Chereads / PARA KONGLOMERAT TERKUTUK (17+) / Chapter 11 - CH 4 Part 1

Chapter 11 - CH 4 Part 1

Sudah berminggu-minggu Wati tinggal di rumah Ibunya, bersama Ratih dan ketiga anaknya tentunya. Ia masih merasa syok dan kecewa atas meninggalnya anak pertama yang Ia kandung. Walaupun demikian, Rojali tak pernah menengoknya lagi semenjak Ia keluar dari Rumah Sakit.

"Kamu kenapa, Wat?" Tanya Ratih saat memergoki adiknya melamun sendiri di teras. Wati menggeleng. 

"Apa Mbak Ratih pernah merasa kesal sama Mas Rojali?" Ucap Ratih tanpa memandang kakaknya. Tatapannya hampa.

"Tentu saja," sahut Ratih dengan ketus. 

"Sekarang aku tahu rahasia yang Rojali simpan, yang menyebabkan Ia menyetubuhi gadis-gadis," desis Ratih.

"Apa itu, Mbak?" Wati berharap Kakaknya tidak mengada-ada, benarkah Rojali suaminya memiliki rahasia yang tidak Ia ketahui? Dan kakaknya tahu hal itu?

Ratih berdecih sebelum akhirnya menjawab, "Aku tidak akan pernah mengatakannya pada siapapun."

"Apa karena aku masih menjadi istri Rojali, Mbak? Atau karena Mbak Ratih dendam sama aku?" Wati berdiri sejajar dengan kakaknya. 

"Ya, karena Kau masih menjadi istri Rojali. Tapi aku tidak dendam padamu sedikitpun, Wat," Ratih menghela nafas.

"Mungkin sebaiknya aku bercerai dengan Mas Rojali agar Mbak Ratih bisa kembali menjadi istrinya," ucap Wati lirih.

"Najis! Jangan ucapkan itu padaku, Wat. Aku tidak sudi," Ratih menyipitkan pandangannya ke arah Wati. "Suatu hari nanti kamu akan tahu dengan sendirinya." Ratih pun berlalu dari hadapan adiknya.

Wati termenung, Ia memang hina. Menjadi gadis perkosaan yang hamil sebelum dinikah, terlebih pelakunya adalah kakak iparnya sendiri. Lalu Ia tidak pernah mendapati tangis tawa bayinya. Andai hidup tak sekejam ini, mungkin Wati masih bisa bercakap-cakap dengan kakaknya tanpa berakhir perang batin. 

Setiap ada kesempatan untuk bicara dengan kakaknya, selalu berakhir adu mulut. Hatinya perih, telinganya sengaja Ia tulikan dari segala suara tetangga. Hidupnya hancur sudah. Ibu mereka tertekan dan melarikan diri secara terang-terangan dari masalah kedua anak perempuannya. Ia selalu pergi ke pasar dini hari dan pulang larut malam hingga tak ada waktu lagi untuk sekedar bicara dengan Wati ataupun Ratih.

"Aku mau ke apotek. Titip Azna, kalau dia bangun susunya sudah kuseduh di botol," ucap Ratih ketika Ia kembali menutup pintu rumah dari luar. Wati hanya mengangguk. 

Tak menunggu jawaban adiknya, Ratih mengendarai sepeda kayuhnya. Sungguh sial, Ia melihat Pipit saat menghentikan sepedanya di halaman toko obat tak jauh dari jalan raya. Sialnya lagi, Pipit terlanjur menoleh ke belakang dan Ia saling beradu pandang dengan Pipit.

"Pipit?" Ratih menajamkan pandangannya.

"Ratih?" Pipit pun menyipitkan matanya.

"Kau hamil lagi?" Ratih mendapati perut Pipit yang mulai membuncit. Pipit menjawabnya dengan senyum miring.

"Tidak usah iri, Ratih. Kau sudah pernah mendapatkannya juga," seringai Pipit.

"Apa maksudmu? Anak? Ch," Ratih berdecih sembari memutar bola matanya.

"Anak itu buah dari kebahagiaan. Begitu seharusnya," ucap Pipit.

Ratih tahu betul ke mana arah pembicaraan Pipit. Wanita itu sedang mengolok-oloknya dengan topik kebersamaan dirinya bersama suaminya.

"Dengar ya, Pit. Aku tahu Kau sedang merasa di atas awan, tapi suatu hari nanti Kau akan tahu di mana sebenarnya Kau berada. Jadi sebaiknya Kau menunggu waktu yang tepat dan menghitungnya dengan hati-hati," ucap Ratih dengan sedikit menggertakkan giginya.

"Sesama gundik tidak usah saling mengancam, Ratih," tanggap Pipit.

