Chereads / Terjebak Di Dunia Novel Terkenal / Chapter 2 - Prolog (2)

Chapter 2 - Prolog (2)

"Eh, cepetan dong siap-siapnya!" seru suara perempuan lainnya dari balik pintu, lalu terdengar langkah kaki yang menjauh dan pengulangan perkataan. Nampaknya ada ruangan lagi sebelah. Ini bukan penculikan, tetapi sesuatu yang lebih parah. Mungkin.

Aku kembali fokus kepada cermin dan menyentuh pipinya. Tubuh dan jiwaku benar-benar terasa. Memastikan lagi mata yang seperti warna madu ini aku melebarkannya dan mengedipkan berulang kali. Rambut perak yang membingkai wajah kecil ini aku uraikan ke depan mata.

"Wah, nyata banget ..."

Cukup lama terdiam memandangi tubuh asing ini, aku berjalan mengecek setiap sisi ruangan. "Ruangan Tertinggal". Ya, itu cocok penggambaran tentang tempat ini atau bisa juga seperti "Rumah Hantu."

Saat hendak kembali ke kasur, rasa penasaran kembali untuk mengecek lemari di pojok kiri kasur. Aku berpikiran, tidak sopan jika asal membuka lemari seseorang, tetapi di situasi aneh ini. Memilih membukanya adalah hal yang terbaik.

Seperti yang aku harapkan, hanya ada dua gaun di sini. Gaun hitam panjang dan pakaian pelayan abad pertengahan.

"Hmm ..."

Aneh, ini aneh. Sudah pasti ini aneh, 'kan?

Aku menyadari keadaan aneh ini dengan wajah malas.

Sialan, aku ada di mana. Jika dilihat dari pakaian tadi, mungkin aku ada di pembuatan suatu drama—mustahil. Apa pihak mereka bisa membuatku berubah fisik drastis seperti ini?

"Pelayan baru!!"

Pintu terbuka kencang dan perempuan berambut cokelat pucat itu maju ke depanku.

Plak!

Satu tamparan dilempar oleh perempuan ini. Perih. Ah, nyatanya kebangetan deh ...

"Masih baru bukannya untuk malas-malasan ya! Kamu ini masih mau hidup nggak sih?"

Perlakuan kejam ini ...

"Cepat pakai seragam dan langsung berbaris di depan ruangan!" ujarnya lagi dan langsung berbalik menutup pintu sama kencangnya.

Perlakuan meremehkan ...

Aku kembali menatap lemari dan membukanya. Pakaian pelayan sama seperti perempuan tadi. Mungkin ini seragam yang dimaksudnya tadi. Cepat-cepat memakainya dan langsung berjalan ke dekat pintu.

Tanganku bergetar saat menyentuh gagang pintu. Dengan segala keberanian aku membukanya dan keluar perlahan. Para perempuan berbaris di depan suatu pintu sama sepertiku.

"Kenapa masih di situ? Cepat baris!" bentak perempuan tadi yang tadi menamparku. Ingin kembali membalas menamparnya tiba-tiba saja naik, tetapi tidak baik jika aku menjadi orang emosional di keadaan seperti ini.

Plak!

Sekali lagi perempuan itu menamparku.

"Jangan mengulanginya lagi," ucapnya kemudian berjalan meninggalkanku.

Si-sialan ...!!!

Aku ingin sekali menamparnya!! Tanganku sudah gemas ingin merasakan panas dari pipi berbintik perempuan itu. Sayangnya hanya bayangan menampar dia saja yang bisa aku lakukan.

"Baiklah, kalian semua. Tuan dan Nyonya akan beraktivitas di pagi ini. Jadi, cepat ke posisi kalian masing-masing."

Instruksi perempuan itu dipatuhi seluruh orang yang berbaris dan meninggalkan tempatnya. Lalu, aku? Aku bingung mau kemana.

"Pelayan baru! Kamu ditugaskan di dapur, cepat jalan!"

Tenggorokanku sudah mulai berfungsi karena aku sempat menenggak air, "Maaf, saya tidak tahu dapurnya di mana!"

"Hmm, bisa ngomong juga kamu, ya. Kalau gitu cepat kamu ikuti dia." Tangannya menunjuk ke arah kananku dan ada punggung orang-orang tadi, "mereka bagian dapur, kamu bisa mengikutinya saja."

Aku hanya mengangguk dan berlari kecil mengejar ketertinggalan. Ada dua orang di depanku dan aku mengikuti mereka setiap ada belokan, naik tangga, turun tangga dan keluar pintu. Setelah keluar dari pintu, akhirnya aku bisa melihat luar adalah sebuah taman dengan rumput cukup terawat. Aku menghirup udara segar. Kebetulan angin berhembus pelan mengibaskan rambut perak ini. Sedikit menggangu, ingin aku ikat saja.

Tatapan tajam aku rasakan dan terasa dari dua pelayan di depan. Tak berselang dari sesi saling tatapan denganku, mereka langsung berpencar. Yang rambut biru tua ke kiri dan hijau muda ke kanan.

