Chereads / Terjebak Di Dunia Novel Terkenal / Chapter 4 - Prolog (4)

Chapter 4 - Prolog (4)

Kepala Koki menyuruh memotong dengan nyaman di alas khusus memotong sayuran. Aku memotong bawang dengan cepat. Karena di setiap masakanku pasti akan selalu ada bawang bombaynya. Akan tetapi ...

'Aaaa, mataku perih banget!! Ada berapa banyak yang harus aku potong sih?!'

Aku menengok ke samping, penuh tumpukan bawang yang sudah dikupas kulit dan koki muda lainnya tersenyum tanpa berdosa kepadaku, kelihatannya dialah yang mengupas.

"Hehe, pas ada kamu perkejaannya jadi lebih cepat selesai deh! Luar biasa!"

Air mataku mengalir. Kutahan kesal ini sembari mengarahkan pisau padanya. "Kakek tua—maksudku Kepala Koki di mana? Kenapa tiba-tiba kau yang ada di sini dan membuatku terus memotong sampai mengeluarkan air mata begini? Hah?!"

Entah karena suasana di dapur ini memang panas atau tidak. Aku merasa ingin memotong bocah yang satu ini. Enak sekali dia hanya mengupas dan sedangkan aku memotong sehingga mataku perih, lalu menangis. Padahal semenjak sudah naik umur 10 tahun aku sudah tak pernah menangis.

"I, i, itu ... Ketua lagi masak makanan, bu, buat Tuan Rumah ..." Suara dan tangan yang menunjuk Kepala Koki bergetar ketakutan. Mungkin perkataanku tadi terasa sangat menguncang anak polos dan bodoh ini.

Panggilan lain Kepala Koki ternyata Ketua. Baiklah, aku akan memanggilnya seperti itu.

Aku menghela napas dan menaruh pisau. "Kamu lanjutkan sendiri. Sisanya 'kan tinggal sedikit tuh. Bisa 'kan?" Aku mencoba tersenyum memenangkannya.

"Si, siap! Sa, saya bi, bisa!" pekiknya tambah gemetar.

'Kenapa malah jadi formal sih?!' Senyumanku tampaknya tidak tersampaikan padanya. 'Ya sudahlah ...' Aku pun meninggalkannya.

"Mu, mungkin kalau ketemu mon, monster begini sensasinya .."

Samar-samar aku mendengar gumamannya.

'Monster?'

***

"Maaf, apa saya boleh beristirahat sebentar?" tanyaku di samping Ketua Koki.

"Ah ... Apa kamu bisa bertahan sebentar lagi? Hari ini pasti tidak akan melelahkan seperti kemarin kok. Jadi, tolong bertahan lagi ya ..." Matanya menatapku penuh harap berkaca-kaca.

'Ugh ... Apa-apaan tatapannya itu. Kalau dia begini aku jadi tidak bisa menolaknya ...!'

"Ti, tidak ada pilihan lain ya. Baiklah, saya akan bertahan sebentar lagi. Lagipula mungkin nanti saya tidak ada kerjaan dan jadi bosan," dalihku sambil memalingkan wajah. Ini sedikit memalukan karena terbujuk oleh tatapan matanya.

"Wah ...! Kamu memang benar-benar ..." Tangannya menyentuh dada. Kelihatannya dia benar-benar terharu. Lama kelamaan jadi terlihat terlalu lebay.

"Tapi! Ada satu syaratnya, saya tidak mau memotong bawang lagi!"

Alasan aku tidak mau memotong bawang lagi karena ... Badanku jadi tambah bau!! Awalnya memang sudah bau, karena aku kemarin tidak mandi, tapi kalau ditambah memotong bawang jadi dua kali lipat baunya!

"Bilang dong dari tadi kalau nggak suka potong-potong bawang. Bagaimana kalau kamu menjadi asisten saya? Seperti mengambilkan bahan-bahan yang saya perlukan," tawarnya sembari tersenyum.

'Hum ... Ngambil bahan-bahan doang ya ... Seperti bakal mudah!'

"Baiklah!"

—Harusnya ... Aku tidak setuju dengan bujukannya lagi. Harusnya aku tidak jatuh ke lubang yang sama lagi. Akan tetapi ...

'Wuaaaa!!! Sial, sial, sial!! Apa ini?! Aku terus bekerja sampai malam hari begini!! Ditambah pekerjaanku jadi lima kali lipat dari kemarin!'

"Ambilkan irisan daging ayamnya, lalu beri bumbu yang sudah saya bikin tadi. Bikin 20 potong ya! Delapan pakai bumbu yang tidak pedas, dua pakai yang pedas, dan sisanya yang biasa." Tangannya tetap menempel pada gagang teflon dan memberi sesuatu yang yang membuat api memenuhi teflon.

Membara. Seperti kekesalan hatiku.

***

Jarum jam di dinding menunjukkan angka Romawi ke sebelas.

"Terima kasih kerja samanya semua!!" seru seseorang dari ambang pintu utama dapur.

