Chereads / The 13th Fates / Chapter 5 - 5. A DAY WITHOUT YOU

Chapter 5 - 5. A DAY WITHOUT YOU

Sudah berminggu-minggu Amber tidak berbicara dan bertemu dengan kekasihnya. Chanyeol tidak pernah menjawab panggilan, pesan singkat, dan email darinya.

Rumahnya pun kosong tak berpenghuni, pekarangan rumahnya tampak kotor, rumput didepan pekarangan mulai tumbuh tak terawat selayaknya rumah kosong.

Pihak Universitas tempat Chanyeol kuliah pun tidak mengetahui keberadaan Chanyeol yang sudah berminggu minggu membolos kuliah.

Setiap hari, hujan, panas, Amber mendatangi rumah Chanyeol, berharap ia berada dirumah, namun hasilnya nihil dan besok tepat sebulan Chanyeol tidak menghubunginya. Amber mencoba menghubungi Chanyeol lagi.

"Hey, this is Chanyeol, leave a message!"

"Chanyeol it's me Amber, i just wanted hear your voice, so call me back"

Amber gelisah menunggu telepon balik dari Chanyeol, ia mondar mandir di kamarnya, namun tidak ada telepon atau pesan balasan dari Chanyeol.

Sampai di hari berikutnya Amber menelpon Chanyeol lagi, berharap kekasihnya menjawab telepon darinya, namun lagi-lagi hanya voice mail yang menjawabnya.

"Hey, this is Chanyeol, leave a message!"

"Chanyeol, please pick up your phone, i miss you so badly"

Keesokan harinya Amber menelpon lagi memakai telepon rumahnya, kali ini Amber benar-benar putus asa, hatinya bergetar hebat.

"Hey, this is Chanyeol, leave a message!"

"Chanyeol," Amber menarik nafasnya dalam - dalam ketika menyebut namanya, menahan rindu yang tak dapat dibendungnya lagi "call me back!". Amber memeluk gagang telepon nafasnya berat terisak-isak, tanganya terasa berat ketika ia meletakkan gagang telepon kembali.

"Masih belum ada kabar?"

Amber terkejut dan langsung menumpu tubuhnya di sisi meja telepon. Amber hanya memberikan anggukkan sedikit ke Ayahnya, pundaknya kaku, kemudian tertunduk, dan berlalu meninggalkannya sebelum Daniel hendak mengucapkan sesuatu. Amber sampai tersaruk-saruk menaiki anak tangga.

Dikamar, Amber duduk dikursi meja belajar sambil menatap ke layar Macbooknya yang kosong. Ia mengecek email, berharap Chanyeol membalas email darinya namun tak ada satupun email yang terbalas, Amber mengirim email lagi untuk Chanyeol.

Dear Chanyeol

Chanyeol, why you dissapeard? I looking for you in everywhere i look. Now i'm lost. When you left, it's like a huge hole has been punched through my chest.

Berminggu-minggu Amber hanya melakukan kegiatan yang sama, ia merasa inilah mimpi terburuknya karena ditinggalkan begitu saja oleh kekasihnya.

Tiap hari Amber menangisi kepergian Chanyeol yang hilang entah kemana, membuat luka dihatinya semakin pilu. Tiap malam ia selalu menelpon Chanyeol, tapi kali ini dia tidak meninggalkan pesan apapun, ia hanya mendengar kotak suara Chanyeol. Amber seperti terobsesi mendengar itu, suara itu sedikit mengobati lukanya, suara itu bagaikan nina bobonya sebelum tidur. Ia terus menekan tombil hijau berulang kali dengan mengaktifksn pengeras suara, sampai akhirnya tertidur.

Keesokan paginya, perasaan Amber semakin kacau. Amber tidak bisa tidur nyenyak; lehernya nyeri dan kepalanya sakit, berkali-kali Amber memaksakan diri untuk menjalankan aktifitasnya sehari-hari.

