***
"Selamat sore."
"Selamat sore, silahkan duduk. Mau pesan apa?"
"Seperti biasa ya."
"Baiklah, tunggu sebentar ya."
"Kakak cantik, kami juga ingin memesan."
"Baik, saya datang."
"Adik kecil, apa kau bisa membawa semua piring koto itu?"
"Bisa! Kalau cuman segini... mudah!"
"Hati-hati ya."
"Baik."
"Hah... dia bagaikan malaikat di toko ini."
"Kau benar, aku sangat beruntung jadi pelanggan tetap disini."
"Seandainya saja dia jadi putriku."
"Aku juga ingin itu..."
"Oh pelanggan! Bagaimana minuman kalian?!"
"Eh! Jendral! Maafkan kami! Kami tidak bermaksud..."
"Apa yang kalian bicarakan? Aku sama sekali tidak marah kok."
"Tapi wajah anda saat ini sangat seram."
"Huh?!"
"Papa!"
"Oh! Lihat ini, siapa putri papa yang paling imut sedunia."
"Hehehe."
"Ayahanda sudah pulang?"
"Ya, ayah pulang. Mana kakak dan ibu kalian?"
"Mereka masih di dapur menyiapkan pesanan para pelanggan."
"Kalau begitu papa juga akan membantu."
"Yeay! Papa membantu!"
"Yeay! Ayo kita ke dapur."
***
"Ramai sekali ya dibawah."
Sudah sekitar seminggu sejak kejadian bangkitnya ular hitam waktu itu, banyak hal yang kami lewatkan. Mulai dari perbaikan kota, diadopsinya kedua pelayanku oleh jendral kota ini, kondisi warga yang kembali ceria, dan gosip yang tersebar ke suluruh penjuru negeri.
"Selamat pagi."
"Hahaha, kau ini. Ini sudah sore tapi kau masih bilang selamat pagi, buka dulu kedua matamu itu."
"Eh! Sudah sore?!"
"Hahaha."
Setealah insiden itu berakhir aku dan Chio langsung pingsan ditempat, nampaknya kami benar-benar kehabisan energi.
Selama seminggu kami dirawat disini, dan kami bangun di waktu yang sama. Seketika itu juga Chio dengan tubuh lemahnya melompat ke tempat tidurku, dia memelukku erat dan mulai menangis. Tangisannnya sangat keras, tapi berkat kerasnya suara tangisan itu membuat semua orang di kedai ini menuju ke lantai atas. Dan tentu saja, semua orang yang melihat kami akhirnya siuman mulai menangis dan dengan suka cita menghampiri kami. Bukan hanya Arpa dan keluarganya, tapi semua pengunjung kedai datang kemari.
"Permisi tuan Snow dan nona Chio, kami masuk."
Terlihat dari arah pintu Alice, Anna, dan Ibuki datang dengan makanan di tangan mereka.
"Tuan Snow!"
"Oh! Ibuki! Bagaimana keadaanmu? Kamu sehat kan?"
"Ya, Ibuki sudah sehat. Hei hei tuan, coba lihat pakaian Ibuki!"
Dia memutar tubuhnya dan membuat pakaian pelayan itu berputar dengan indah, warna dan modelnya sangat cocok dengan sifatnya yang selalu ceria.
"Wah! Apa kamu sudah mulai membantu kakak-kakakmu?"
"Ya! Ibuki ingin membantu Kak Alice, Ibuki ingin membantu Kak Anna, dan Ibuki ingin membantu Mama di kedai."
"Eh... tidak mau membantu papa nih?"
"Papa!"
Arpa menyusul ke kamar kami, diikuti istrinya.
Saat kami bangun, tiba-tiba saja kami mendengar kalau Arpa dan nona Lumina sudah menikah dan mengadopsi mereka.
"Bagaimana keadaan kalian?"
"Keadaan kami semakin membaik, terimakasih karena telah mau merawat kami."
"Kau berlebihan Chio, sudah sewajarnya kami merawat kalian. Pahlawan baru kota Nilfheim."
Benar, kami memiliki julukan aneh di kota ini. Semua warga disini bahkan memanggil kami dengan sebutan pahlawan, padahal dalam kenyataannya kami tidak melakukan apa-apa.
"Anu... aku tau ini mendadak, tapi bisakah aku pergi keluar sebentar?"
"Tidak boleh nona Chio, tubuh anda masih belum pulih sepenuhnya."
