Chereads / Terjebak Di Dunia Novel Terkenal / Chapter 3 - Prolog (3)

Chapter 3 - Prolog (3)

Aku menghempaskan badan ke kasur keras dan berdebu. Sudah tak peduli lagi dengan itu, karena sekarang energiku sudah terkuras habis. Ini bagaikan kerja rodi! Dari tadi pagi kerjaanku hanya mencuci piring dan mengaduk adonan!

Badan saat menyentuh kasur dan terlentang. Itu sangat menenangkan. Bagaikan sedang dipijat, ini sangat nyaman. Padahal hanya berbaring dan otot-ototku mengendur.

'Besok apa ... Aku harus begitu lagi ...?'

Mataku sayup-sayup menutup. Setelah dipikir-pikir lagi, mengapa banyak sekali makanan yang dibuat? Apa pemilik rumah itu mempunyai badan yang sangat besar dan nafsu makan besar? Entahlah. Saat ini ... Aku butuh tidur.

***

Suara ketukan pintu berkali-kali yang dipukul dengan keras. "Bangun!! Kita harus lebih cepat hari ini!!!"

Hah ...

Aku malas banget bangun. Hanya untuk duduk dipinggiran kasur saja sulit. Apalagi aku harus bekerja seperti kemarin lagi.

Terlebih lagi. Aku masih saja di tempat ini. Dengan tubuh dan posisi yang sama. Pintu kembali digedor-gedor dengan kasar.

"Cepetan!!"

"Iyaaa!!!" sahutku sama kencangnya. Awas saja dia sampai menamparku lagi, akan langsung balas!

Yah ...

Hari-hari tak masuk akal lainnya. Aku datang.

***

Sebelum masuk ke nerak—maksudku dapur panas ini. Aku mengintip terlebih dahulu dari jendela yang ada di belakang dapur. Para koki sedang mengelap peralatan dapur dan menyiapkan bumbu.

Aku bergidik ketika mengingat hari kemarin.

"Ah, si pelayan baru kemarin!"

'Hiii!! Sudah ketahuan aja?!'

Kaku seperti robot, aku berbalik untuk melihat yang sedang berbicara.

"Kepala koki(?) Sedang apa Anda di sini?"

Aku tidak tahu pasti dia kepala koki atau bukan, tetapi jika dilihat dari kemarin, ia terus-menerus memerintahkan orang di sekitarnya, termasuk aku.

"Yah, di sini saya hanya ingin beristirahat ..." suara khas kakek-kakeknya itu membuatku nostalgia dengan mendiang kakekku dulu. Kepala koki duduk menyenderkan ke tembok dan memejamkan mata. Terlihat banyak keriput di wajah, terutama keningnya.

"Kamu kemarin sangat membantu."

'Hum? Apa ini ... Nada berbicaranya sangat berbeda dengan sebelumnya.'

Aku jadi tambah bergidik melihat perubahannya.

"I, itu 'kan sudah menjadi tugas saya(?) Jadi, tidak masalah ..."

'Masalah banget!!! Itu harusnya bukan pekerjaanku tahu!!'

Senyuman menghormati tetap aku jalankan.

"Hah ..." Dia menghela napas panjang dan nampak sangat berat, "entah kenapa, saya jika sudah masuk ke dapur itu ... Langsung berubah jadi sangar."

'Ah! Dia mulai curhat(?)'

"Saat melihat api yang membakar bawah tungku, semangat saya tiba-tiba melonjak. 'Ingin masakan ini cepat matang dan sempurna' selalu terngiang-ngiang. Saya pun selalu setelah selesai bekerja, pasti akan selalu merasa bersalah dan ingin minta maaf ... Tapi, nggak bisa."

Aku dalam diam memikirkan.

'Bukannya itu karena dia memiliki sifat "Tsuntsun"? Jadi agak sulit untuk meminta maaf kepada orang.'

(Tsuntsun : sikap yang terkesan bersikap dingin dan cenderung memusuhi orang lain. Namun, sebenarnya bukan itu yang ingin dia sampaikan atau tampilkan)

"Keadaan itu terus berlanjut sampai istri saya meninggal mendahului saya. Saya pikir dia adalah wanita jahat yang meninggal duluan. Dan, pada akhirnya semangat itu bertambah tinggi."

'Tunggu ... Kenapa ceritanya semakin dalam?'

"Lalu, waktu berjalan dengan sangat lambat dan saya akhirnya mengetahui. Saya menjadi tambah semangat sejak kematiannya itu karena aku ingin membuang kesedihan atas kepergiannya." Kepala Koki melepaskan topi putihnya dan menaruh di dada. Sangat, sangat dalam.

"Orang-orang di dapur selalu menghormati saya. Tapi ... Mereka tidak pernah tersenyum pada saya."

'Iya juga. Saat kemarin Dia selalu berteriak dan bawahannya selalu mengikutinya, tapi mereka menuruti perintahnya dengan wajah datar-datar saja.'

"Mungkin semua orang begitu. Kecuali Istri saya ..."

'Hum, hubungan dengan istrinya pasti cerita yang sangat romantis.'

