Chereads / Married With My Arrogant Friend / Chapter 22 - Space And Skak Match

Chapter 22 - Space And Skak Match

Selamat membaca

Enjoy with song Virgoun__Bukti.

{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{

Di dalam mobil yang di kendarai oleh Gavriel, ada Queeneira yang duduk dengan tangan berlipat di perut, kesal. Sedangkan Gavriel sendiri, menyetir dengan sesekali melirik Queeneira yang ada di sampingnya, segaris

senyumnya terbit saat sahabatnya menampilkan ekspresi mengemaskan seperti itu.

Gavriel tidak bisa melihat dengan jelas, bagaimana ekspresi wajah dari sahabatnya yang sejak awal masuk ke dalam mobilnya, sudah melengos dan enggan barang sejenak melihat ke arahnya. Membuatnya menghembuskan napas kuat, dengan Queeneira yang bergerak sedikit sebagai tanda, jika sebenarnya dia memperhatikan Gavriel.

"Que," panggil Gavriel dengan nada datar, namun jika Queeniera jeli maka dia akan mendengar nada frustasi dari seorang Gavriel Wijaya.

"Hmm," gumam Queeneira tanpa repot menolehkan wajahnya, terlalu malas untuk melihat wajah tampan sahabatnya, yang memberhentikan mobil saat di depan mereka lampu lalu lintas berganti menjadi merah.

Gavriel menoleh ke arah Queeneira, kemudian membawa tangannya untuk memegang tangan dan menggengam tangan Queeneira.

"Queene, dengarkan aku," ujar Gavriel, berusaha menahan tangan Queeneira agar tetap ada di genggamannya, sehingga Queeneira pun menyerah dan membiarkan tangannya digenggam oleh Gavriel.

Deg! Deg! Deg!

Jantung keduanya sama-sama berdetak. Namun sayang, salah satunya tidak membiarkan dirinya terhanyut dalam detakan yang kian bertambah.

"Apalagi Gavriel, apa yang harus aku dengarkan?" tanya Queeneira menoleh ke arah Gavriel, namun sayang lampu lalu lintas yang berganti, membuat Gavriel mengurungkan niatnya untuk membalas pertanyaan Queeneira.

"Ck." decakan sebal meluncur bebas dari mulut Queene, membuat Gavriel menoleh dan kembali melihat jalan di depannya dengan senyum kecil.

Genggaman tangan semakin Gavriel eratkan, membuat Queeneira tersentak, lalu melotot ke arah tangan Gavriel yang semakin erat menggengamnya.

"Lepas, Gavriel," desis Queneira, namun sayang Gavriel hanya mengangkat bahu tak acuh dan melanjutkan perjalanannya, tanpa peduli dengan Queeneira yang berusaha melepas gengaman tangannya.

"Aku tidak akan melepaskannya, hingga kamu mau menerimaku kembali, Queeneira," batin Gavriel dengan pandangan lurus ke depan.

Akhirnya keduanya tiba di pelataran parkir apartemen milik Queeneira, dengan si empunya apartemen yang menatap Gavriel tidak percaya.

"Kamu tahu apartemen aku?" tanya Queeneira menatap Gavriel tidak percaya.

"Hn. Aku tahu semua tentang kamu, Queene. Tanpa terkecuali, bahkan aku tahu ukura-

"Hei! Ukuran apa yang kamu maksud?" pekik Queeneira horor, saat Gavriel melepas seatbelt sambil melihat ke arahnya dengan senyum miring mencurigakan.

"Ha-ha … Apa yang kamu pikirkan, yang aku maksud adalah ukuran sepatumu, honey," kekeh Gavriel geli, mengusap sayang rambut Queeneira yang segera ditepisnya kasar.

"Jangan pegang-pegang."

"Ck-ck … Galak sekali, awas nanti jatuh cinta semakin dalam loh," goda Gavriel dengan mata menatap dalam netra Queeneira, membuat rona merah samar menghiasi pipi anak kesayangan Wardhana, yang segera melengos malu.

