Chereads / Married With My Arrogant Friend / Chapter 18 - Pelampiasan Rasa Kesalnya

Chapter 18 - Pelampiasan Rasa Kesalnya

Selamat membaca

Enjoy with song HYFY__Save Me!

{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{

WIJAYA TBK

Gavriel masih melihat pintu lift yang tertutup dengan pandangan nanar, ia meremas rambutnya kuat kemudian dengan segera berbalik menuju ruangannya kembali.

"Sialan!"

Gavriel sebenarnya tahu jika ada Aksa yang berdiri di belakang pintu ruangan yang sedikit terbuka. Ya … Aksa tadinya hendak menemui Gavriel tapi tidak jadi saat ingat jika ada tamu penting di dalam, lalu mendengar pertengkaran antara Bosnya dengan wanita yang ia tahu adalah cinta belum sampai bosnya.

Alhasil, ia pun kembali masuk ke dalam ruangannya kemudian tidak lama mendengar suara berisik dan dengan segera memeriksa apa yang sebenarnya terjadi. Ia hendak keluar, namun di tahannya saat melihat Bosnya yang

sepertinya sedang kesal dan sepertinya ia tahu, siapa yang bisa membuat sang Bos yang kalem bisa melampiaskan emosinya dengan terang-terangan seperti ini.

"Astaga Mas Gavriel. Kenapa bisa seperti ini, padahal dia hanya perlu menjelaskan alasan yang sesungguhnya, jadi tidak perlu ada salah paham juga," gumam Aksa lirih, kemudian mengu

"Huftt …Aku jadi tidak ingin jatuh cinta, pasti rumit," lanjutnya pusing sendiri.

Kembali pada Gavriel yang saat ini sedang membuka pintu ruangannya, ia dengan tenaga membanting pintu, tidak peduli dengan suara yang memekakan telinganya.

Brakhh!

Ia kembali mengumpat lagi dan lagi, menendang udara kosong sebagai pelampiasannya.

"Bangke!"

Setelah puas dengan umpatan sumpah serapahnya. Gavriel dengan segera berjalan menuju meja kerjanya, mengambil kunci mobil dan jas yang ia sampirkan di kursi kebesarannya.

Berjalan dengan langkah tegasnya, Gavriel keluar dari ruangannya dan seketika berhenti, saat melihat Aksa yang berdiri di depan ruangannya.

"Hn?" gumam Gavriel dengan nada tidak bersahabat, menatap Aksa tajam saat Aksa berdiri menghalangi jalannya.

"Saya butuh tanda tangan anda, untuk akusisi," jelas Aksa tanpa takut dengan wajah angker Bosnya, sudah biasa dan memang harus terbiasa.

Dulu meskipun tidak sering tapi Aksa sudah di beritahu oleh sang Papa, jika emosi dari anak Tuan besarnya lebih tidak terkendali, dibandingkan dengan Tuan besarnya sendiri.

"Hn. Letakkan di meja, aku akan tanda tangan, nanti. Saat aku kembali." Gavriel dengan segera menyela apa yang hendak Aksa katakan. Sekarang ia sedang dalam mood buruk dan ia butuh pelampiasan.

"Baik."

Aksa hanya bisa mengangguk, memberi jalan untuk Bosnya yang segera berlalu tanpa menoleh lagi ke arahnya.

Selepas kepergian sang Bos, Aksa pun menghela napas kemudian memasuki ruangan Bosnya dan meletakan map berisi dokumen kepemilikan di atas meja. Dimana ada bingkai dengan sang Bos dan tiga orang lainnya di dalam foto, keempat orang itu tersenyum dengan senyum yang masih terlihat polos.

Foto adik, sepupu, wanita yang tadi datang dan tentu saja Bosnya sendiri.

"Mereka tampak seperti pahatan dewa, dengan rupa sempurna juga senyum yang mempesona," gumam Aksa lirih, sebelum pergi meninggalkan ruangan Gavriel juga meninggalkan foto lainnya yaitu foto ….

Disaat bersamaan, disisi Queeneira.

Queeneira yang saat ada di dalam lift segera berusaha menghapus air matanya yang mengalir dengan sapuan kasar. Ia tidak boleh menangis lebih dari ini, ia harus bisa membuktikan jika ia bukanlah Queeneira yang dulu, Queeneira yang menangis saat bertanya perasaan Gavriel 10 tahun silam.

Ia saat ini sudah dewasa dan tahu mana yang pantas di tangisi dan tidak. Menghirup udara sedalam-dalamnya, Queeneira mencoba menengkan emosinya yang tiba-tiba meluap karena satu pemicu dan akhirnya uneg-unegnya lamanya pun ikut muncul kepermukaan.

Bukan inginnya mengatakan terang-terangan rasa kekecewaanya kepada dia, ia hanya terbawa perasaan dengan penyebab orang yang sama.