"Dan Kamu, Pelayan Baru," tukasnya dengan cepat dan tersenyum lembut.

"..."

Dia melanjutkan cerita dengan wajah lega, "Kamu yang menerima perintah saya dengan senyuman dan tidak mencemoh dibelakang. Persis seperti mendiang Istri saya dulu."

Apa ini ... Kenapa rasanya malu sekali. "I, itu 'kan kewajiban untuk terus tersenyum kepada yang lebih tua. Jadi, itu tidak ada apa-apanya."

"Benarkah? Kalau kamu bilang seperti itu, saya tidak bisa berkata apa-apa lagi ya," ucapnya dilanjut tertawa lega.

Padahal awalnya aku sangat kesal dengan Kakek ini. Di dalam hati aku selalu mengumpatnya dan di luar tersenyum tidak artinya. Namun, sekarang aku bisa tersenyum dengan tulus kepadanya.

"Ah, saya lupa bawa itu ke sini. Tolong tunggu sebentar, ya!"

Kakek itu segera bangun dari duduknya dan kembali masuk ke dalam dapur. Sebenarnya itu apa?

Tak lama menunggu pintu belakang dapur terbuka dan Kakek itu nampak memegang suatu barang yang dibungkus kain putih. "Ini hadiah dari saya untukmu."

Dia mengambil tanganku dan meletakkan barang itu ke telapak tangan. Ia menyuruhku menggegam barang itu dengan lembut. "Tolong dipakai, ya. Menurut saya itu pasti akan cocok untukmu."

"Boleh saya buka?" tanyaku memastikan. Apa benar ini buatku?

"Tentu saja. Buka secepatnya lebih baik."

Aku membuka kain putih itu dengan perlahan. Jepitan rambut kupu-kupu warna violet berkilau di tanganku. "Hmm, ini ... Kelihatannya mahal sekali. Apa tidak apa-apa kalau diberikan kepada orang seperti saya?"

"Hohoho, kamu ini ngomong apa, sih? Kamu tidak menyadari kecantikan diri sendiri ya? Kamu itu cantik, jika saja wajah dan pakaianmu tidak tertutup debu, pasti akan mirip dengan seorang putri bangsawan."

"Saya? Mirip putri bangsawan?"

"Bisa jadi kamu adalah putri bangsawan yang dibuang ya! Hahaha, sudah jangan dipikirkan dan jangan lupa dipakai jepitannya, karena rambutmu terkesan agak berantakan. Ayo kita mulai bekerja!" serunya sembari memakai topi koki dan langsung masuk ke dapur.

Akhirnya aku yakin sepenuhnya. Ini adalah abad pertengahan Eropa yang masih menyanjung gelar 'Bangsawan'. Kalau begitu apa di sini rumah seorang bangsawan? Apa gelarnya? Tampang wajahnya? Aku penasaran setengah mati.

Bisa disimpulkan, mungkin aku mengalami time-travel. Kembali ke masa lalu. Aku menghela napas berat lagi.

'Kenapa harus ke abad pertengahan yang gelap itu sih ... Di sini 'kan HAM belum ditegakkan dengan benar!' Aku seketika merinding memikirkan masa kelam itu.

Tapi tunggu dulu ...

Kalau dipikir-pikir mana mungkin benar-benar terjadi time-travel. Itu 'kan hanya di dunia genre fantasi dan genre lainnya, tetapi kenapa aku bisa ...

"Hey, ayo cepat masuk. Pekerjaan kita hampir mau mulai." Kakek itu menongolkan kepalanya dari balik pintu. Dengan nada lembut tentunya, biasanya dia akan membentak, tapi tidak untuk sekarang. Aku juga jadi menghormatinya tulus.

"Baik, saya akan datang."

Dia membantu membukakan pintu.

"Oiya, saya 'kan pekerjaannya hanya mencuci piring. Bukannya kalian belum masak dan peralatan masih bersih?"

"Kamu juga akan membantu memasak. Karena kemarin saya melihatmu mengaduk dan menambahkan bumbu sangat sempurna. Saya merasa kamu mempunyai bakat memasak."

"Be, begitu ya ..."

Padahal sebenarnya aku hanya mengikuti buku resep dan aku adalah anak kos yang memasak makanan sendiri (demi menghemat uang bulanan dan bisa membeli novel)

"Kalau begitu, ini adalah hari terakhir pestanya! Ayo kalian semua, semangat!!" seru Kakek itu kepada semua orang yang ada di dalam dapur dan semua orang itu menyambut seruannya dengan semangat yang sama pula.

Yah, ini tidak buruk juga. Aku akan tetap di sini sampai bisa mengumpulkan sebuah informasi. Aku melirik kakak itu yang sedang memotong bawang bombay.

'Apa nanti aku bertanya kepada dia ini di mana ya ... Oiya, omong-omong dari tadi aku tidak mengetahui namanya dan nama tubuh ini siapa ya? Karena tidak ada yang memanggil dengan nama, aku jadi sedikit kurang nyaman.'

"Kamu bisa membantu memotong bawang?" tanya Kakek itu menyerahkan pisau.

Aku mengambil dan mengangguk, "Ya, saya bisa."