Chereads / PARA KONGLOMERAT TERKUTUK (17+) / Chapter 9 - CH 3 Part 2

Chapter 9 - CH 3 Part 2

Rojali tak langsung marah ketika Wulan menyampaikan bahwa hamster kesayangannya mati, Ia justru terkejut. Pagi, siang, sore jika tidak ada urusan kantor yang menumpuk Ia pasti menyendiri bersama para hewan piaraannya, terutama hamster. Ia sangat suka mengelus-elus bulu lembutnya. Di rumahnya banyak hewan piaraan yang dimilikinya, burung, ular, biawak, hamster, dan beberapa jenis ikan. Asisten-asisten rumah tangganya sampai hapal nama-nama yang dimiliki hewan tersebut. 

'Pertanda apa ini?' Ia yakin hamsternya mati bukan karena terkaman hewan lain. Tapi rasanya tidak mungkin juga bahwa yang melakukan adalah orang rumah. Jemari Rojali saling mengetuk-ngetuk di meja kerjanya. Sesekali Ia menghela nafas lalu menghembuskannya.

Hari sudah mulai malam, Rismanza sibuk dengan buku-bukunya, Hermanza yang bandel sibuk dengan remote TV dan toples keripik ubi, sementara Wulan tidur-tiduran di kamarnya. Rojali pergi keluar.

Motornya berhenti di depan rumah Pipit, istrinya yang lain. Pipit yang hapal dengan deru motor Rojali langsung membuka pintu rumahnya. Ia mengerti apa yang Rojali inginkan tanpa harus bertanya terlebih dahulu. "Masuk, Mas," ucapnya pelan. 

Rojali pun masuk, Pipit memberi isyarat pada Haikal agar belajar di kamarnya sendiri. Anak kelas satu SD itu mengangguk setelah menerima satu keresek jajan dari Rojali. "Belajar yang rajin, ya," Rojali berujar dengan nada sayang.

Rojali bisa datang kapan saja kepada keempat istrinya, malam ini Ia datang pada Pipit, perempuan yang Ia nikahi tepat setelah Ratih, usianya belum genap dua puluh delapan tahun. Ia memiliki satu anak dari perkawinan pertamanya dengan Rojali.

Sikap Pipit sangat mirip dengan Wati, Ia tidak banyak bicara dan sangat menurut pada Rojali. Rojali menyukai Pipit, namun tidak dengan kecantikannya. Ia tidak lebih cantik dari Ratih ataupun Wati, apalagi Wulan. Sikap Pipit lah yang membuat Rojali mempertahankan hubungannya dengan Pipit.

"Mau minum dulu, Mas? Kopi atau teh?" Ujar Pipit setelah Rojali terlihat puas dengan dirinya.

"Kopi saja," jawab Rojali. "Akhir-akhir ini banyak yang aneh, Kau baik-baik saja, Pit?" Ucap Rojali. Pipit hanya mengernyitkan dahi mendengar ucapan suaminya.

"Apanya yang aneh, Mas?" Tanggap Pipit walaupun Ia tidak paham sama sekali apa yang sebenarnya Rojali bicarakan.

"Hamsterku tiba-tiba mati," jawab Rojali dengan nada putus asa.

"Lho, yang namanya hewan kalau udah waktunya mati ya mati, Mas," Pipit tertawa kecil mendengar keluhan Rojali.

"Masalahnya matinya itu nggak wajar, Pit," Rojali tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari Pipit. "Seperti ada yang sengaja menyembelihnya," ucap Rojali dengan merinding.

Pipit menghentikan adukan kopinya, "Bukannya orang rumah cuma itu-itu saja ya, Mas? Apa mungkin ada penyusup?" Ucap Pipit kemudian. 

Penyusup? Rojali tertegun mendengar kata itu. Jika memang benar, berarti ada orang yang sedang mengancamnya. Rojali meminum kopi yang Pipit seduh dalam satu tegukan. Pikirannya sudah campur aduk. Siapa yang berani mengancamnya?

Ia menelpon sekretarisnya, Pipit yang di depannya hanya menyimak dalam diam. Suaminya sedang kalut. "Hallo, Gun," panggilnya saat telpon sudah diangkat.

"Iya, Pak?" Gunawan menanggapi dengan cepat.

"Beri tambahan personil penjaga di rumah saya," ucap Rojali singkat.

"Baik, Pak," Gunawan menangkap maksud atasannya tanpa banyak bertanya.

Dua orang satpam baru dan seorang perawat hewan piaraan dipekerjakan Rojali, mereka tak sekedar satpam dan perawat hewan biasa. Rojali mencari perawat hewan yang sebenarnya adalah pawang. Sistem penjagaan di rumah Rojali pun diperketat. 

