kenapa-kenapa jadi nyuruh periksa hari ini juga," jelasnya dan langsung merasa melihat raut Angga berubah.
"Asha gak kenapa-napa kan Tan?" tanya Angga lagi, terdengar khawatir.
"Ashanya sendiri gak kenapa-kenapa kok. Tante kuatir sama janinnya aja. Kan awal kehamilan Asha harus bedrest total, akhirnya kuliahnya juga jadi mundur deh."
"Tan, Asha punya telepon genggam gak?" Angga mengalihkan pembicaraan.
"Ada. Kenapa?"
"Boleh saya minta?
"Duh, maaf Nak Angga, Asha kan udah nikah. Tante gak berani." Terlihat Angga kecewa mendengarnya. "Diminum dulu ya airnya."
Tak berapa lama, terdengar suara Asha dan Haryanto dari luar sedang tertawa. Angga seketika itu berdiri.
Haryanto ketika melihat Angga di sana lalu berdehem, memecah rasa canggung. Sedang Asha berlalu meninggalkannya. Asha-nya kembali dingin.
***
"Sebaiknya Nak Angga pulang saja. Tidak baik datang kemari saat suami Asha tidak ada di rumah," nasihat Haryanto setelah berbincang sejenak bertanya soal kuliah Angga.
"Asha bahagia Om dengan suaminya?" tanyanya menyelidik.
"Kalau gak bahagia gak mungkin anak Om bahagia dengan kehamilannya kan?"
"Asha tinggal di sini setelah nikah?"
"Hanya saat suaminya tugas aja. Klo sudah pulang, ya Asha ikut suaminya."
"Asha gak ikut sama suaminya aja Om?"
"Ya tidak bisa, Nak. Asha masih kuliah dan lagi tempat tugasnya juga pindah-pindah."
"Bukannya Om pernah bilang, kalau hubungan jarak jauh rentan terjadi kesalahpahaman? Kenapa Om biarkan Asha jauh dari suaminya? Kalau aku yang jadi suaminya, gak kan ninggalin Asha. Bakal aku bawa Asha ke manapun aku pergi."
"Nak, maaf ya. Dulu om bilang begitu karena kalian sama-sama masih terlalu muda. Belum paham hubungan pernikahan seperti apa. Berbeda dengan sekarang," jelas Haryanto. "Sebaiknya Nak Angga pulang ya. Tenangkan diri dulu. Om permisi mau istirahat juga."
***