Dikantin kampus Amber hanya melamun, tatapannya lurus ke layar monitor Macbooknya. Jari-jari tanganya berada diatas keyboard yang tipis, screensaver terus bergerak.

Amber duduk ditengah bersama teman-teman sekelasnya Sulli, Krystal, Luna dan Victoria. Mereka bercengkrama, membicarakan menu kantin hari itu yang seperti sampah. Sulli begitu bernafsu membicarakan junior tampan yang dia temui didepan kelas, John Seo. Makanan yang diambilkan Luna untuk Amber masih belum tersentuh, bagaikan properti pelengkap kebiasannya yang bersikap semakin seperti bukan manusia normal.

Sudah dua bulan kebiasaan dan perilaku Amber cukup membuat ke empat temanya gelisah dan cemas. Mereka berpikir Amber berubah drastis, seperti bukan Amber yang biasa mereka kenal; Amber yang tangguh, heboh dan paling berisik.

Mereka sudah berusaha sebisa mungkin untuk menghibur Amber, namun Amber memberikan sikap kontra terhadap ke empat temannya.

Saat ini suasana dikantin cukup riuh dan ramai ditambah lagi suasana hatinya menambah kesesakan batinnya. Suasana yang semakin berisik membuyarkan lamunanya. Amber membuka twitter dan mengirim DM ke Chanyeol.

@parkchanyeol92 Where are you? Without you, it's killing me Chanyeol, it kills me.

Selesai jam kuliah Amber duduk dipinggir kolam air mancur, tempat ia biasanya menunggu kedatangan Chanyeol yang menjemputnya tiap pulang kuliah.

Amber melamun, tatapan matanya kosong. Amber menggeleng kalut, putus asa ingin lepas dari cengkeraman kepedihan itu ketika ia mengingat-ingat sosok tinggi Chanyeol yang datang berjalan menghampirinya dengan senyuman yang paling ia sukai.

Menyadari hal itu membuatnya sangat tersiksa dan nafasnya terkesiap dan terisak-isak, kampus tampak seperti bergetar seolah-olah ada gempa bumi yang hebat. Tapi ia sadar, tubuhnya yang bergetarlah yang menyadarkanya itu hanya ilusi. Hampir saja Amber terjungkal ke belakang jatuh ke kolam air mancur.

Malam harinya sebelum tidur seperti biasa Amber menelpon Chanyeol, untuk mendengar suara itu. Namun kali ini suara operator yang terdengar dan menandakan nomer Chanyeol sudah tidak aktif lagi. Amber terus menekan tombol hijau dan tidak percaya dengan apa yang terjadi, tanganya gemetaran memegang handphone-nya.

Ruangan disekitarnya serasa menyempit dan lebih gelap dari biasanya, bulan pun tak dapat memantulkan sinarnya karena awan terlalu tebal menutupinya. Amber tidak dapat mengatur nafasnya dengan baik. Sekarang tidak ada lagi yang dapat mengobati sesaat rasa rindunya pada Chanyeol.

Semalaman Amber terjaga, ia duduk dipinggir ranjang sambil memegangi ponselnya yang mati karena batrainya habis. Pikiranya hanya terpaku pada Chanyeol, anehnya mata pun tak ingin terpejam walau ia mengantuk. Tatapanya kosong memandang langit mendung di hari minggu dari jendela kamarnya, seolah - olah alam mengetahui isi hatinya.

Amber beralih pindah, melempar ponselnya ke ranjang dan duduk dikursi meja belajarnya. Ia berniat mengirim email lagi untuk Chanyeol, matanya terpaku pada halaman kosong yang terdapat di layar macbooknya untuk mengetik pesan, terlalu banyak hal yang ingin dia curahkan, namun jari-jari Amber membeku.

Chanyeol where are you? I compeletly alone in all the time. I'll be find you in part of somewhere on earth.

