Nasi sudah menjadi bubur, lalu bagaimana? Apa yang harus kulakukan sekarang?
# Gevan Radian Juniarta
"Kenapa? lo Cemburu?" tanya Gevan menebak
"Enggak" jawab Rain
"Hm… masa?" tanya Gevan memastikan
"Iya" jawab Rain dengan suara yang pasti
"Katanya tadi enggak?" tanya Gevan lagi
"Eh…" Rain gelagapan menjawabnya dan dia jadi bingung harus berkata apa
"Ketahuan"
"Ketahuan apa?"
"Ketahuan apa ya?" tanya Gevan balik
"Ish Gevan kebiasaan deh" jawab Rain kesal
"Kebiasaan apa?" tanya Gevan lagi
"Kebiasaan apa ya?" ujar Rain menirukan Gevan
"Loh kok nanya balik?" jawab Gevan santai
"Kok kamu gak kesal sih" jawab Rain sambil memanyunkan bibirnya kedepan
"Kenapa gue harus kesal?" tanya Gevan bingung
"Ya harusnya kan Gevan kesal" jawab Rain makin men-cemberutkan wajahnya
"Iya, tapi apa alasan yang buat gue harus kesal? Lagian siapa yang harus gue kesalin?"
"Ah tau ah Ge" Rain memalingkan wajahnya
"Loh? Tapi apa salah gue?"
Rain menoleh, mecoba sabar "Gak..gak ada salah"
"Terus kenapa lo jadi bete gitu?"
"Gak, gak apa-apa gue cuma keinget seseorang"
"Oh gue tau itu siapa"
"Siapa?"
"Gue lah!" jawab Gevan percaya diri
"Ish, Ge…"
"Hm"
"Kayaknya kamu menghayal ketinggian deh"
"Emang kapan gue menghayal?" tanya Gevan pura-pura tidak tahu
"Lah?"
"Apa?"
"Lah lalu itu tadi apa?"
"Yang mana?"
"Yang barusan itu"
"Coba sebut!" jawab Gevan sedikit tegas
"Itu lo yang tadi itu Ge, yang barusan itu"
"Yang mana Cantik?" jawab Gevan sengaja membuat Rain makin kesal, entah kenapa jika melihat Rain kesal ia sangat senang karena terlihat begitu menggemaskan dimatanya
Namun yang terjadi selanjutnya adalah…
Rain marah, ia beneran kesal dan ngambek tentunya
"Gatau Ge, Gatau! Lupakan saja lupakan" jawab Rain frustasi
Gevan tercengang…
Diluar dugaannya bukannya terhibur malah ia jadi takut…
Dengan segera Gevan ingin bertindak, namun sepertinya sudah terlambat. Baru ia ingin mengucapkan sesuatu sudah dipotong terlebih dahulu oleh Rain
"GEVAN, AKU PENGEN TURUN"
Gevan terdiam ia mencerna apa maksud dari pernyataan Rain barusan. Ia memutar otaknya berpikir keras, sangat keras…. Lalu, ia paham namun ia tak boleh terbawa suasana. Dengan segera Gevan mendapatkan ide brilian.. ia memastikan ini jurus yang paling ampuh, bahkan mampu membuat Rain tidak marah lagi
"Lah bukannya kamu udah turun?"
"MANA?"
"Ini"
"MANA????????!!!!! BUKTINYA AKU MASIH DISINI DISAMPING KAMU " jawab Rain tak Santai
"Cieeeeeeeeee"
"APA CIE CIE???????!!!!!!
"Itu tadi" jawab Gevan senyum-senyum
"APA???? NGAPAIN SENYUM-SENYUM APA ADA YANG LUCU?"
"Enggak sayang enggak, sudah jangan marah-marah lagi ya" jawab Gevan menenangkan
"KAMU NGESELIN GEVAN BIKIN KESABARANKU HABIS"
"Udah sayang jangan teriak-teriak, kuping gue panas Cantik"
"YA ABIS KAMU NGESELIN"
"Ngeselin dimananya sih gue?"
"NANYA LAGI? APA KAMU GAK BISA INGET APA YANG KAMU UCAPKAN?"
"Bisa sayang bisa"
"TERUS KALAU GITU NGAPAIN NANYA LAGI. BUAT AKU HILANG KESABARAN AJA. POKOKNYA AKU MAU TURUN SEKARANG AKU BUTUH WAKTU SENDIRI GEVAN"
"LO UDAH TURUN!" jawab Gevan kehilangan kesabaran
"Kok kamu ngebentak aku?" tanya Rain mulai menciut dan memasang tampang ketakutan
Gevan melihat itu semua, Gevan melihat bahwa Rain ketakutan karena itu sangat terlihat dari pancaran matanya. Dan saat itu juga Gevan merasa bersalah, sangat bersalah…
"Gue minta maaf Cantik, gue gak maksud buat lo takut" jawab Gevan menyesal
Hening
Satu detik…
Dua detik…
Tiga detik….