Hatinya selalu bertanya, kenapa Gavriel memberinya harapan dan memintanya untuk menunggu, kalau sama sekali sikapnya tidak menunjukan demikian?

Yang di butuhkannya hanya komunikasi, tapi Gavriel tidak memberitahu barang sejenak kabar kepadanya selama kepergianya, jadi bagaimana ia tidak kecewa saat Gavriel kembali dan melakukan hal seenaknya kepada orang lain.

Ia marah, kecewa dengan segala kesedihan yang sudah ditahannya lama, kini akhirnya ia bisa juga mengeluarkannya. Bahkan ia menyembunyikan ini dari semua orang dan ia tidak yakin jika sehabis ini tidak ada orang terdekatnya yang tidak tahu.

Tapi mengingat tempat ia bertengkar tadi, sepertinya ia tidak perlu khawatir aka nada orang yang menyebarkan perasaannya saat ini. Karena kedua orang tuanya dan orang terdekat mereka hanya tahu, jika ia sampai sekarang masih menginginkan bisa berdiri berdampingan dengan dia, tanpa tahu jika saat ini ia sangat membenci orang bernama Gavriel Wijaya.

Ting!

Melangkahkan kakinya dengan segera, Queeneira keluar dengan wajah mendongak tidak menunduk dan menunjukan kesedihan dengan atas apa yang baru saja terjadi.

Tak! Tak! Tak!

Setiap langkah kakinya terdengar menghentak, membuat karyawan yang bekerja di perusahaan Wijaya menatapnya dengan penasaran, saat beberapa karyawan juga tahu jika tadi ia datang hendak bertemu pemimpin mereka.

Tanpa perduli atau pun melirik orang yang menatapnya penasaran, Queeneira berlalu dengan aroma sakura tertinggal, kemudian menuju bagian parkir dimana mobilnya terparkir dengan cantik.

Mobil hasil jerih payahnya sendiri, selama dua tahun merintis usaha dengan teman-temannya, juga mengembangkan butik milik sang Mama.

Ceklek!

Blam!

Brummm!

Kendaraan dengan warna merah ini pun melaju pelan, meninggalkan pelataran parkir kantor milik Wijaya, keluar menuju jalan raya berbaur dengan mobil lainya dan menuju ke arah gedung perkantorannya sendiri.

"Aku benci kamu, Gavriel," umpat Queeneira dalam hati.

Tidak lama dari kepergian Queeneira, Gavriel tampak keluar dari lift khusus direksi dengan wajah tak bersahabat, juga dengan aura turunan sang Daddy yang ditebarnya bebas.

Sapaan yang diterimanya sepanjang koridor pun ia abaikan begitu saja, jangankan sapaan saat ia sedang dalam keadaan tidak mood, sedang mood pun Gavriel belum tentu membalas sapaan.

Tunggu pawang datang dan bisa menjinakan layaknya Dirga, maka Gavriel pun akan berubah kebiasaan buruknya, jika pawangnya sudah bisa mengendalikan sikap dan kelakuan si Tuan muda ini.

Memasuki mobilnya dengan segera, Gavriel memacu kendaraanya dengan keceptan di atas rata-rata, menuju tempat salah satu teman gelapnya berada. Ia butuh sesuatu sebagai pelepasan, maka itulah hanya disana lah tempat yang ia rasa bisa mengembalikan moodnya, meskipun sebenarnya ada yang lebih ampuh.

Tebak apa.

Tentu saja orang yang telah membuat moodnya down seperti saat ini, mungkin dengan dicabutnya kata kecewa dari salah satu ucapan marah wanitanya, itu bisa mengembalikan moodnya di tingkat semula.

Sialan, rasanya ingin menghancurkan sesuatu saat ini juga.

Tidak lama kemudian, Gavriel pun sampai di sebuah gedung tinggi, tidak terpakai dan tampak kumuh dari luar, lengkap dengan semak belukar yang menghiasi.

Ini tempat apa?

Ini adalah bangunan milik salah satu anggota hitamnya, kakinya pun melangkah memasuki halaman dengan rumput liar menghiasi, kontras dengan sepatu pantofel mengkilap yang saat ini di pakainya.

Di depannya saat ini ada persimpangan kiri dan kanan, ia pun berbelok ke arah kiri dan berjalan lagi dengan santai, menuju pintu dengan dua orang penjaga berbadan kekar yang berjaga di depan pintu sana. Keduanya memasang wajah dan sikap siaga, kemudian menunduk hormat saat Gavriel berjalan ke arah keduanya.

"Selamat siang, Bos."

"Hn."

Dengan bantuan salah satu penjaga yang membuka pintu, Gavriel memasuki ruangan itu yang ternyata isinya berbanding terbalik dengan luar dari gedung.