Gavriel terkekeh kecil, kemudian membuka pintu dan berjalan cepat untuk membuka pintu penumpang, mengulur tangannya yang tentu saja tidak di terima oleh Queeneira. Justru Queeneira turun dan berjalan meninggalkan

Gavriel dengan segera, namun Gavriel dengan cepat memegang lengan Queeneira dan menariknya hingga membentur dada bidangnya.

Grep!

Brukhh!

Seketika, aroma khas yang sudah lama tidak Queeneira hirup dari Gavriel memenuhi ruang penyimpanan udaranya, membuat Queeneira tidak sadar menghirup lebih dalam dengan mata terpejam.

"Kenapa aromamu semakin menggoda seperti ini," gerutu Queeneira dalam hati.

"Dengarkan debarannya baik-baik, Que. Jantungku, kenapa selalu seperti ini jika kamu ada atau aku sedang mengingat kamu, padahal sewaktu dulu, saat aku belum mengetahui arti kamu dalam hidupku, jantungku tidak seperti ini. Apa kamu tidak merasa jika dulu, aku hanya berusaha agar aku bisa secepatnya pulang dan bisa memelukmu seperti ini? Bukankah kamu juga sudah berjanji akan menunggu? Lalu kenapa saat aku sudah pulang seperti ini, kamu justru menolak kehadiranku, Queene."

Deg!

Queeneira terdiam, saat Gavriel berbisik lirih masih dengan memeluknya erat. Ia pun tidak tahu, kenapa ia seakan enggan untuk menerima Gavriel dengan mudah, setelah 10 tahun ia dibiarkan hidup dalam penantian tanpa

kabar sedikitpun.

Hatinya sebenarnya sangat menginginkan jika ia bisa cepat menerima Gavriel, tapi ada ego di dalam dirinya yang tidak membiarkan hatinya menang dengan mudah.

Queeneira mengurai dengan perlahan pelukan posesif sahabatnya, dengan Gavriel yang kali ini tidak menahan sehingga akhirnya Queeneira pun terlepas dari dekapan Gavriel, yang menatap Queene dengan pupil mata bergetar, kecewa.

"Quee-

"Gavriel, aku butuh space dan aku harap kamu mengerti. Aku juga ingin kamu tahu, jika aku tidak suka dengan cara pertemuan kita yang seperti ini. Belum lagi masalah perusahaan pak Fredy, yang kamu buat collaps hanya dalam satu malam. Aku-aku tidak mengenal kamu yang sekarang."

"Queene, aku bisa jelaskan tentang itu-

"Tidak, aku tidak akan mendengarkan penjelasanmu."

"Queene, kamu hanya perlu bilang tolong kembalikan dan aku akan lakukan, bukan kah sangat mudah," tukas Gavriel saat lagi-lagi pembahasan perusahaan yang dibahas.

Apa bagi Queene perusahaan itu lebih penting, dibandingkan dengan mendengarkan penjelasannya darinya, tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan perusahaan property itu.

Queeneira menatap tidak percaya dengan apa yang di katakan Gavriel, mendengar nada sombong yang diucapkan langsung dari Gavriel di hadapannya.

Kekehan mengejek terdengar dari Queene, saat ia merasa jika apa yang di dengarnya adalah pernyataan paling sombong, yang pernah di dengarnya dari lisan seorang Gavriel Wijaya.

Apakah nanti ada yang lebih sombong lagi dari ini?

Entah, ia pun tidak ingin tahu lebih dari ini.

"Ha-ha … Benar, benar juga. Apa sih yang tidak bisa kamu lakukan, bahkan sebenarnya jika kamu mau, menghancurkan perusahaanku pun juga bisa dan sangat mudah ya. Ah! Bahkan itu terlalu mudah untuk kamu, benar kan begitu, Gavriel Wijaya?"