Aku pun sendirian di tengah taman yang luas, ditinggalkan. Lalu, tatapan apa tadi. Rasanya tajam dan dingin sekali. Apa karena aku mengikuti mereka seenaknya saja dan bersikap tidak tahu diri? Mungkin saja.

'Dapur ke arah mana ya?'

Aku mengandalkan indra penciuman. Kalau namanya dapur pasti akan mengeluarkan aroma makanan, bukan?

Aku terus berjalan dan mengikuti insting penciuman. Aroma daging yang dipanggang semakin pekat.

"Sekitar sini pastinya!" Aku langsung berlari ke arah aroma, ada sebuah gubuk kecil. Mungkin dapurnya ada di sebelah itu—Bruk!

Aku menghantam sesuatu saat berbelok di tikungan kecil. "Aww ..."

"Maafkan saya!!" teriakan menyadarkanku dan langsung mendongak. Nampaknya hanya aku yang terpental dan jatuh, sedangkan orang yang aku tabrak sehat-sehat saja. Aku langsung bangun dan membersihkan debu yang meninggalkan jejak menempel di sekujur rok.

"Tidak apa-apa, aku yang salah atas kejadian ini. Jadi, tidak perlu minta maaf–"

"Tidak, ini salah saya karena tidak menyadari kehadiran Anda!" tukasnya cepat lagi sambil menunduk gemetar.

Ada masalah padanya.

Aku dengan lembut menyentuh bahunya, "Angkat wajahmu, kamu 'kan tidak bersalah."

Awalnya Ia agak ragu-ragu, tetapi akhirnya dia membuka matanya. "Kamu pelayan juga ternyata?!"

Hum? Ada apa reaksinya ini. Aku seorang pelayan—pasti dari gaun yang aku pakai, dia langsung mengiraku seorang pelayan.

"Yah, seperti ... Itu(?)"

Sangat membingungkan aku harus menganggapnya apa.

"Aku mengira Kamu itu seorang bangsawan loh. Pas tabrakan aku hanya melihat rambut perakmu berkilau, jadi aku langsung kira seorang bangsawan. Hehehe, maaf ya."

Pengakuannya membuat aku berpikir keras, terhanyut dalam pemikiran. Bangsawan? Pelayan? Suatu seragam abad pertengahan? Sebuah bangunan yang besar di depanku? Taman yang indah dengan banyak patung? Dan ... Rambut orang-orang yang beragam dan unik?

"Hahh ..." Aku menghela napas berat dan memegang kening yang sudah cenat cenut.

Tempat di mana saling merendahkan dan kasta itu 'kan ... Lalu, juga ciri-ciri semua ini ... Di sini benar-benar abad pertengahan Eropa! Apa aku kembali ke masa lalu? Ah, tidak. Mana mungkin di masa lalu banyak orang yang rambutnya aneh seperti ini, apalagi tubuhku juga berambut perak.

"Kamu kenapa? Pusingnya nambah yah? Aduh, gara-gara aku kamu jadi begini—ayo ke tempat obat–"

"Ti, tidak perlu. Aku hanya pengen tahu di mana dapur ..."

Kepalaku semakin pusing jika masih mendengar ocehannya.

"Dapur? Itu tempatnya sudah kelihatan dari sini," ujarnya menunjuk bangunan yang mungil dekat bangunan yang kelihatan seperti, bangunan utamanya. Mungkin dapur memang ditaruh dekat dengan rumah utama ...

Aku tanpa berpikir panjang meninggal orang tadi dan menuju bangunan mungil itu. Tempat itu ada cerobong asap yang mengeluarkan aroma-aroma dari masakannya.

Aku mengetuk pelan dan mengintip ke dalam. Tak habis pikir ternyata dapur adalah tempat yang mirip seperti neraka. Panas!

"Jangan lelet! Cepat masukan bumbunya, terus masukan itu ke tungku!!"

Suasananya sangat riuh seperti sedang perang. Ha, ha, ha ... Aku ditugaskan di sini? Jangan main-main Kau si cewek berbintik!!

"Hoy, kamu pelayan baru itu 'kan? Cepat sana cuci peralatan masaknya, sebentar lagi bakalan dipakai!!"

Cih, sial. Aku ketahuan sedang mengintip. Kalau saja tidak ketahuan, pasti aku sudah pergi dari tempat ini. "Iya!"

Mau tak mau, jalani saja yang ada dihadapanku. Gulung baju lengan sampai ke siku, aku pun langsung mencuci sesuai perintah.

'Ini sih pekerjaan yang ringan. Tidak masalah!'

Yah, itulah pemikiran awal polosku ...

Brak!

"Nih, dicucikan juga."

"Cepat yah, ini juga."

"Cuci sampai minyaknya hilang! Nanti mau dipakai lagi!"

Baru satu, dua peralatan yang sudah aku cuci. Langsung datang menumpuk sepuluh lagi. Terlebih lagi sabunnya susah sekali mengangkat minyak atau kotorannya!

'Akhh!! Aku tarik kembali perkataan pekerjaan ringan tadi! Pekerjaan dapur lebih melelahkan daripada pekerjaan biasanya!!!'