Chereads / PARA KONGLOMERAT TERKUTUK (17+) / Chapter 7 - CH 2 Part 3

Chapter 7 - CH 2 Part 3

"Yon, bagian sana sudah belum?" Pemuda bersarung menunjuk ke bagian sudut masjid.

"Sudah, Kang," sahut Yoyon dengan suara dikencangkan karena pembagian snack di acara pengajian akbar kali ini lumayan ricuh, sebenarnya biasanya juga ricuh. 

Orang-orang walaupun sudah beruban dan giginya sudah tanggal kembali, tidak malu-malu meminta jatah lebih kantung snack yang mereka terima. Ada yang dimasukkan keresek lalu pindah tempat duduk, ada pula yang dimakan cepat-cepat lalu menjulurkan tangan lagi agar panitia memberikan snack lain.

Panitia hampir kewalahan dan tidak segan-segan menegur orang-orang yang berlaku curang. "Bapak-bapak mohon yang sudah menerima snack mundur. Tidak ada jatah dobel, semuanya satu-satu, mohon pengertiannya," Yoyon menirukan ucapan Atang. 

Setelah semua snack didistribusikan kepada para peserta pengajian, Yoyon dan sesama panitia lain kembali ke ruang panitia. Mereka langsung menyambar dos air minum karena suasana siang itu cukup terik.

"Terimakasih kepada Bapak Rojali, yang telah menjadi donatur utama terselenggaranya acara pengajian akbar kali ini. Semoga amalnya diterima di sisi Alloh Yang Maha Kuasa," sekilas Yoyon mendengar cuplikan sambutan panitia, Ia cepat-cepat menelan kerupuk melinjo dimulutnya lalu menenggak air mineral gelas.

Tanpa basa-basi, Ia berteriak, "Taiiiikkkk."

Teman-teman sesama panitia terlonjak dan menoleh padanya, "Husssh, salah Yon. Harusnya AMIN."

"Ada apa, Yon? Kerupuknya nggak enak? Sini buat aku aja," timpal yang lain.

"Yoyon kesurupan?" Ucap yang lain kemudian.

"Ah, enggak. Maaf, Kang, Mbak Yu, maaf keceplosan," Yoyon menyesal karena Ia sadar hanya dirinya yang tahu seperti apa Rojali sebenarnya.

"Untung kamu sengaja keceplosannya itu di sini, Yon. Coba kalau tadi di sebelah Pak Lurah kamu keceplosan begitu," ledek Atang.

"Keceplosan kok sengaja," timpal pemuda yang lain.

"Ya mungkin saja, ya nggak, Yon?" 

Yoyon hanya mengangguk-angguk.

"Kapan nikah, Yon? Ditunggu Safitri itu, lho," Atang tiba-tiba mengganti topik. Yoyon melotot, namun Atang malah semakin senang meledek Yoyon.

Ruang panitia menjadi riuh, Safitri yang berkumpul dengan sesama panitia putri hanya diam malu-malu. Ia berpendidikan cukup tinggi, tamatan Madrasah Aliyah Negeri yang biasa disingkat MAN, sekolah setara SMA namun beda kementerian.

Yoyon memang menaksir Safitri sejak tiga tahunan lalu, namun Ia terlalu banyak pertimbangan. Yoyon tidak hanya mempertimbangkan bibit bebet bobot Safitri saja, namun Ia juga mempersiapkan mental menghadapi kedua orangtua Safitri.

Safitri anak semata wayang yang tinggal bersama ayah dan ibunya di rumah warisan para orangtua mereka sebelumnya. Dari segi sandang, papan, dan pangan, Safitri termasuk berkecukupan walaupun tidak mewah. Sebenarnya Safitri memiliki kakak tiri beda ayah yang sudah lama berkeluarga dan kini tinggal di rumah suaminya.

Di sekolah Safitri selalu berprestasi, rankingnya tidak pernah keluar dari tiga besar, hafalannya bagus, dan tidak pernah neko-neko. Ia juga rajin mengaji dan aktif jadi remaja masjid. Yoyon sudah tahu semua itu. Ia cukup mengenal Safitri sebagai gadis  yang baik.

Namun sayangnya Safitri terlalu dikekang oleh orangtuanya, Ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya. Hari-hari Safitri hanya diisi dengan belajar dan mengaji, terkadang sesekali ikut Simboknya berdagang di pasar.

"Mbok, saya kan tinggal berangkat saja, masa nggak boleh, sih? Di jaman sekarang masih jarang orang biasa yang bisa keterima di perguruan tinggi. Lagi pula saya kuliah pakai beasiswa," ujar Safitri di suatu hari.

Simboknya melarang keras Ia pergi-pergi ke luar kota. Bapaknya Safitri malah tak kalah sedih saat mendapati pegawai Kabupaten datang ke rumahnya dan menyampaikan bahwa satu-satunya anak yang Ia sayangi mendapat beasiswa daerah untuk berkuliah di Semarang. 

"Jangan, dia anak kami satu-satunya," ucap Bapaknya Safitri bagaikan anaknya akan diminta pegawai pemerintah tersebut. Safitri menangis kecewa dibalik bilik bambu rumahnya. Mengapa hanya untuk menuntut ilmu saja susah sekali. 