Menatap nanar ke arah Queeneira yang masih melihatnya dengan kekehan mengejeknya, Gavriel hendak membuka bibirnya namun diurungkan saat ia masih menahan ledakan emosinya.

Bagaimana perasaanmu, jika di tuduh macam-macam secara buta oleh wanita yang sangat dicintai olehmu, hanya karena kecerobohan dan emosi sesaatmu?

Gavriel saat ini sedang merasakannya dan ia tahu, jika ini adalah resikonya yang telah menunjukan sikap yang paling tidak disukai oleh wanitanya, seharusnya saat itu ia tidak terang-terangan mengancam Queeneira dan

membuat masalah ini semakin rumit.

"Damn it," umpat Gavriel dalam hati.

"Tidak bisa membantah, heh, Tuan Gavriel Wijaya? Hum … Karena memang seperti kah kebenarannya? Ah! Tentu saja, jadi, aku rasa cukup untuk malam ini dan aku harap kita tidak akan bertemu lagi, permisi."

Dengan perkataan terakhirnya, Queeneira pun meninggalkan Gavriel yang hanya terdiam, tanpa bisa mencegah dan tanpa ada penjelasan lebih lanjut tentang kesalahpahaman ini.

"Sialan," decih Gavriel kesal, sebelum kembali masuk ke dalam mobilnya, membuka pintu dan menutupnya dengan bantingan kuat.

Brakh!

"Fuck!" umpat Gavriel dengan menggebrak stir kemudi kesal. Tangannya ia gunakan untuk mengusap kasar wajahnya, kemudian menghela napas dan menenang diri secepat mungkin.

"Huft … Calm down, Gavriel. Kamu tahu bukan ini akhir sesungguhnya dan kamu harus percaya, jika Queene hanya sedang emosi saat ini."

Mencoba menenangkan diri sendiri, Gavriel pun menghidupkan mesin mobilnya dan kemudian meninggalkan halaman parkir apartemen Queeneira, pulang ke apartemen sendiri dengan hati tak karuan.

Sementara Gavriel dengan perasaan tak karuannya, Queeneira yang saat ini baru sampai di apartemennya segera mengunci diri di kamarnya, mengabaikan pertanyaan penasaran dari Andien, tentang makan malamnya dengan

Selyn.

"Queene, ingat lusa malam adalah pesta yang di maksud Doni. Kamu ingat kan!" seru Andine mengingatkan, namun sayang Queeneira tidak mendengarkan justru menutup pintu dengan debaman kuat tertinggal.

Brakhh!

"Astaga! Queene, kenapa dia jadi tempramen seperti ini. Apa ini ada hubungannya dengan makan malam bersama Selyn," gumam Andine menebak-nebak. Ia pun mengangkat bahunya tak acuh, berusaha untuk tidak memikirkannya dan kembali dengan kegiatannya, mengecat kuku lentiknya.

Di dalam kamarnya, Queeneira segera menghempaskan tubuhnya di ranjang kesayangannya, kemudian menutup wajah dengan boneka kecil, boneka sama yang ada di kamar Gavriel, karena ia memang sengaja membuatnya dua, satu untuknya dan juga satu tentunya untuk Gavriel.

"Kamu, kenapa berkata seperti itu kepadaku? Kenapa seakan-akan ini memang semua salahku, kenapa meminta aku untuk berkata tolong kepadamu, baru kemudian kamu akan mengembalikan hak milik orang lain."

Queeneira meracau, saat ia merasa Gavriel terlalu sombong dengan menganggap semua hal mudah. Ia tahu memang benar apapun jika itu dia pasti akan terjadi. Tapi, kenapa harus ia yang meminta bukan dia sendiri yang

mengembalikan.

Kenapa ia yang harus mengemis pengampunan untuk orang lain?

Kenapa tidak dengan ikhlas saja mengembalikan?

Apa dia ingin menunjukan, jika semua sudah ada dalam gengamannya? Ingin menunjukan jika dia sudah ada di puncak paling atas sana? Ingin memberitahukan, jika dia bisa segalanya?