Failure Notice:Undelivered mail returned to sender

Mendapati hal itu menambah pukulan bertubi-tubi di kepalanya. Ternyata Chanyeol menontaktifkan emailnya sehingga email darinya tak terkirim. Itu membuat Amber frustasi, ia merasa Chanyeol sengaja menghindarinya.

Namun apa yang membuat Chanyeol menghindarinya? Amber terus berpikir, dan sempat terpikir hal yang membuat Chanyeol seperti ini, meninggalkanya, mungkin karena ia menginap di rumah Kai tiga bulan yang lalu?

Akhirnya Amber beralih ke twitter untuk mengirim DM. Namun nama Chanyeol sudah tidak ada di daftar followernya, semua pesan untuk Chanyeol menghilang, lagi-lagi ia menonaktifkan akunnya. Amber sudah tak tau lagi harus bagaimana menghubungi Chanyeol, ia merasa hidupnya hancur berantakan tanpa kehadiran kekasih pertamanya.

Nomer ponsel, email dan twitter semuanya sudah tidak aktif, jelas Chanyeol sengaja melakukan itu dan Amber tidak tau apa yang menyebabkan itu semua. Ia pun tidak begitu yakin kejadian tiga bulan lalu yang menyebabkan semua ini.

Hal itu membuat Amber panik sejadi-jadinya, ia kehilangan arah sampai sampai terpikir untuk melaporkan hilangnya Chanyeol ke polisi.

Keesokan harinya seperti biasa sepulang kuliah Amber selalu menyempatkan diri melihat rumah Chanyeol, tapi kali ini ada yang nampak berbeda dari rumah Chanyeol.

Rumah itu tampak bersih, dan yang mengejutkan, dipagar terdapat papan dengan tinta berwarna merah yang sangat mencolok mata dan bertuliskan 'DILELANG'.

Segera Amber keluar dari mobil, Amber tertegun melihat tulisan itu, matanya memandang keseluruh rumah, berusaha menyatukan memori yang ia miliki dengan rumah itu.

Ia tertunduk, pikirannya sangat kacau, tanganya mencengkram berpegangan erat dengan pagar baja menahan tubuhnya agar tidak jatuh kebelakang.

Segera Amber mengambil ponsel di sakunya, mengetikan nomor telepon yang tertera dipapan itu yang mungkin mengetahui keberadaan Chanyeol, namun hasilnya nihil, bahkan rumah besar itu sudah berpindah nama.

Dengan berat ia melangkahkan kakinya, mendadak ia lemas tak bertenaga, membuka hendel pintu mobil pun terasa sangat berat.

Amber menundukan kepalanya ke kemudi, membentur-benturkan kepalanya disana, berusaha mengalihkan dirinya dari kepedihan yang teramat sangat. Ia tak tau harus bagaimana lagi dan harus mencari Chanyeol kemana lagi.

Amber menyalakan mobilnya, sebelum ia berlalu meninggalkan rumah itu, ia pandangi rumah bergaya modern itu dengan putus asa, kemudian menginjak gas.

Amber tidak ingin pulang ke rumahnya yang kosong, karena akan menambah kesesakan batinnya lagi. Amber melajukan mobilnya tidak memerhatikan ke mana ia mengendarai mobilnya, ia hanya berjalan tak tentu arah, menyusuri jalan satu arah yang kosong dan sepi.

Hujan mulai turun, suasana itu membuatnya memikirkan hal-hal yang akan membuatnya semakin sedih dan sudah pasti akan terus mengggelayuti pikirannya hingga terbawa mimpi.

Amber bergidik dan berusaha menepis bayangan-bayangan momori memilukan di otaknya. Amber merasa air matanya merebak dan kepedihan mulai merayapi lubang di dadanya.

Amber menginjak rem keras-keras, menyadari seharusnya ia tidak menyetir dalam keadaan seperti itu. Amber membungkuk memejamkan matanya, menempelkan wajahnya ke kemudi, menahan air matanya agar tidak tumpah dan mencoba mengatur nafasnya.