Teman-teman Safitri menggebu-gebu untuk berkuliah sampai mendaftar sana-sini mengorbankan banyak waktu dan materi, sementara Ia tinggal mendapat persetujuan walinya. Namun Bapaknya sama sekali tidak mengijinkan Safitri pergi. "Empat tahun tidak lama, Pak," ucap Safitri.

"Pokoknya Bapak nggak mau kamu pergi, kamu itu satu-satunya anak kami," sahut Bapaknya.

Safitri pasrah. Ia memilih melepaskan beasiswa tersebut secara cuma-cuma. Hari-harinya kini diisi dengan ikut Simbok ke pasar. Bapaknya juga mengajari bagaimana berinteraksi dengan pelanggan mengingat pergaulan Safitri dulunya hanya sekitar keluarga dan sekolah.

Alloh berkehendak lain. Setelah Safitri yang cerdas itu mulai bisa berdagang, Bapaknya sakit keras. Ia dan Simbok bergantian merawat Bapaknya. Perekonomian keluarga pun mulai merosot karena kebutuhan meningkat drastis hingga berkali-kali lipat, sementara pemasukan tidak naik sama sekali.

'Untung aku tidak jadi kuliah ke Semarang,' batin Safitri mulai menerima nasib buruknya gagal kuliah.

Kian lama kesehatan Bapaknya Safitri kian memburuk, Simbok pasrah. Ia pun berpulang kehadirat Alloh di rumah tempat mereka tinggal. Simbok yang terlalu konservatif dan Safitri yang terlalu pendiam, keduanya tidak ada yang berinisiatif membawa satu-satunya lelaki di keluarga mereka untuk berobat di Rumah Sakit sebelum takdir menimpa mereka.

Saat mereka berdua dilanda puncak kesedihan, saat itu pula Yoyon datang melamar Safitri. Safitri menggertakkan giginya kepada tingkah Yoyon yang bagai pahlawan kesiangan. Tidak hanya itu, sebagai anak yang berpendidikan, Safitri menilai tindakan Yoyon tidaklah etis. Yoyon sengaja memanfaatkan keadaan.

"Kalau saya sih nggak setuju, Mbok," ujar Sriningsih, kakak tiri Safitri.

"Halah, kamu tahu apa. Anak perempuan kalau ada yang melamar berarti memang waktunya Ia harus menikah," sanggah Simbok.

"Simbok jangan kolot seperti itu, kasih Safitri untuk berpikir sejenak. Saya tahu, dia pasti sedih karena gagal kuliah, mentalnya juga pasti sedang jatuh ditambah kehilangan sosok Bapak," Sriningsih tidak habis pikir dengan sikap Simboknya. 

Sriningsih yang sudah beranak lima, sudah cukup berpengalaman bagaimana rasanya berumah tangga di usia muda tanpa bekal finansial dan mental sedikitpun. Untung saja Udin adalah lelaki lembut dan penyayang, pekerja keras, dan setia.

"Nggak semua laki-laki seperti almarhum Bapak ataupun almarhum Romo, Mbok. Nggak juga seperti Udin. Simbok harus ngerti, jangan gegabah memilihkan jodoh untuk Safitri. Safitri masih terlalu belia dan masih banyak kesempatan untuk memilih laki-laki," Sriningsih mengotot.

Sementara di sisi lain, Yoyon berleha-leha sembari menunggu jawaban Simboknya Safitri. Perempuan yang menghabiskan masa kecilnya di zaman pendudukan Jepang itu, terlihat sangat antusias saat Ia memperkenalkan diri sebagai lulusan pesantren ternama.

Yoyon memang sempat mengenyam pendidikan di pesantren hampir dua tahun lamanya. Itu terjadi saat Ia sengaja mati-matian menghindari Rojali. Ada sebersit rasa tergiur di hatinya untuk mengikuti jejak Rojali, mencari rejeki dengan jalur pintas. Namun kekuatan imannya menolak.

Pamannya yang mengetahui inisiatif Yoyon untuk mondok di pesantren sangat senang, Ia turut membantu biaya Yoyon dengan menyisihkan uang belanja keluarganya. Namun belum tamat, Yoyon malah berhenti mondok saat mendengar kabar bahwa Pamannya meninggal karena wabah kolera. Anak-anak Paman menjadi yatim piatu.

"Tenang saja, ada Mas Yoyon yang bakal menjaga kalian," ujar Yoyon pada Romlah, Rosidah, dan Rohmah yang usianya antara dua belas hingga enam belas tahun. Ketiga remaja itupun sedikit terhibur mendengar janji Yoyon.

Tak hanya menjaga, namun Yoyon juga membiayai kehidupan ketiga remaja tersebut. Menyekolahkan Rosidah hingga lulus SMP, memberi semangat dan membiayai sekolah Rohmah karena dicap sebagai anak yang kurang niat belajar oleh guru-guru. Sementara Romlah ngotot menikah setahun kemudian setelah berhenti sekolah di kelas dua SMA.

Hanya Rosidah yang mulus bersekolah hingga tamat SMA, Rohmah malah mogok tidak mau mendaftar SMA sama sekali setelah Ia puas dengan ijazah SMP-nya. Setelah dirasa cukup, Yoyon kembali ke kehidupan dirinya, mengagumi Safitri dari jauh. Namun, bukannya Ia melepaskan ketiga adik sepupunya begitu saja, Ia tetap mengawasi dan menopang biaya hidup mereka.

***