Bagi Rojali itu cukup membuatnya merasa lebih nyaman, namun tidak bagi Wulan dan kedua anaknya. Wulan tak bisa keluar rumah dengan bebas, kalaupun bisa Ia harus mendapat kawalan dan itu membuatnya tak bebas untuk menemui Arman.

Hermanza beberapa kali terdengar jengkel dan adu mulut dengan satpam rumahnya saat Ia membawa motor hendak menghabiskan waktu dengan teman-temannya. "Masalah bapak bukan masalahku!" Ia pun menerobos pintu gerbang dan mengabaikan teriakan satpam.

Di belahan lain, Pipit sedang mengajari anaknya belajar menulis huruf tegak bersambung. Sesekali Ia menguap karena semalaman Ia tak bisa tidur, Ia memikirkan dirinya sendiri. Kehidupannya berubah total sejak tujuh tahun yang lalu.

Saat itu hatinya sangat berbunga-bunga didekati oleh lelaki kaya yang tampilannya modis, Rojali. Ia berpacaran dengan Rojali selama dua bulan, namun perhatian Rojali membuatnya bagai sanggup melakukan apa saja. Di suatu senja ketika pulang dari pantai dan gerimis tiba-tiba mengguyur mereka, Rojali mengajaknya menginap di hotel.

"Pit, kita tunggu hujan reda ya, sambil minum teh," ucap Rojali sembari menarik tangan perempuan itu ke emperan toko.

"Iya, Mas," jawabnya. Sungguh hari yang mengasyikkan. Ke pantai berboncengan dengan motor dan pulang kegerimisan.

Pipit dan Rojali makan bakso dengan teh hangat manis bersama di sebuah warung bakso pinggir jalan. Sesekali mereka main tebak-tebakkan dan bercanda sembari menunggu pesanan mereka datang. Namun hujan tak kunjung reda bahkan ketika mereka sudah menghabiskan satu mangkok bakso pun.

"Duh, gimana nih?" Gumam Pipit memandang langit mendung yang mulai menggelap. 

"Kita nginep aja?" Ucap Rojali memberi solusi.

"Nginep di mana?" Ujar Pipit lagi yang merasa tidak mungkin menginap di ruko bakso.

"Aku pesankan hotel," ucap Rojali dengan ringan.

"Dih, boros," Pipit yang bukan berasal dari keluarga berada merasa berdosa jika menghambur-hamburkan uang hanya untuk menumpang tidur.

"Kita pesan satu kamar saja kalau begitu," tanggap Rojali. "Bagaimana?"

"Tetap saja boros," jawab Pipit. Jawabannya sangat tidak diharapkan Rojali.

"Pesan satu kamar tidak masalah bagiku dari pada kita tidur di emperan toko," Rojali memutar otak. Akhirnya Pipit menyetujui ucapannya. 

Malam itulah Rojali menggoda Pipit hingga perempuan itu terbuai dan terlupa. Lagi-lagi darah perawan tumpah di tangan Rojali. Rasa hausnya terobati sudah. Rojali merasa tidak bersalah karena Ia tidak memaksa, Pipit lah yang menerima tawaran itu. Pipit lah yang tergoda, terbuai, dan terlupa hingga sesuatu dalam dirinya robek.

"Mah, kenapa Bapak kita tidak seperti Bapak yang lain?" Ucapan Haikal tiba-tiba menghancurkan lamunan Pipit.

"Lho, sama aja kan, mereka sama-sama laki-laki," jawab Pipit sedikit gelagapan, fokusnya belum terkumpul.

"Bukan begitu, Mah. Maksudnya kenapa Bapak kita nggak tinggal di rumah?" Haikal yang sudah mulai mengenal dunia luar, melemparkan pertanyaan telak kepada Pipit.

Pipit memejamkan mata sejenak, ingin meratapi kenyataan yang ternyata juga dirasakan anaknya. "Karena Bapak juga punya rumah lagi, Sayang."

"Kita punya rumah dua, Mah?" Tanya Haikal dengan polos. Pipit mengangguk, anaknya pun puas dengan jawaban Ibunya.

Terkadang Pipit berpikir, apakah istri-istri Rojali yang lain merasakan apa yang Ia rasakan? Apakah hanya Ia yang terlalu terbawa oleh emosi tak terbalaskan? Ia dulu tergila-gila pada Rojali dan tak peduli ada wanita-wanita yang mungkin tidak terima dengan kemesraan mereka berdua.

***