Chereads / PARA KONGLOMERAT TERKUTUK (17+) / Chapter 8 - CH 3 Part 1

Chapter 8 - CH 3 Part 1

Arman meninggalkan kantor cabangnya dan bergegas menuju tempat biasa Ia dan Wulan memadu kasih. Istri musuh bisnis terbesarnya itu justru sangat jinak kepadanya dari pada kepada suaminya sendiri. Mobil Nissan Fairlady-nya meluncur dengan mulus lalu mendarat di tempat parkir sebuah hotel mewah.

Ia langsung saja menuju kamar yang sudah Wulan pesan. "Sayang, capek ya?" Sapanya saat masuk dan mendapati Wulan nampak tidur-tiduran dengan lesu. Wulan hanya memiringkan tubuhnya ke arah sumber suara tanpa menjawab sepatah katapun.

"Aku mau makan, Kau mau kusuapin?" Ucap Arman lagi. Wulan menerima rangkulan Arman dengan manja.

"Mau makan apa?" Arman mulai bersemangat melihat Wulan menanggapinya. 

"Apapun, Sayang," jawab Wulan lebih mirip bisikan.

Setelah sarapan bersama dengan menu yang disediakan hotel service, Wulan menceritakan hari-harinya dengan senang kepada Arman. Ia bangga dan puas atas prestasi-prestasi Rismanza, kewalahan atas kenakalan Hermanza, rasa cemburunya kepada Wati dan Pipit, dan cintanya kepada Rojali yang mulai memudar.

"Kau tahu Sayang, sebentar lagi aku akan menghancuran suamimu itu. Lalu …."

"Lalu berarti Kau menghancurkan aku juga?" Potong Wulan.

"Ssst, lalu kita akan hidup bahagia," koreksi Arman.

"Itu berarti aku adalah gundikmu," Wulan mengerucutkan bibirnya tidak suka.

"Yang penting kita hidup bahagia," ujar Arman.

"Dengan apa Kau menghancurkan Rojali?" Wulan tertawa miring, menertawakan keinginan Arman yang menurutnya terlalu muluk-muluk. Arman hanya tersenyum mendengar ejekan Wulan.

Pada pertemuan mereka sebelumnya, Arman berhasil mengekstraksi pikiran Wulan. Ia membaca pikiran Wulan setelah mendapat resep dari seseorang. Awalnya Ia sedikit terkejut dengan jalan pintas seorang Rojali yang hanya diketahui oleh Wulan. Setelah Ia mengunjungi kembali sang pemberi resep, ternyata hal itu benar apa adanya.

Karena tangannya pula lah anak Rojali yang seharusnya lahir di bulan ini meninggal. Namun Ia cepat-cepat menghentikan senjatanya karena Rojali pasti sudah bertindak. Sebrengsek-brengseknya Rojali, Ia masih punya perasaan tidak terima anaknya meninggal tanpa sebab. Walaupun catatan medis semuanya masuk akal dan tidak ada yang janggal, Rojali tetap tidak terima. Ditambah lagi Ia menerima surat vonis dokter bahwa Wati tak dapat mengandung kembali.

"Kalau suatu hari nanti Kau mendapati suamimu jatuh miskin, apa yang Kau lakukan, Wulan?" Tanya Arman sembari menyeringai seperti biasa.

"Mmm, biasa saja. Memangnya aku harus ngapain?" Wulan memutar bola matanya dengan ragu. Arman terkekeh geli, rupanya wanita paruh baya yang suka perawatan di depannya masih tak menanggapi ucapannya dengan serius.

"Mungkin saja aku terpikir untuk memilih jadi gundikmu, seperti yang kau tawarkan tadi," ucap Wulan kemudian. 

"Aku pasti bisa menghancurkan Rojali perlahan-lahan," gumam Arman.

Kantor produksi perusahaan yang Arman miliki memang berada di Kalimantan dan Sumatera, namun pemasarannya lebih bonafit di Jawa. Tak beda dengan Rojali, Ia ingin menguasai perekonomian nasional. Ambisi keras yang tidak seorang pun dapat menghalanginya. Di Jawa, Ia rajin menggeser produk lain dengan penawaran terbaik produk miliknya. Kaki tangan Arman juga cukup banyak hingga Ia tak perlu bersusah payah menangani hal-hal teknis.

Setiap seminggu atau dua minggu sekali Ia meninjau pusat produksinya secara langsung, oleh karena itu Ia juga dikenal sebagai pemilik perusahaan yang supel terhadap karyawan. Orang-orang mengenalnya sebagai orang ramah dan dermawan.

Arman tidak pernah mengungkap kehidupan keluarganya kepada siapapun, apalagi kepada awak media. Tidak ada yang tahu apa alasan Arman melakukan hal itu, yang jelas Ia mengaku pada Wulan bahwa Ia masih mengunjungi keluarganya seminggu atau dua minggu sekali.

"Seperti halnya seorang ayah pada umumnya, aku juga merindukan anak-anakku. Hanya saja aku mengunjungi mereka seminggu atau dua minggu sekali," ujar Arman di depan Wulan.

"Istrimu?" Wulan belum puas mengorek hal-hal pribadi lelaki di depannya.

"Kau paling kusayang dibanding siapapun," jawab Arman singkat.

Handphone Wulan tiba-tiba berdering nyaring. "Ah, sial. Rojali nelpon," gerutunya.

"Angkat saja," Arman tak mau ambil pusing. 

"Hallo," suara Wulan selembut biasanya.

"Wulan, Kau di mana? Guru les Rismanza sudah datang," ujar Rojali.

