Chereads / The 13th Fates / Chapter 25 - 25. DELUSION

Chapter 25 - 25. DELUSION

Kai berdelusi.

Kai mendengar seorang wanita bersamanya menjerit saat tubuh mereka melayang di udara terbuka seperti meteor, jeritannya penuh rasa takut. Ia melihat wanita itu berusaha melawan dan menggapai-gapai udara, namun usahanya sia - sia untuk melawan gravitasi yang tak bisa dikalahkan. Hingga tubuh mereka menghantam sesuatu sangat keras hingga membelah pusaran itu.

Mereka jatuh di permukaan air laut, air itu terasa sangat dingin, rasanya seperti berendam di bak yang penuh dengan es. Rasa dingin itu sangat menyakitkan seperti menyayat - nyayat kulitnya.

Kai mengapung, telentang dengan punggung yang masih terasa terbakar. Namun dingin itu perlahan menghilangkan rasa terbakar di sekujur tubuhnya yang penuh luka. Hingga rasa sakit itu kembali lagi bahkan menjadi semakin nyeri saat Kai mengapung tak tentu arah.

Ombak menghujam tubuhnya ke dalam air yang gelap dan membekukan. Ia merasakan sekujur tubuhnya mati rasa dan tenggelam ke dasar yang lebih dalam dan gelap. Ia melayang-layang di bawah permukaan air yang gelap. Hingga ia merasa sesuatu yang menyeret tubuhnya hingga nyaris kepermukaan, rasanya tetap sama, sakit, tajam seperti di sayat. Rasa sakit itu nyaris membuatnya memberontak dan ia ingin tau siapa yang menariknya, namun apa daya ia tidak punya tenaga, untuk membuka mata pun ia tak sanggup, ia yakin ia sudah mati. Di ujung kematiannya ia membayangkan Amber, Amber yang menarik tubuhnya.

"Teruslah berenang!" Kai menyemangati dalam benaknya.

Amber berjuang sekuat tenaga berenang hingga ke permukaan air dengan Kai di pelukannya. Ketika kepalanya menyembul ke permukaan tiba - tiba ombak yang mengamuk menghantam dan menggulung - gulung tubuh mereka.

Amber berusaha naik ke permukaan lagi, berusaha melawan ombak, yang melempar-lemparkan tubuh mereka bolak-balik dan terus berusaha naik ke permukaan. Ia terbatuk - batuk karena terminum air laut, rasa laut yang asin membakar tenggorokannya.

Air bergolak itu datang lagi dan Kai terlepas dari genggamannya, mata Amber berusaha mencari sosok Kai di dalam air yang gelap. Ia melihat Kai melayang tak bergerak di sana dan meraih lengannya ke permukaan.

Keadaan laut itu begitu gelap, karena cuaca hujan badai dan ombak yang terus menderu menghilangkan pemandangan jernih di dasar laut. Tidak ada titik terang di sana, semua gelap dan menakutkan. Amber naik lagi ke permukaan.

Ia teringat sedikit pengetahuan bagaimana berenang melawan ombak ketika masih sekolah dulu. Tapi pengetahuan itu tidak banyak berguna karena ia tidak pandai berenang tapi ia harus bisa menghidupkan insting menyelamatkan hidup, menyelamatkan diri dan sahabatnya yang sekarat. Sebisa mungkin ia berusaha betapapun sulitnya.

Amber berenang ke permukaan untuk mengambil oksigen, Kai masih lemah tak bergerak namun masih bernafas walau terputus - putus. Ombak datang lagi ketika ia sedang mengambil napas, ia berusaha berenang tak tentu arah kembali. Namun yang ia rasakan hanya arus yang begitu kuat membuatnya berputar-putar terus seperti gabus. Ia berusaha keras menahan napas, mengunci bibir rapat-rapat untuk mempertahankan persediaan oksigen terakhir yang masih tersisa.