Amber bertanya tanya dalam hati, berapa lama ini akan berlangsung dan kapan semua kepedihan ini berakhir.

Setiap malam semenjak ketidakjelasan keberadaan Chanyeol, setiap sebelum tidur ia selalu melihat foto Chanyeol yang tertata rapi di foto albumnya dengan tulisan yang terdapat disetiap foto dengan tulisan ceker ayamnya. Ia menangisi foto Chanyeol dan selalu mengimpikanya, tak jarang matanya membengkak karena terlalu banyak menangis.

Berhari-hari Amber mengurung diri dikamarnya, bahkan membolos kuliah, ponsel ia matikan, makan pun dikamar. Semenjak ponsel ia matikan dan menutup diri, setiap hari Kai menelpon ke rumah, tapi Amber tidak pernah mau menjawabnya, ia hanya menginginkan Chanyeol, kali ini Kai datang kerumah. Kai sangat mengkhawatirkan keadaan sahabatnya yang sedang terluka.

"Amber, Kai ingin bertemu denganmu" Daniel mengetuk pintu kamar Amber yang terkunci. Namun Amber tak memperdulikannya.

"Amber ini aku, Kai. Are you okay?"

Amber sangat mengenali suara itu dimana pun bahkan diotaknya. Walau keadaan Amber seperti perlahan - lahan mematikan seluruh panca inderanya, namun ia yakin kupingnya masih berfungsi dengan baik. Suara itu, suara itu terdengar gusar.

"Kau tidak usah mengkhawatirkanku, aku sedang tidak mood keluar kamar dan bertemu seseorang, pergi sana!" Amber membenamkan wajahnya ke bantal, diluar terdengar kasak kusuk.

Waktu berlalu. Bahkan Amber kesal mengapa waktu terus berjalan. Bahkan di setiap detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan untuknya, bagaikan luka basah yang terkena air. Seperti waktu telah menyaksikan dirinya berjalan terseok-seok dengan kaki telanjang di jalan berkerikil tajam, berlubang dan penuh semak belukar.

Amber merasakan kepedihan itu kembali, perasaan kehilangan itu terpancar keluar dari dadanya, mengirimkan gelombang kesakitan yang hampir menghancurkan seluruh panca indra, kaki, tangan beserta kepalanya, tapi semua itu masih bisa ia tahan. Ia yakin bisa melewatinya, itu hanya masalah waktu. Walaupun rasanya kepedihan itu tidak melemah seiring berjalannya waktu, tapi ia yakin menjadi semakin kuat menahannya.

***

Amber menopang dagu dengan sebelah tangannya, matanya tertuju pada api di lilin yang menyala dimeja makan. Di otaknya saat ini hanya ada Chanyeol, hanya dia yang ia fikirkan.

Ia mengaduk-aduk spageti dipiringnya tak selera makan karena terlalu banyak hal yang ia pikirkan.

"Alright, that's it!" suara Daniel mengagetkan lamunannya, dengan susah payah Amber mengangkat kepalanya dan melihat piring Daniel yang sudah selesai.

"What?" Amber meringis sambil menusuk - nusuk spagetinya.

"Sikapmu, sungguh tidak normal" Daniel menggelengkan kepala, khawatir dengan perilaku Amber.

Dengan enggan Amber menyuap beberapa lembar spageti, tangannya gemetar, ia berusaha mengarahkan garpu kemulutnya, memaksakan rahangnya bergerak untuk mengunyah spageti dimulutnya.

"You look depression when__he left!"

Tiba-tiba tangan Amber melemas dan menjatuhkan garpunya kepiring

"Amber, kurasa dia tidak akan kembali" lanjut Daniel pelan.

Amber meratapi kesedihanya yang semakin mendalam. Amber berusaha mengambil beberapa lembar spageti dipiringnya lagi, garpu bergoyang ditangan Amber, membuat spagetinya bergetar.