Empat detik….
Lima detik…
Tetap Hening
Rain menunduk tak berani memandang kedepan maupun kearah samping, tak berani memandang Gevan lebih tepatnya
Rain merasakan rasa takut yang ia rasa sebelumnya tak pernah ia rasakan kesiapapun
Entah karena apa, ia dengan segera menggeserkan tubuhnya hingga menempel ke pintu mobil, ia benar-benar ingin turun dari sini sekarang juga namun Gevan tak juga memberhentikan mobilnya. Jika ia memaksa untuk membuka pintu mobil lalu memilih untuk loncat, itu sudah sangat jelas akan membahayakan nyawanya. Ia tak berani ia belum siap mati konyol
Tanpa Rain sadari.. Gevan memperhatikan itu semua. Gevan memperhatikan bagaimana perubahan sikap Rain yang begitu cepat
Seketika itu juga Gevan tak bisa berbuat apa-apa ia hanya menyesali dirinya yang lepas kendali, padahal niatnya adalah ingin membuat Rain tidak marah lagi.. namun kenyataannya ia malah memperburuk keadaan, ia malah membuat Rain menjadi takut dengan dirinya. Ia tak mau itu terjadi, sangat tak mau… ia tak mau lagi kehilangan cintanya. Entah karena apa Gevan sangat yakin bahwa Rain adalah perempuannya
Namun tidak dengan Rain, Rain masih menunduk dan terdiam, tak bergerak, tak bersuara, tak melakukan apapun. Ia hanya memainkan jemarinya. Entah karena apa jemarinya terasa basah, apakah mungkin penyakitnya kambuh lagi?
Hening lagi….
Satu detik…
Dua detik…
Tiga detik
Empat detik
Lima detik
Tak ada yang berani membuka suara, Gevan yang bingung harus berbuat apa sambil fokus menyetir mobil dan Rain yang ketakutan dengan pikirannya
Kali ini Rain benar-benar takut kepada Gevan, semua hal baik dan nilai plus yang ia berikan pada Gevan serasa hilang begitu saja, tak bersisa.. semuanya
Rain ketakutan dengan kehadiran Gevan sekarang, namun Rain jauh lebih takut kehilangan Gevan sebagai sahabatnya. Rain terlalu takut akan hal itu, Rain terlalu takut jika Gevan tidak sesuai dengan ekspetasinya
Rain sangat yakin jika Gevan sudah tidak lagi menganggapnya sahabat. Karena barusan Gevan membentaknya. Walaupun hanya sepatah kata saja namun itu sudah mampu membuatnya merasakan rasa sakit yang mendalam. Rain kecewa. Kecewa dengan keadaan. Kenapa tadi ia marah-marah dengan Gevan hingga membuat Gevan membentaknya. Harusnya ia bisa menjadi lebih sabar menghadapi Gevan. Mungkin Gevan benar-benar lupa apa yang dia ucapkan, tidak pura-pura lupa. Mungkin saja ia yang salah menilai sifat Gevan, ia baru saja mengenal Gevan. Semua tidak akan berjalan secepat ini, semua butuh proses, harusnya ia sadar akan hal itu. Gevan sudah menerimanya sebagai temannya bahkan sahabatnya saja itu sudah sangat menyenangkan dan memperlakukan Rain sangat baik. Namun kenapa Rain selalu berbuat bodoh. Arghhh bodoh… bodoh….bodoh…. ungkapnya dalam hati
Gevan pun hanya bisa terdiam dan fokus menyetir. Ia sangat ingin membuka pembicaraan lagi namun takut jika ia malah membuat kesalahan lagi. ia merasa serba salah jika sudah di depan Rain. Apalagi sampai membentak Rain seperti tadi. Jujur Gevan sangat menyesal, benar-benar menyesal. Namun mau bagaimana lagi? semua sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur, mau bagaimana lagi? semuanya sudah terlambat, ia juga salah sudah terbawa emosi seharusnya ia bisa lebih mengerti Rain. Namun nyatanya tidak, ia malah lepas kendali dan dengan bodohnya ia malah membentak Rain dan membuat Rainnya ketakutakn sekarang. Lalu sekarang bagaimana? Apa yang harus ia lakukan? Apakah yang akan terjadi setelah ini? Ia tak mampu membayangkannya. Kehilangan Rain sebagai sahabat itu sangatlah berat dan sungguh tak bisa di dibayangkan. Hadirnya Rain dihidupnya sudah ia anggap sebagai kado dari Allah, apakah Allah tega menarik kado itu secepat ini?
Tak ada yang tahu jawabannya..