Namun ke mana ia harus berenang? Tidak ada daratan yang terlihat, tidak apa-apa kecuali hamparan samudera luas yang liar. Tidak ada tempat ke mana ia bisa berenang.

Air yang dingin membuat lengan dan kakinya mulai mati rasa. Ia hanya berpusar - pusar tak berdaya di dalam air. Ia paksa kedua lengannya untuk terus menggapai-gapai dan kakinya untuk menendang lebih kuat. Namun tidak ada gunanya untuk berusaha, tubuhnya tenggelam bersama Kai.

Kai berdelusi kembali.

"Kai bangun....selamatkan dirimu..selamatkan kita?"

Suara malaikat itu memanggilku lagi, aku tau aku hanya berdelusi dan aku sudah mati, tapi suara malaikat itu seperti memenuhi otakku sekarang.

"Ayo pulang!"

Pulang kemana? Bukankan aku sudah pulang sekarang?.

"Aku mau pulang, Kai!"

Oh, suara itu, suara yang pasti akan ku kenali di mana pun-bahkan saat suaranya sarat oleh perasaan khawatir seperti sekarang ini, dan kata - kata itu seperti kata - kata yang aku dapat ketika ia merengek minta pulang setelah aku menyatakan cintaku pada-nya. Amber.

"Aku sangat takut, Kai"

Jangan takut, Amber, aku akan menyelamatkanmu.

Diujung kematiannya Kai sempat membayangkan kamar Amber. Kamar yang selalu ingin ia datangi ketika malam, melihatnya tidur nyanyak sambil meringkuk seperti bayi. Bayangan itu bagaikan setruman untuknya, mengejutkan jantungnya, seolah - olah separo otaknya berfungsi dengan baik untuk melakukan teleport.

Air laut langsung membanjiri ruangan yang tak lazim, kamar Amber. Keadaan menjadi sangat berantakan, kamar Amber penuh genangan air hingga menggenangi seluruh lantai rumahnya, rumput laut dan beberapa ikan kecil menggelepar dilantai.

Amber terbatuk - batuk, hidung dan tenggorokannya serasa terbakar kerena menghirup air laut cukup banyak, kupingnya serasa membeku karena gumpalan air yang menyumbat kupingnya.

Amber berusaha mengatur nafasnya walau udara yang masuk membakar tenggorokan dan hidungnya, tubuh Amber serasa kaku karena kelelahan. Saat itu Amber melihat Kai tergeletak tak bergerak dekat kaki ranjang. Dengan sisa tenaganya ia berusaha bangkit, tapi tubuhnya serasa berat dan lengannya seperti gagal berfungsi kerena tenggelam benar-benar menguras habis tenaganya, ia merangkak meraih Kai. Wajah Kai membiru, bibirnya nyaris hitam seperti mayat yang membeku.

"Oh tidak..." seru Amber nyaris menjerit.

Amber menarik pergelangan Kai untuk merasakan denyut nadinya, namun Amber tidak merasakan denyut - denyut halus dari pergelangan. Jemari Amber beralih ke bibir Kai, tidak ada tanda - tanda dia bernafas dan segera jari - jari Amber menyentuh titik - titik leher Kai namun tidak merasakan respon apapun.

"Tidak...Tidak" Amber berseru panik.

Sambil panik Amber melakukan CPR. Amber mencubit hidung Kai, menekankan mulutnya ke mulut Kai dan mengembuskan udara ke dalam paru-paru Kai, Amber merasakan tubuh Kai tidak mengembang, berarti ada yang menghalangi tenggorokannya.

"Ayolah Kai.." teriak Amber panik padanya, Amber mengembuskan udara lagi lewat mulutnya memompa jantung Kai hingga hitungan ke empat. Amber yakin yang ia lakukan sudah benar, apapun yang ia lakukan pernah diajarkan oleh ayahnya dengan ritme dan metode yang teratur. Dalam hati Amber mati - matian berharap usahanya berhasil.