Daniel menghela napas dalam-dalam sebelum meneruskan kata - katanya kembali.

"Ini sudah berlalu beberapa bulan. Tidak ada kabar, tidak ada telepon, tidak ada surat, tidak ada kontak. Kau tidak bisa terus - terusan menunggunya."

"I know_but I will fine, Dad" suaranya serak mengatakannya, ia menyuap spageti kemulutnya lagi, padahal tindakan itu hanya kamuflase, karena Amber sebenarnya tidak tega menyakiti hati Ayahnya dengan berperilaku seperti itu.

Sesungguhnya Amber tidak ingin membuat Ayahnya merasa semakin sulit menjalani hidup tanpa Ibu yang kadang ia keluhkan seperti, "Aku harap dia disini" atau "Kuharap dia dapat membantuku saat ini".

Tangan Daniel mengepal diatas meja, besar hasrat Daniel untuk menggebrak meja yang mungkin bisa membangunkan mimpi buruk Amber.

"No, Absolutely not, Amber! Kau sangat berubah sekarang, dalam artian tidak bagus. Lihat dirimu, kau lesu sekali dan tidak mau makan, wajahmu pucat, kantung matamu bengkak dan menghitam, kau juga tampak kurus nak, kau seperti mayat hidup semenjak Chanyeol meninggalkanmu"

Amber hanya terdiam dan sesak mendengar nama Chanyeol disebut, bibirnya gemetar, matanya menatap kosong ke meja, dan ketika nama itu disebut, seolah lah langit seketika runtuh dan menimpanya.

"Look, it's scaring the hell outta me, Amber. Kau jangan membuat Dad khawatir seperti ini, Dad ingin kau menjaga dirimu,

"Lihat dirimu sekarang, Kau begitu rapuh saat ini, sangat bukan dirimu. Mana Amber Josephine Liu ku yang selalu ceria dan tangguh dengan semburat pink dipipimu, like your mother" Daniel tersenyum menyebut Ibu, Daniel menyentuh pipi Amber lembut dengan ujung jarinya.

Daniel menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan keras sebelum melanjutkan.

"Kau mau kita kembali ke Amerika?" Daniel memandang putus asa, saat Amber lambat laun mencerna maksudnya.

Amber mendesah "Tidak! Jangan bahas itu lagi, dad. Aku tidak ingin mengulang kehidupan dan semua ini dari awal lagi," suaranya terdengar sedikit lebih tajam saat menyadari maksudnya.

"Kalau begitu aku mohon kau mendengar kata-kataku," ujar Daniel ragu-ragu, dengan cermat Daniel menelaah reaksi Amber terhadap kata-katanya selanjutnya.

"You have to move on, go back to your normal life, Amber, hangout with your friends. Aku perhatikan kau sudah lama tidak keluar rumah dan berkumpul dengan teman-temanmu, kau harus menikmati hidupmu, meninggalkan kegalauanmu__temuilah Kai"

Amber mendengus, teringat terakhir kali ia mengusir Kai karena tak ingin menemuinya. Daniel menggenggam tangan Amber sebelum melanjutkan.

"Maybe he'll take your mind off of thing for a bit"

Daniel benar, ia harus meninggalkan semua ketidaknormalan ini, kata-kata itu seperti pukulan keras dibelakang kepalanya.

"Akan aku coba, Dad" Amber menghela napas dan berusaha memperdengarkan nada ceria agar meyakinkan Daniel. Namun nada yang terdengar agak datar, bahkan di telinganya sendiri.

Amber menyuap lagi spageti yang ada dipiringnya. Amber berpikir ada benarnya juga perkataan Daniel, Amber mulai merasa bersalah terhadap Daniel yang telah membuatnya khawatir, dari pada ia hanya duduk berpangku tangan didepan macbooknya, lemah, sampai bencana datang. Sungguh tindakan yang tolol.