"Lho, bukannya saya pesan jam malam ya, jam segini Rismanza masih sekolah …."

"Tapi dia datang sekarang," potong Rojali. "Coba Kau sendiri lah yang bicara padanya. Mungkin ada hal lain yang perlu Ia bicarakan tentang les Rismanza," Rojali tidak mau berurusan dengan tetek bengek anaknya. Ia cukup memberi segepok uang pada Wulan untuk memenuhi kebutuhan harian dan sekolah anaknya, jika kurang Rojali akan memberinya lagi.

"Baiklah, bilang padanya aku akan menemuinya sebentar lagi," jawab Wulan kemudian mematikan sepihak telepon Rojali.

Wulan melemparkan handphone ke bantal, barang yang masih langka di era 94an itu tak lantas membuat Wulan merasa istimewa. Ia tetaplah Ia, istri Rojali yang tak pernah mendapat cintanya dan hanya menjadi baby sitter bagi kedua anaknya.

"Rismanza?" Arman membuka mulut. Wulan hanya mengangguk. 

"Ah, anak jenius itu. Kau harus pandai-pandai menyetirnya, Wulan," ujar Arman mengomentari bagaimana seharusnya Wulan memanfaatkan Rismanza.

"Rismanza hanya tertarik dunia modelling," tanggap Wulan sembari mengemasi peralatan dandannya ke dalam tas.

"Karena dia belum tahu berapa banyak uang yang akan dia dapatkan jika menjadi pebisnis," tanggap Arman. Wulan diam saja.

"Aku akan memesan taxi, Kau tak perlu menampakkan diri di depan Rojali," Wulan mengenakan kembali kacamata hitamnya yang kontras dengan wajah mulus putih langsat. 

"Aku tidak setolol itu, Wulan," Arman menggeleng mendengar ejekan perempuan pujaannya.

Sesampainya di rumah, Bu Aminah sedang bercakap-cakap dengan asisten rumahnya. "Lho, Bapak mana, Tas?" Lagak Wulan menanyakan suaminya.

"Barusan berangkat, Bu. Ibu dari mana pagi-pagi?" Sutasih bangkit dari sofa ruang tamu dan menyilakan Wulan duduk.

"Ah, dari salon pijat," jawab Wulan santai. Asisten rumahnya pun undur diri karena Wulan akan berbicara dengan guru les Rismanza.

"Bagaimana, Bu?" Ujar Wulan mengawali pembicaraan.

"Pertama saya datang ke sini dengan maksud untuk bersillaturrahim, kedua saya akan menyampaikan hasil pretest Ananda Rismanza, Bu," ucap Bu Aminah sembari memandang Bu Wulan dengan hormat.

"Iya? Bagaimana, Bu?" Wulan tidak sabar mendapat kejutan dari anak bungsunya yang jenius itu.

Selembar kertas tebal kekuningan diletakkan pelan-pelan ke atas meja kaca oleh Bu Aminah. "Ini adalah hasilnya, silakan Ibu baca baik-baik terlebih dahulu kemudian saya jelaskan maksudnya," ucap Bu Aminah dengan suara pelan, memberi isyarat pada Wulan bahwa ini sangat penting.

Pada tes IQ, Rismanza memiliki predikat jenius karena skornya di atas 140. EQ menempati rata-rata, namun SQ-nya sangat rendah. Wulan menyipitkan pandangannya. Kecerdasan spiritual Rismanza sangat rendah.

"Ibu, apakah semua hasil ini harus selaras?" Tanya Wulan. Ia masih tidak terima dengan hasil tes paling dasar anaknya. 'Mau masuk les saja begini ribet,' batin Wulan saat mendampingi anaknya mendaftar les waktu itu.

"Bukan masalah itu, Bu. Tapi Rismanza harus mendapatkan perhatian intensif dari berbagai pihak. Apakah selama ini Ibu menemukan tingkah laku Rismanza yang lain dari anak-anak pada umumnya?" Ucap Bu Aminah.

"Hmm, saya tidak terlalu paham, Bu. Selama ini tidak ada yang aneh dengan dia," ucap Wulan. Justru kedatangan Bu Aminah yang aneh menurutnya, karena hasil tes begitu saja Ia berkunjung ke rumah wali murid.

"Syukurlah," ucap Bu Aminah. "Kesimpulannya, Rismanza diterima di lembaga les kami tahap percobaan. Jika nanti ada hal yang perlu dipertimbangkan, maka kami akan mempertimbangkan apakah Rismanza memenuhi syarat kelayakan untuk diterima secara resmi atau tidak," Bu Aminah menyampaikan inti maksjd kedatangannya yang sudah Wulan tunggu sedari tadi.

"Bu, hamsternya Bapak mati," tiba-tiba Sutasih menyelonong ke ruang tamu, mengagetkan Wulan dan tamunya.

"Kok bisa, Tas? Matinya kenapa?" Konsentrasi Wulan beralih dengan cepat, Rojali pasti bakal marah besar.

"Mana saya tahu, Bu," jawab Sutasih pasrah.

Hamster kesayangan Rojali dirawat dengan sangat hati-hati oleh pemiliknya, kandanganya pun dibuat agar tidak dapat dijangkau oleh binatang lain ataupun anak kecil. Tapi, detik itu Sutasih menemukannya dalam keadaan berlumur darah.

"Oh, Tuhan. Siapa yang melakukan ini?!" Pekik Wulan. Tiba-tiba Ia teringat mimpinya yang sama persis di beberapa malam ini bahwa Ia memiliki bunga mawar yang ternyata adalah monster, mimpi yang cukup kekanakan tetapi tiba-tiba saja terbesit di pikirannya.

***