"Ayo bangun Kai" Amber terus berseru panik dan terus mengembuskan nafas dan memompa jantung Kai.

Mata Amber mulai basah dan kabur, tenggorokannya semakin tercekat dan panas, cairan hangat dimatanya seperti membakar perih lalu meleleh dan jatuh ke pipi Kai.

"Bangun, Kai!" teriaknya. "Brengsek! Kai, Ayolah bangun!" Amber terus memompa jantung Kai, dan untuk kesekian kalinya Amber mengembuskan nafas ke dalam paru - paru Kai. Bibir Kai terasa dingin dimulutnya.

Menit- menit yang menyiksa berlalu ketika harapannya makin lama makin pudar. Amber berpikir semuanya sudah terlambat, bahwa Kai sudah meninggal dan tidak dapat disentuh lagi selamanya. Saat itu juga Amber tersedak dengan napas tersengal-sengal ketika dorongan nafas Kai dari mulutnya bercampur gumpalan gelembung air yang mengisi tenggorokannya mengucur deras keluar dari mulut dan hidungnya dengan jumlah yang sangat banyak. Kai terbatuk kecil, matanya mengerjap - ngerjap lemah. Garam terasa panas dan membakar paru-parunya, begitu juga kerongkongannya yang dipenuhi air hingga ia sulit menarik napas.

"Kai.." panggil Amber, suaranya masih tegang, tapi tak sepanik sebelumnya. Amber menyingkirkan helai rambut basah di dahi Kai yang terbakar.

Amber mendekap Kai di lengannya. Tubuh Kai masih tidak bergerak sepenuhnya. Matanya yang sayup menerawang ke segala arah dan memberikan senyuman tipis di sudut bibirnya. Kepala Kai terasa berputar - putar dan sangat berat karena air memenuhi kupingnya, tubuhnya membeku karena kedinginan. Kai mulai bisa melihat jelas keadaan sekitar, bahkan cahaya matahati yang berpendar memasuki kamar Amber, Kai melihat wajah basah Amber yang letih, matanya yang kalut dan resah sedang memperhatikannya.

"Amber" panggil Kai dalam benaknya.

"Oh, Kai! Kau bisa mendengarku?" tanya Amber, suaranya masih terdengar kalut.

Kai hendak merespon namun setiap tarikan napas terasa panas, saluran napasnya tercekat, perih, seperti habis disikat dengan sikat kawat. Kai berusaha mengatur napasnyas dan menggerakan tubuhnya, namun otot - otot disekujur tubuhnya seperti gagal berfungsi.

Kai mencoba menggerakan tubuhnya lagi dan seketika itu juga tubuhnya serasa ditusuk ribuan jarum panas, jarum itu seperti menghunjam wajah, lengan dan bagian punggungnya membuat rasa perih dan terbakar itu datang kembali. Amber membelai pipi Kai seraya menunggu respon dari Kai yang terkulai lemah tak berdaya. Bibir Kai berkedut - kedut menahan sakit.

"Sa...sakit" jawabnya pelan dan terbata-bata, suaranya serak dan parau.

"Jangan khawatir Kai, bertahanlah" Amber menarik lengan Kai dan melingkarkan lengan Kai ke bahunya, Amber berusaha mengangkat tubuh Kai yang berotot.

"Aku mencintaimu" desah Kai.

Amber membalasnya dengan senyuman simpul "Aku akan membawamu pada Lay"

Dengan susah payah Amber berdiri. Kai berusaha menopang berat tubuhnya sendiri dengan kaki gemetar kerena lemas, agar Amber tidak terlalu keberatan menopang berat tubuhnya.

"Kau tidak usah repot - repot begini, aku lebih suka mati dipelukanmu" suaranya sangat lemah dan kering karena tenggorokannya yang sakit.