Netranya segera di sambut dengan lampu temaram berwarna merah, lengkap dengan beberapa alat-alat bertarung tertata rapih. Bukan hanya alat tarung manual, tapi juga senapan dengan berbagai macam dari yang laras pendek hingga laras panjang.

Gavriel melewati bagian senjata, berjalan menaiki anak tangga dan ia pun melihat arena tinju, juga beberapa perlengkapan sebagai pendukung.

"Yo! Gavriel!" seru seseorang, memanggil nama Gavriel santai, membuat Gavriel menolehkan dengan segera ke arah si pemanggil.

"Hn."

Melangkah dengan pelan, Gavriel melihat kepalan tangan dari Kin Amarjaya kemudian ikut mengulurkan dan mengadu kepalan tangannya ke kepalan tangan Kin.

"What's up. Dude? (Ada apa. Bung)" tanya Kin, kedua bertemu di Jepang saat insiden Gavriel terjebak oleh beberapa penjahat bayaran, yang di sewa oleh salah satu perusahaan karena kalah saing dengan perusahaannya.

"Nope."

Gavriel pun dengan segera menghempaskan bokongnya di sofa kosong, tanpa peduli dengan Kin yang sibuk dengan layar komputer, yang bunyi suara ketikan keyboardnya terdengar seperti berteriak minta tolong.

Tak! Tak! Tak!

"Fuck. Sialan, mati, kan."

Gavriel hanya mendengkus, saat Kin heboh menunjuk-nunjuk layar komputer, yang menampilkan tulisan game over dengan huruf besar.

Astaga! Mau cari ketenangan malah si kampret ini sibuk bacod.

Tidak lama terlihat Kin yang bangkit berdiri, kemudian berjalan dan duduk disebelahnya, dengan tangan mengulurkan sekaleng beer yang diterima Gavriel segera.

"Thanks."

"Hn."

Jangan kira itu Gavriel yang mengucapkan ucapa terima kasih, karena nyatanya Gavriel hanya bergumam dengan sikap acuh, membuka kaleng dan meminumnya dengan kasar sehingga bunyi minuman saat di teguk terdengar jelas.

Kin tentu saja menatap Gavriel dengan penasaran, sebab Gavriel jarang mengeluarkan ekspresi, kecuali jika itu benar-benar membuat dia erosi-

(Emosi oy)

Iya maksudnya emosi.

"Kamu kenapa sih? Ada masalah?" tanya Kin dengan nada penasaran, namun Gavriel hanya menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada. Sparing."

Kin mendengkus saat mendengar kalimat singkat, berupa ajakan sparing dari temannya yang songongnya nggak di ragukan lagi.

"Apa sih, datang-datang ajak gelud. Tapi ok deh, mumpung aku juga lagi bosen, sudah lama banget. Lain kali ajak Ezra kalau mau sparing," ujar Kin dengan segera ia bangkit dari duduknya, berjalan kea rah perlengkapan tinjunya, lalu mengambil sarung tinju juga head guard untuk keamanan.

"Nih tangkep!" seru Kin melempar peralatan yang sama dengan yang dipakainya.

Brugh!

"Hn."

Dengan begitu Gavriel pun bersiap, dengan membuka kemeja dan hanya menyisakan kaos singlet, menampilkan lengan dengan bicepsnya yang bentuknya tidak berlebihan.

"Mulai!"

🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊

W&M boutique and photo shoot studios

Disaat Gavriel sibuk dengan pelampiasannya, Queeneira yang saat ini sedang duduk dengan perasaan kesal, diam membisu memandangn kosong ke arah kertas hasil kerja keras tim kreatifnya.

Rancangan tema yang diusung oleh timnya sudah matang hanya tinggal eksekusi. Tapi karena batalnya kerja sama, kerja keras mereka semuanya tidak berguna alias sia-sia dan ini semua karena kearoganan sahabatnya, yang sudah tidak ingin lagi ia anggap sebagai sahabat.

Sungguh ia bingung harus bagaimana, untuk mengembalikan posisi perusahaan yang sudah di hancurkan oleh Gavriel. Ini bukan masalah kerjasama lagi, tapi ini murni dari rasa kasihannya. Seandainya saja saat itu ia menjawab dengan benar apa yang di tanyakan oleh Gavriel, ia yakin hal seperti ini tidak akan terjadi.

Tapi ia sungguh tidak menyangka,jika apa yang dilakukannya malah berakibat buruk seperti ini, dengan korban orang tidak bersalah.

Ia menyesal, namun percuma, karena ia juga tidak mampu untuk membantu perusahaan itu bangkit lagi.

Hanya Gavriel lah yang mampu mengembalikannya lagi, karena dia lah yang telah menghancurkan perusahaan tersebut.

Tapi sekali lagi, ia harus bagaimana?

Hiks … Gavriel, aku mencintamu tapi aku juga membencimu.

Bersambung