Yang dikatakan Alice memang benar, dalam hal in Chio yang paling banyak terkuras energinya. Dia mengerahkan semua energi yang ia miliki untuk menyembuhnya lukanya Arpa, tidak heran jika mereka melarangnya.
"Tidak! Aku mau jalan-jalan keluar! Aku sudah sangat bosan hanya berdiam diri di kamar!"
"Nona Chio..."
Ya ampun, kenapa sifatnya tiba-tiba berubah seperti ini? Aku tidak punya pilihan lain.
"Tenang saja Alice, aku akan menemaninya."
"Tapi tuan Snow, anda juga belum sepenuhnya pulih."
"Kalau cuman jalan-jalan tidak apa-apa kan? Lagi pula aku juga merasa sedikit bosan."
Mereka semua saling bertatapan dengan wajah khawatir, seakan sedang berdiskusi dalam heningnya sore ini.
"Baiklah, tapi kalau kalian merasa tidak enak badan segeralah pulang."
"Ya."
***
"Ayo-ayo silahkan mampir, selagi semua masih hangat!"
"Ayo tuan-tuan dan nona-nona ada banyak perhiasan indah!"
"Silahkan mampir!"
Semakin sore maka akan semakin ramai jalan ini, yah mau bagaimana pun ini adalah jalan pusat perbelanjaan.
"Snow lihat!"
Chio menarik tanganku dengan lembut dan membawaku ke salah satu toko disini, mereka menjual banyak sekali perhiasan indah.
"Silahkan silahkan, pilihlah perhiasan yang kalian suka."
"Woah semuanya indah!"
"Oh, nona! Bukannya nona ini sang pahlawan itu?!"
"Ahahaha..."
Ketahuan ya.
"Woah! Dan ada tuan pahlawan juga! Maafkan kelancangan kami karena tidak menyadarinya!"
Mereka terlalu berlebihan, aku sampai dibuat malu karenanya.
"Sudahlah pak, tidak perlu seformal itu dengan kami."
"Ah iya! Maafkan saya."
Lagi-lagi penjual ini menundukkan kepalanya, aku memang sudah mengerti bagaimana budaya dunia ini, tapi tetap saja aku masih tidak enak kalau ada orang yang membungkuk didepanku.
"Silahkan dipilih tuan dan nona pahlawan!"
Dia sangat bersemangat.
"Woah Snow lihat!"
Chio tidak mau kalah semangatnya dengan penjual itu.
"Mana mana, coba kulihat."
"Ini! lihat kalung ini!"
"Woah kau benar, ini sangat indah."
Kalung yang sangat indah.
"Pilihan yang sangat bagus nona, kalung ini terbuat dari kristal biru yang sangt langka. Apabila beruntung kristalnya akan bersinar bila dipegang orang yang tepat."
"Orang yang tepat?"
"Mitosnya kristal ini akan bersinar bila dipegang oleh gadis yang sedang merasakan cinta, tapi karena kristal ini sangat langka jadi saya sendiri belum pernah melihat mitos itu."
Oh, menarik juga. Kalau memang bisa bercahaya aku ingin sekali menelitinya, siapa tau kristal ini laku di duniaku nanti.
"Pak boleh kucoba?"
"Tentu saja nona."
Chio mencoba kalung itu, dan diluar dugaan... mitos itu menajdi nyata.
"Ya dewa! Kalungnya bersinar, dan sinarnya sangat terang!"
"Chio... kau?"
Jika kalung ini bersinar... maka saat ini Chio sedang ...
"Eh?! Tidak! Ini! Aku bisa menjelaskannya... ini adalah perasaan Spica! Ya! Ini perasaanya Spica! Hehehe."
Aku tau kalau dia sedang berbohong, itu karena dia membuang tatapan matanya saat mengatakan itu. Ya, sebaiknya aku biarkan saja.
"Berapa harganya pak?"
"Eh! Snow!"
"Tidak tuan! Aku berikan kalung itu kepada kalian!"
"Tidak tidak, saya ingin membayarnya."
"Tidak! Saya memaksa!"
"Anu... bukannya saya tidak suka, tapi saya tidak enak saja anda memberikan ini secara cuma-cuma. Apa ini karena kami..."
"Tidak tuan, ini bukan karena anda adalah pahlawan kota ini. Tapi karena baru kali ini saya melihat cahaya yang sangat indah tersebut, jujur saja... itu adalah kalung milik mendiang istri saya, sebelum meninggal dia memberikan kalung itu kepada saya dan meminta saya untuk menjualnya, tapi sampai sekarang tidak ada yang mau membelinya, bahkan banyak yang membencinya... saya tidak tau kenapa mereka membenci kalaung itu. Bahkan saat pertama kali saya memberikan kalung itu sebagai hadiah kepada istri saya, kalungnya tidak bercahaya. Saya sempat berfikir, apakah istri saya tidak mencintai saya?"