"Jangan tolol! Bicara apa sih, kau?" Amber berteriak kalut karena ucapan Kai yang mulai meracau tidak karuan.

Pelahan - lahan Amber tersaruh - saruk menuruni anak tangga, sampai dilantai bawah lutut Kai terkulai tak berdaya lagi membuat mereka berdua terjatuh.

Amber berusaha bangkit dan mengangkat tubuh Kai lagi, tenaga Amber seluruhnya terkuras untuk menopang tubuh Kai yang besar dan berotot. Amber mengambil kunci mobil Ayahnya yang tergantung dekat pintu. Air laut membasahi sampai teras rumahnya hingga ke sebagian pekarangan rumah. Amber menekan tombol lock untuk membuka kunci pintu mobil dengan otomatis.

Amber menyandarkan tubuh lemah Kai disamping kursi kemudi dan memakaikan sabuk pengaman. Dengan sisa tenaganya Amber berlari kesisi kemudi dan menghidupkan mobil lalu menyalakan penghangat.

Amber melajukan mobilnya lebih cepat dari biasanya hingga lewat dari angka 80. Kepala Kai menempel pada jendela mobil, matanya terpejam dan wajahnya sangat pucat, tangannya terkulai dikedua sisi kursi mobil.

"Kai, bicaralah padaku!" pekik Amber sambil menguncang - guncang bahu Kai yang lemah namun tidak ada respon yang berarti.

Kai sekarat sekujur tubuhnya mengalami disfungsi, hanya pikirannya yang masih berkerja di ujung kematiannya. Pandangan di pikirannya semuanya putih dan menenangkan. Ia dapat melihat kelebatan cahaya putih bersinar dan berkabut, kabutnya berkilauan. Dalam pikiranya ia tersenyum, ia merasa cukup senang berada di tempatnya sekarang dan damai. Ia nyaris bahagia karena kematian ini lebih mudah daripada kematian yang selama ini ia kawatirkan.

Kai diberikan pandangan tentang hal-hal klise, tentang bagaimana sekilas perjalanan hidupnya. Seperti potongan film, beberapa berjalan mundur, lalu bergerak slowmotion, dan kembali ke beberapa hal yang baru terjadi.

Semua itu berputar seperti semacam pola, dari hal terburuk hingga yang paling indah sekalipun dan tidak ada satupun yang terhapuskan, semuanya sangat jelas.

Selanjutnya Kai menyaksikan kenangannya dengan Amber di berbagai momen, dari awal mereka bertemu ketika masih kanak - kanak, lalu perpisahan ketika ia berumur 11 tahun, lalu pertemuannya kembali ketika mereka remaja. Alam bawah sadarnya menyimpan kenangan akan Amber dalam detail sempurna; Kai melihat wajah Amber dengan berbagai ekspresi seolah-olah ia benar-benar di hadapannya, bentuk bibirnya, suara tawanya yang khas, rahangnya yang terlalu tegas untuk perempuan, kilatan intuisi di matanya yang gelap dan ceria, lalu wajahnya ketika marah. Walau pandangan itu sedikit membuatnya kalut ketika ia marah; dengan rahang terkatup rapat dan cuping hidungnya kembang-kempis oleh amarah, persis seperti Daniel ketika marah. Lalu kemarahan itu berganti menjadi kelebatan senyuman yang mengembang menghiasi wajah Amber yang terlihat bersinar seperti malaikat. Pandangan itu seperti akhiran cerita film yang membahagiakan.

Lagi - lagi dalam benaknya Kai tersenyum menyaksikan itu, ia sangat bahagia menyaksikan senyuman itu. Senyuman itu membuat kematian jadi bisa dihadapi dengan lapang dada. Ingin rasanya Kai meraih pemilik kelebatan senyuman itu dan mengecupnya, namun ia sadar, Amber tidak hidup didunia yang kini ia tinggali. Selamat tinggal, aku cinta padamu.