Semua orang menunduk hormat padanya. "Sudah menjadi tugas kami, Tuan Muda."

"Karena kerja keras kalian akan kuberi liburan satu hari besok. Pesta penyambutan ini berjalan lancar berkat kalian, terima kasih," ujarnya menaruh tangan di dada.

Semua orang memanggilnya 'Tuan Muda', mungkin dia anak Tuan Rumah. Pakaian jas rompi orange hitam, cravat, dan sarung tangan. Apa ini yang disebut bangsawan? Semua yang dipakainya terlihat sangat mewah dan mewah. Terlebih lagi, menguatkan alasan aku bisa mengatakan ini adalah zaman kerajaan.

"Kalau begitu, selamat malam semua." Dia berbalik dan ke luar.

Beberapa detik kemudian ruangan tetap sunyi. Lalu, kemudian ...

"Yeahh!!! Libur!! Akhirnya kita dapat libur! Aku kira dia adalah Tuan Rumah kejam yang hanya mempekerjakan sedikit orang di dapur, tapi ternyata nggak terlalu ya!" girang bocah polos tadi. Ternyata dia bisa seperti ini. Yah, kepribadian orang itu tidak bisa aku tebak ternyata.

"Apalagi kita harus menyajikan makanan untuk para tamu dengan sedikit orang. Aku sangat panik setiap masak, takut sekali waktunya tidak cukup, tapi benar! Besok aku akan bisa menjernihkan pikiran!" sahut teman disampingnya.

'Sebenarnya definisi kejam di dunia ini tuh seperti apa sih?'

Menggelar pesta dengan jumlah koki yang bisa dihitung jari? Pelitnya tidak melambangkan seorang bangsawan.

Aku sedikit tersentak saat seseorang menyentuh pundakku. "Ah, ternyata Ketua. Saya kira siapa ..."

"Ya, ini saya. Kamu bisa istirahat besok, bersyukurlah dan ambil kesempatan buat jalan-jalan besok dengan kekasihmu. Anak muda itu harus semangat!" Tawa Ketua meledak kencang, ia manaruh topinya dan ke luar bersama koki-koki yang lain.

Saat ini hanya aku yang tersisa di dapur.

"Huh ..."

Kekuatan kakiku serasa melemah dan tanganku langsung memnompa ke meja.

"Capek banget ... Aku mau mandi ... Gerah, bau ..."

Karena aku yang tersisa di dapur. Aku menutup dan menguncinya. Sekarang misiku adalah mencari tempat untuk mandi!

Aku menjelajahi taman yang di sinari redup-redup cahaya bulan dan lampu taman. Banyak semak-semak di sini, tetapi itu juga dipenuhi oleh bunga. Aku menatap bulan yang tertutupi awan tipis.

"Indah."

Aku tadinya bermaksud ingin memetik satu bunga, tetapi ...

"Ah ... Ah, jangan di sini ... Nanti ada yang lihat bagaimana—Ahh!"

Terdengar erangan mesum dari balik semak-semak di depanku.

"Tenang aja. Gak ada orang kok. Uhmm, kamu enak juga, Baby," jawab suara pria sama mesumnya.

'A, ada apa di balik semak-semak ini?! Kenapa kalian melakukan seperti itu di luar?!'

Aku perlahan menarik tangan menjauh dari semak-semak, tetapi angin pelan berhembus memperlihatkan pandangan yang tadi tertutupi oleh semak-semak.

Sepatu high heels dan—kulit hijau?!

Hah ... Apa itu ..? si Wanita yang berbaring di rumput berkulit seperti manusia biasa, tetapi yang pihak prianya ... Hijau?

Aku membekap erat-erat mulutku supaya tidak mengeluarkan suara keterkejutan. Aku lari dalam diam menahan teriakan.

'Apa, apa itu tadi. Aneh, sangat aneh. Aku ingin pulang–!'

"Wah, ada pelayan yang habis lembur ya?" Suara lembut menenangkanku.

Aku menghentikan langkah besarku dan melihatnya. Tanpa sadar aku berlari ke tempat yang baru pertama kali aku lihat. Seorang nenek yang sedang membawa ember besar. Rasa kemanusiaanku tiba-tiba melonjak.

"Sini saya bantu, Nek." Aku langsung mengambil embernya itu.

Aku sangat tidak tenang melihatnya yang sudah bungkuk membawa benda berat.

"Aduh, aduh, baik banget ya. Kalau begitu bisa tolong bawa itu masuk ke dalam?"

"Baik, Nek." Aku mengangguk sambil mengikutinya masuk ke dalam sebuah bangunan yang mungkin besarnya dua kali lipat dari dapur. Di atasnya juga ada cerobong asap.

"Nah, taruh saja di sini. Oiya, kamu mau mandi tidak? Kebetulan kolam berendamnya sedang kosong," tawarannya sangat membuatku menjawab dalam satu detik.

"Tentu!"

Ternyata ini adalah tempat mandinya!