"Cih … Persetan dengan kekuasaanmu. Aku sudah terlanjur membencimu, Gavriel," gumam Queeneira mengumpat kesal.

Apartemen Sky Elty

Mobil yang di kendarai oleh Gavriel sampai di basement tempat parkir mobil, ia membuka pintu mobil dan menutupnya segera, kemudian menekan tombol di remot kecilnya hingga bunyi bip pun terdengar,sebagai tanda

jika mobil terkunci dengan sempurna.

Melangkah dengan perlahan, Gavriel berdecih sebal saat merasakan getaran di saku celananya dengan getaran lama sebagai tanda panggilan.

Di layar handphonenya tertera nama Aksa, sehingga ia pun menghela napas sebelum menekan tombol hijau, panggilan pun terhubung dengan ia yang bergumam pelan sebagai pengganti kata halo.

"Mas, dia meminta untuk bisa bertemu Mas secepatnya. Apa kita harus tolak dan ganti jadwal hari lain? Besok kita akan-

"Hn. Undur jadwal lainnya, kita lihat apa yang ingin disampaikannya," sela Gavriel cepat, sambil menekan tombol lantai tempatnya tinggal.

"Baik, Mas."

Ting!

"Hn. Ada lagi?" tanya Gavriel, kemudian melangkahkan kakinya keluar lift saat pintunya terbuka.

"Pesta lusa malam, Nyonya besar meminta Mas untuk mencoba jas di W&M boutique. Mas ingin ke sana atau mereka mengirim jasnya ke apartemen?"

"Hn. Biarkan aku yang ke sana, kalau begitu kosongkan jadwal untuk besok hingga selesai jam makan siang. Paham, Aksa?" sahut Gavriel, kali ini ia membuka pintu apartemenya, kemudian menutup dan seketika lampu ruangan menyala, dengan suara robot menyambutnya.

Welcome home, Mr.Wijaya.

"Baik, Mas."

"Hn. Kamu juga jangan lupa untuk memesan jas disana, carilah pasangan disaat pesta berlangsung, Aksa," perintah Gavriel dengan nada datar, berniat menggoda Aksa namun sayang Aksa hanya menjawabnya lempeng, tidak terpengaruh dengan godaannya.

"Tidak, terima kasih, Mas."

"Kamu akan menyesal, menyia-nyiakan masa mudamu."

"Seperti Mas."

Tut!

Gavriel terdiam dengan mulut menganga, saat mendengar jawaban telak dari tangan kananya. Niatnya ingin menyindir sang tangan kanan, justru ia yang kena skak saat memang itulah kenyataanya.

Wajahnya berubah merah padam, saat memikirkan jika Aksa pasti sedang ngakak di apartemennya sana.

Lalu kemudian, umpatan dengan sumpah serapah berikut kebun binatang dan isinya keluar dari belah bibir Gavriel, yang memang awalnya sudah kesal bertambah kesal saat mendengar skak match dari Aksa.

"Aksa sialan, pippp, pippp, pippp, lihat saja nanti, habis kamu ketemu nanti di kantor," umpat Gavriel menyumpah serapah asistennya di apartemen sana.

Sementara itu Aksa yang saat ini sedang ada di kamar apartemennya tergelak bebas, ia merasa puas saat membalas pernyataan Bos songongnya.

Apakah sang bos tidak merasa, jika yang seharusnya cepat mendapatkan pasangan adalah dia sendiri bukan dirinya yang masih muda.

Eh! Sebenarnya Bosnya juga masih muda, tapi ia jauh lebih muda. Ok, lupakan bukan itu yang ingin dibahasnya.

Intinya, ia masih ingin sendiri dan ia hanya ingin yang terbaik untuk Bos yang sudah dianggapnya sebagai Masnya sendiri.

"Cepat selesai untuk masalah besok, agar Mba Que juga cepat baikan dengan Mas," gumam Aksa berharap.

Bersambung