Rojali langsung menuju Rumah Sakit yang diberitahukan oleh Wati. Di sana sudah ada ibu mertuanya dan Ratih. Ia memang terlambat, tapi lebih buruk lagi jika tidak datang. Istrinya tergolek lemah di bangkar didampingi mertuanya. Sementara Ratih sibuk memangku Azna.
"Bapak datang," ujar Azna dengan polos khas anak empat tahunan.
Rojali tersenyum manis pada darah dagingnya itu meski Ratih tetap bermuka masam. Ibu mertuanya yang melihat kejadian itu hanya bisa diam tanpa kata, tubuhnya tampak lebih kurus dan lesu dari terakhir Rojali menemuinya.
Wati terlonjak dan merintih, kain di bawahnya basah kuyup lagi. Ratih memencet bel yang menghubungkan kamar Wati dengan ruang dokter yang merawatnya. Wati pembukaan lagi, mungkin kali ini pembukaan yang terakhir.
Dokter diikuti dua perawat sekaligus datang ke kamar Wati. Lelaki berambut cepak itu meminta perawat untuk cepat-cepat memanggil bidan karena Ia tahu Wati tak butuh banyak waktu lagi.
"Denyut jantungnya semakin lemah," ujar dokter setelah memeriksa kondisi Wati.
Setelah memastikan denyut jantung Wati stabil, dokter mulai memimpin persalinan. Rojali menghela napas. Ia dan Ibu mertuanya mendampingi persalinan Wati sedangkan Ratih membawa Azna ke luar kamar.
Rojali menyediakan tangannya untuk dicengkeram istrinya. Mungkin baginya, mendampingi persalinan sudah menjadi hal yang biasa karena Ia sudah beberapa kali melakukannya. Tapi bagi Wati hari ini adalah kali pertama Ia melahirkan.
Wati berhasil mengeluarkan kepala bayi dari perutnya, Rojali merasa lega anaknya telah lahir. Namun Ia melupakan sesuatu yang sangat penting. Bayi yang Wati lahirkan tidak menangis! Suster sibuk menjalankan instruksi dokter, bidan berkonsentrasi pada proses penjahitan jalan lahir Wati, sementara sang dokter sudah berkeringat dingin.
Rojali baru sadar saat salah satu suster menggeleng pada dokter sembari menyodorkan kertas catatannya. Mertuanya dan Ratih sudah sesenggukan dari tadi.
"Ada apa, Dok?" Tanya Rojali memastikan.
"Kami mohon maaf, Pak," jawab Dokter.
"ANAK SAYA MATI, DOK?" Teriak Rojali tanpa bisa ditahan lagi. Nafasnya memburu. Bagaimana bisa? Ia tidak percaya. Wati, istrinya yang paling muda tak kalah frustasi. Ia berteriak-teriak seperti kesetanan, ini pertama kalinya Ia memiliki anak yang sangat Ia harapkan tapi Tuhan berkehendak lain.
"Ibu … Ibu kenapa anakku meninggal, Bu? Apa salahku?" Racaunya.
"Wat, ikhlas Wat. Kuatkan hatimu, ini semua takdir," Ibunya merangkul Wati sambil berlinang air mata.
"Mbak Ratih pasti tambah benci sama aku," gumamnya. Ratih hanya tersedu mendengarnya.
Ratih memang membenci takdir yang menimpanya sampai-sampai Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana pada adiknya. Tapi bukan berarti Ia membenci Wati, Ia justru kasihan.
Wati dirawat di rumah Ibunya karena tidak mungkin tinggal sendiri di rumah pemberian Rojali. Ratih juga mendampinginya, rumah yang menjadi jatahnya dari Rojali dijualnya dan uangnya diwakafkan. Ia tidak sudi menerima pemberian itu.
'Anak yang kemarin apakah sudah tidak perawan?' pikir Rojali setelah menenangkan diri. Atau ini memang takdir Tuhan? Ia duduk termenung di ruang kerjanya. Jika anak itu sudah tidak perawan, berarti Ia telah ditipu oleh mucikari sialan yang menjualnya dengan harga mahal.
'Apakah sebaiknya aku ke rumah Mbah Argo lagi?' batinnya lagi.
Perasaan Rojali hancur, baru kali ini Ia merasakan kesedihan. Ia merasa gagal dan ditipu. Telpon di ruang kerjanya berdering nyaring, Ia menyapa setelah mengangkat telepon itu.
"Selamat siang, dari Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak Sayang Bunda," sapa seseorang di seberang sana. "Bisa bicara dengan Bapak Rojali?"
"Iya, saya sendiri," sahut Rojali.
"Hasil pemeriksaan pasca persalinan Ibu Wati sudah keluar," pihak Rumah Sakit mengisyaratkan bahwa Rojali harus mengambil surat tersebut.
"Sekretaris saya segera ke sana," tanggap Rojali.