"Atas nama Nyonya Rojali," panggil apoteker.

"Iya, Bu. Saya," Pipit berdiri dari tempat duduknya.

"Oh, Ibu yang bernama Ibu Wulan ya?" Apoteker berusaha beramah tamah dengan pelanggan. 

Ratih tertawa cukup keras di kursi belakangnya. Hari ini Ia mendapat lelucon baru, baru saja Ia mendengar si Gundik menyamar sebagai Permaisuri. Sebegitu percaya dirinya Pipit sampai membawa-bawa nama Rojali kemanapun Ia pergi?

"Bukan, Bu. Saya Pipit," jawab wanita yang sudah menuju ke depan meja apoteker.

Orang-orang di sekitar yang tadinya mencibir perang dingin antara Ratih dan Pipit, akhirnya saling berbisik. Ratih pura-pura tidak mendengar agar Ia lebih leluasa mengetahui apa yang orang-orang asumsikan tentang mantan suaminya.

Ia yakin suatu hari nanti akan ada orang yang membongkar kebusukan mantan suaminya. Ia hanya perlu bersabar menunggu waktu tiba. Semua yang ada di dunia ini tidak ada yang kekal, termasuk harta Rojali yang melimpah ruah.

Sembari menenteng satu kantong jeruk yang Ia beli di pasar tak jauh dari apotek, Ratih menyibak tirai warung makan Mbok Minah. "Simbok," serunya memanggil pemilik warung.

"Eh, Mbak Ratih. Kebetulan saya lagi nggak sempat belanja," Mbok Minah tersenyum girang mendapati Ratih mengeluarkan jeruk-jeruk dan meletakkannya di meja.

"Tadi habis dari apotek, sayang kalau nggak mampir, Mbok," tanggap Ratih.

"Siapa lagi yang sakit?" Ujar Mbok Minag menunjukkan simpatinya.

"Nggak ada, cuma beli obat tidur. Akhir-akhir ini susah tidur," jawab Ratih.

"Wah, banyak pikiran itu, Mbak. Hayo mikirin apa? Kata orang-orang ada yang mondar-mandir di depan rumah Mbak Ratih, lho," ujar Mbok Minah. Mbok Minah termasuk orang yang supel hingga banyak pelanggan yang betah berlama-lama di warungnya.

"Rumah saya memang selalu ramai tiap sore, Mbok. Teman-teman Desva Delta nggak ada bosannya main petak umpet di sekitar rumah," tanggap Ratih tak ambil pusing.

"Mbok, kopi," teriak seseorang dari pintu masuk.

"Eh, Yoyon. Pengantin baru lama nggak kelihatan," sahut Mbok Minah.

"Eh, pengantin baru," Ratih turut menyapa Yoyon.

"Mbak Ratih, tumben makan di warung," ujar Yoyon.

"Saya cuma mengantar titipan Simbok dari hari kemarin baru sempat ke pasar," sanggah Ratih.

Yoyon mengaduk kopinya dan menghirup aroma khas yang mengepul bersama uap di atas cangkir. "Kau beruntung, Mbak," gumam Yoyon yang dikira Ratih sedang melantur.

"Apa Yon? Beruntung gimana maksudnya?"

"Bangkit dari alam kegelapan," ucap Yoyon yang menjadukan Ratih tertawa kering.

"Kalau ngomong itu yang jelas donk, Yon," Mbok Minah menggeleng meski tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh Yoyon.

"Apa Mbak Ratih tidak tahu kalau salah satu dari orang-orang papan atas di daerah ini ada yang menggunakan tumbal?" Yoyon langsung menuju topik tanpa tedeng aling-aling.

"Hah? Tumbal? Jangan asal nuduh Kau, Yon!" Ratih membelalakkan matanya.

"Hmm, Mbak Ratih memang jago acting," Yoyon menelan pisang gorengnya lalu menenggak segelas air putih.

"Kang Yoyon memang begitu, Mbak. Suka mengada-ada kalau bicara," Mbok Minah menimpali sembari menata barang belanjaan yang Ratih setorkan.

Saat Mbok Minah mengangkut piring-piring bekas ke belakang, Ratih berbisik kepada Yoyon.

"Apa Kau berani menyebar rumor ini, Yon?" 

"Aku tidak takut. Ini bukan rumor lagi," jawab Yoyon.

"Hati-hati dengan anak istrimu," peringat Ratih. "Jangan gegabah. Aku tahu Kau tahu tentang semuanya, tapi tidak usah sok pahlawan," lanjut Ratih.

Mbok Minah diam-diam nenyimak apa yang Yoyon dan Ratih bicarakan. Kedua orang ini menyimpan sesuatu.

***