"Pak..."
Chio perlahan mendekati penjual itu, dan dengan lembut dia berusaha menghiburnya.
"Tanda cinta bukan hanya dari kalung ini saja, terlebih ini hanyalah sebuah mitos. Yang terpenting adalah kebahagiaan istri anda saat bersama dengan anda, saya yakin sekali kalau beliau semasa hidupnya selalu tersenyum dan menyayangi anda setiap harinya."
"Nona... bagaimana anda tau semua itu..."
"Jika itu benar, bukankah itu sudah cukup untuk membuktikan kalau istri anda sangat mencintai anda?"
"Huh... selena..."
Penjual perhiasan ini mulai menangis, dia sampai tersungkur di tanah. Dia menangis terisak-isak, berkali-kali dia menyebut nama mendiang istrinya. Dan berkali-kali dia terus meminta maaf, melihatnya seperti ini membuatku jadi merindukan orang yang sangat kucintai disana. Bagaimana kabarnya sekarang ya? Setidaknya aku ingin dia tau, kalau aku masih hidup.
***
Pada akhirnya penjual perhiasan tadi memberikan kalung ini, dia bahkan sampai memeluk Chio sebagai bentuk rasa terimakasih dan rasa senang. Sungguh, sepertinya aku masih perlu belajar dengan budaya dunia ini.
"Maaf membuatmu menunggu."
Chio berlari kearahku, tangannya sedang memegang 2 buah roti yang kelihatannya masih hangat.
"Ini."
"Terimakasih."
Kami berdua menikmati roti hangat ini di tepi danau buatan di tengah kota, kalau boleh jujur suasananya sangat pas.
"Snow lihat! Mataharinya mau tenggelam, indahnya."
Dia terlihat seperti anak kecil saja, padahal umurnya jauh lebih tua dariku.
"Kau tau Snow, aku ingin hari tenang dimana kita bisa makan enak dan menikmati sore seperti ini bisa berlangsung selamanya."
Aku sudah jarang memikirnya sekarang, tapi... bagaimana nasib Chio kalau aku berhasil pulang nanti? Apakah dia akan kesepian? Apakah dia akan bersedih? Apa aku tega meninggalkannya sendirian disini?
"Hei Chio..."
"Ya, ada apa Snow? Wajahmu terlihat pucat, apa kau sakit?"
"Tidak, hanya saja... jika aku berhasil kembali ke duniaku nanti, apa kau mau ikut bersamaku?!"
"Eh! Tapi, kenapa?"
"Aku... merasa tidak bisa meninggalkanmu sendiri, aku tidak ingin kau merasa kesepian, aku tidak ingin kau bersedih, aku... aku..."
Ditengah kalimatku, dia tiba-tiba saja memelukku. Pelukannya kali ini terasa sangatlah lembut, pelukan ini... membuatku tidak ingin meninggalkannya sendiri.
"Kau sudah tenang sekarang?"
"Ya."
"Kau tenang saja Snow, aku akan baik-baik saja disini."
"Tapi, aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri disini!"
Dia menmpatkan kepalaku di atas pangkuannya, aku sempat terkejut dengan apa yang ia lakukan sekarang ini.
"Jujur saja, aku juga akan kesepian kalau kau pergi dari sisiku."
"Kalau begitu, ikutlah denganku!"
"Tapi aku tidak yakin orang-orang di duniamu akan menerima elf sepertiku."
"Kau tenang saja, aku akan menjagamu! Aku akan melindungimu jika ada yang mengganggumu! Aku akan..."
Dia menutup mulutku dengan jarinya.
"Sssttt.... suaramu terlalu keras."
"Maaf."
"Jika memang itu yang kau inginkan, aku akan ikut denganmu... Snow."
Perlahan dia membungkukkan badannya, sedikit demi sedikit bibirnya yang indah diterpa sinar matahari sore mulai mendekati bibir keringku, kenapa aku tidak menghindar? Padahal aku tau ini bukan hal yang baik untuk dilakukan... tapi kenapa... aku sama sekali tidak ingin melepaskan sentuhan bibir yang sangat lembut ini.
Perasaan ini...
***
"Tidak buruk juga"