Ia meminta sekretarisnya lalu kembali berkutat dengan handphone, jarinya mencari kontak seseorang. "Hallo, Rojali," sahut suara seorang perempuan.
"Saya minta biodata anak yang kemarin," ujar Rojali tanpa basa-basi.
"Lho, memangnya ada apa?"
"Pokoknya saya minta, saya butuh," Rojali tidak suka ditanya.
"Oke, saya kirimkan lewat email," perempuan itu tak mau ambil pusing.
Tak lama kemudian sekretarisnya masuk ke ruangannya membawa sebuah amplop coklat, surat hasil pemeriksaan pasca persalinan Wati. Rojali membaca sekilas, Wati tidak bisa hamil lagi. Ia merobek-robek kertas itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Ia tidak ingin orang lain membaca surat itu terutama Wati.
"Sudah saya kirim," SMS perempuan tadi.
Rojali menekan tombol panggilan.
"Hallo, ada apa lagi, Jali?" Perempuan itu tampak malas dengan tingkah Rojali.
"Saya mau tanya, saya harap Anda menjawab dengan jujur. Apakah anak kemarin benar-benar masih perawan asli, atau hanya karena terlalu kebanyakan minum obat pengencang?" Rojali bertanya dengan geram. Amarahnya meluap.
"Oh, saya tidak tahu. Saya kan hanya penyalur saja, gimana sih?"
"Saya sudah bayar Anda mahal-mahal itu artinya Anda tidak bisa asal-asalan mencarikan saya barang, bodoh!" Rojali berteriak kemudian membanting handphone-nya.
Ia bergegas mengambil motornya dan menuju kediaman Mbah Argo.
"Anakmu tetap tidak bisa kembali, Jali. Dan kalau kamu mau melanjutkan perjanjian, hari ini juga kamu harus melunasi hutang."
Singkat, padat, dan jelas jawaban Mbah Argo. Rojali masih marah, tapi Ia tidak bisa meluapkannya kepada Mbah Argo, bisa kualat.
"Mbah, saya memang punya banyak musuh bisnis …."
"Ah, iya," Mbah Argo memotong ucapan Jali. "Sebaiknya kamu waspada, Jali. Ada orang terdekatmu yang mulai menemukan celah untuk menghancurkanmu," ujar Mbah Argo.
"Kenapa Mbah baru bilang sekarang?" Rojali mengernyit frustasi setelah terlonjak beberapa saat.
"Ya karena kamu baru datang sekarang," jawab Mbah Argo dengan ringan.
"Siapa itu, Mbah?" Tanya Rojali tidak sabar.
"Saya belum dapat gambar yang jelas, Jali," jawab Mbah Argo menambah kegusaran Rojali.
Siapa gerangan? Rojali berpikir hingga mengabsen satu persatu orang terdekatnya. Namun yang Ia dapatkan hanya kata, 'Ah, mana mungkin, di setiap Ia menebak-nebak setiap orang. Rasanya Ia selalu baik kepada orang, Ia tidak pernah menyakiti siapapun.
Mungkinkah Ratih? Tapi rasanya tidak mungkin. Lagi pula apakah Ia tega mengakali Rojali hingga membuat keponakannya meninggal? Tidak mungkin orang itu adalah Ratih.
Di tengah kepenatannya, Ia bergegas mengendarai sepeda motornya lagi. Rojali memang lebih suka menggunakan sepeda motor dari pada mobil. Sebuah high class karaoke club menjadi tempat perhentian motornya. Ia menyodorkan sejumlah uang kepada satpam di pintu masuk lalu dengan gagah duduk di meja VVIP.
Perempuan dengan wajah manis mendekatinya dengan gaya malu-malu mau. Rojali tak ambil pusing, Ia berniat mencari kembang lewat anak ini meski Ia yakin bukan anak ini yang menjadi Mami. "Eh, temanmu ada yang masih segel?"
Anak itu terkejut sekaligus takut, tapi Rojali langsung mengedalikan suasana. "Saya lagi penat, pingin yang segel, berapapun akan saya bayar. Tenang saja, nanti kamu dapat bonus berapapun yang kamu mau," ucap Rojali.
"Nanti aku tanya Mami dulu, ya Om," jawab anak itu.
"Ssst, tidak usah. Langsung saja kasih tahu siapa anaknya, nanti saya yang nawar sendiri," sahut Rojali. Ia sudah tidak percaya pada mucikari tukang tipu itu.
Anak manis berambut panjang yang masih terlihat sangat muda mendekati wajah Rojali lalu menciumnya, dengan gerakan yang lihai Ia membisikkan sesuatu di telinga Rojali. Rojali mengangguk-angguk.
"Ini nomor handphone-ku, nanti SMS saja berapa yang kau minta," ucap Rojali menuliskan nomor di paha anak itu.
***